Satunama.org – Yayasan Satunama Yogyakarta yang didukung oleh WLF berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya mengadakan Pelatihan Penyusunan Perdes Inklusi dan Kesetaraan Gender mulai tanggal 12-15 Oktober 2022 di Aula Mamoli Hotel Sinar Tambolaka. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan 5 desa dampingan SATUNAMA (Pogotena, Tanggaba, Mangganipi, Hameli Ate dan Padaeweta) dalam Program Tata Kelola Pemerintahan Desa yang berasal dari unsur Perangkat Desa, BPD, PKK, Aktifis SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak), Pendamping Forum Anak Desa, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan KB (DP3P2KB) serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sumba Barat Daya.
Tujuan dari pelatihan ini adalah meningkatkan pemahaman peserta tentang inklusi sosial dan kesetaraan gender, mampu melakukan analisis situasi gender dan inklusi di desa, memetakan masalah dan potensi di desa yang akan diakomodir dalam peraturan desa, memahami tata cara penyusunan peraturan desa dan dapat merealisasikannya dalam desa masing-masing. Inklusi sosial itu berarti proses membangun hubungan sosial dan menghormati setiap individu dan komunitas sehingga mereka yang terpinggirkan dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya serta memiliki akses dan control yang sama atas sumber daya yang ada.
Sementara, gender yang sudah sering kita dengar memiliki arti yaitu pembedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelaminnya dalam hal sifat, peran, posisi, tanggung jawab, fungsi, akses, dan kontrol dalam kehidupan masyarakat.
Dengan adanya pelatihan ini, perempuan-perempuan dari kelima desa semakin berani dan percaya diri seperti yang disampaikan Mama Yuli dari Pogotena setelah mengikuti pelatihan ini sebagaimana disampaikan di akhir kegiatan “Saya sebagai perempuan semakin berani dan tidak ragu lagi untuk menyampaikan sesuatu karena kami didukung”.
Sementara itu, Mama Kepala Desa Tanggaba menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan bisa sama, bekerja sama dan memiliki derajat yang sama. Demikian pula yang disampaikan Mama Nancy dari salah satu kader SAPA Pada Eweta, peserta pelatihan gelombang kedua, mengatakan bahwa pernikahan usia anak sering terjadi karena orang tua kurang memberi perhatian dan juga kurang pengetahuan. Seharusnya, ketika anak bercerita, kedua orang tuanya mau mendengar dan memberikan nasehat yang baik.
Ungkapan-ungkapan para mamah menandakan suara perempuan di Sumba Barat Daya semakin didengarkan dan boleh disejajarkan dengan suara laki-laki. Harapan itu semakin nyata tersirat dan tersurat dalam peraturan desa untuk mewujudkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak.
Penulis: Dimas Ariyanto / Foto: Tim Lapangan / Editor: Bima Sakti