Satunama.org – Tema terkait pengorganisasian rakyat menjadi salah satu tema yang diusung dalam gelaran Sekolah Politisi Muda SATUNAMA Angkatan VI Tingkat 2 yang digelar pada 28 September 2022 – 1 Oktober 2022 di Yayasan SATUNAMA Yogyakarta (SPM VI/2). Para peserta politisi muda berjumlah 25 orang dan berasal dari berbagai partai politik di 7 provinsi mendapatkan pengetahuan mendalam terkait tema tersebut.
SPM mengembangkan tema ini agar memberikan manfaat bagi peserta dalam mengorganisir pendidikan partai (konstituen) sekaligus mengembangkan pendidikan di rakyat yang berkaitan dengan masalah masalah sosial politik sebagai bagian dari metode pengorganisasian dan penyedaran kritis. Selain itu, kapasitas membangun kelompok basis dan membangun organisasi rakyat juga dipandang penting diberikan sebagai bagian dari perkembangan partai politik.
Penduduk, Masyarakat, Rakyat dan Warga
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, para peserta politisi mendapatkan materi cukup mendalam tentang makna pengistilahan untuk menyebut penduduk, rakyat, komunitas dan warga. Istilah-istilah yang sekilas terkesan wajar digunakan dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun informal. Kita sering mendengar kata “penduduk” disebutkan oleh siapapun, termasuk juga kata “rakyat”, “warga” dan “masyarakat”. Padahal jika ditelusuri mendalam, pemaknaan setiap kata tersebut tidak benar-benar sama, termasuk jika dikaitkan dengan penggunaan dalam politik.
Kata “penduduk” adalah kata yang sering terdengar dalam berbagai pembicaraan. Kata “penduduk” mengandung elemen statistik. Banyak digunakan untuk merujuk pada situasi-situasi yang bernuansa administratif. “Penduduk itu konsep statistik. Untuk identitas orang, kata “penduduk” adalah yang paling rendah. Ini biasanya menjadi pekerjaan Badan Pusat Statistik. Orang dihitung, didata dan semacamnya.” Kata Dr. Sutoro Eko Yunanto, Rektor dan Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta yang menjadi salah satu narasumber SPM kali ini.
Pria yang akrab disapa Pak Toro ini kemudian melanjutkan kepada pemaknaan kata “masyarakat”. Konsep masyarakat merupakan serapan dari bahasa Arab. “Ada juga kata “komunitas” yang lebih berkonsep antropologis karena kesamaan tempat, hobi dan sebagainya. Kemudian ada juga yang punya kesamaan darah. Seperti masyarakat adat, itu adalah komunitas.” Kata Pak Toro.
Termasuk juga kata “society” yang merupakan konsep sosiologis. Sutoro Eko menjelaskan bahwa “society” merupakan orang yang berkumpul karena kesamaan tujuan dan nilai serta kepentingan. “Itu karena punya tujuan. Maka ada civil society, karena ada nilai, kepentingan dan tujuan yang diperjuangkan.” Ujarnya sembari menambahkan bahwa “masyarakat” punya dunianya sendiri, self help atau berjuang.
Kemudian ada konsep “rakyat”. Ini juga serapan dari bahasa Arab. Kalau di barat namanya people. Menurut Sutoro Eko, dulu para ulama memperoleh ilham dari tradisi nabi di Madinah. “Kata “rakyat” itu punya konsep politik, ideologis. Ada juga yang mengatakan normatif.” Jelasnya.
Dosen Ilmu Pemerintahan ini kemudian memaparkan bahwa politik merupakan basis kekuasaan dan kedaulatan yang memiliki keterbatasan. “Karena kekuasaan abadi itu milik rakyat. Maka politisi itu yang harus diomongkan adalah rakyat. Memang di dalam birokrasi juga ada varian omongan. Ada yang mengatakan bahwa kita harus bekerja atas aturan hukum. Ada yang mengatakan kita bekerja dengan visi. Ada birokrat yang mengatkan kita harus bekerja untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nah yang ketiga ini adalah birokrat yang memiliki cita rasa politik.” Kata Pak Toro.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa dalam praktik politik, kata “rakyat” juga diturunkan dalam kosa kata “konstituen”. “Maka politik harus diperjuangkan. Teman-teman politisi muda harus bilang bahwa saya bekerja atas dasar kehendak rakyat demi sebesar-besar kemakmuran dan kepentingan rakyat. Basis kekuasaan teman-teman itu rakyat.” Tegasnya.
Kata berikutnya adalah “warga”. Menurut Sutoro Eko, kata “warga” mengandung konsep hukum. Artinya adalah setiap individu memiliki kesamaan di depan hukum. “Kita tidak hanya harus ngomong politik tapi juga harus ngomong hukum. Bukan hanya kebebasan melainkan juga kesetaraan.” Demikian Sutoro Eko sembari menjelaskan bahwa konsep warga negara adalah warisan Aristoteles.
Demokrasi yang sudah berjalan harus ditambahi dengan konstitusionalisme, yakni pembatasan kekuasaan dan Juga kewargaan. “Intinya hak dan kewajiban yang sama untuk setiap orang. Warga adalah seluruh manusia yang menjadi komponen tubuh politik yang terdiri dari bagian-bagian untuk membentuk negara.” Ujarnya.
Dari Rakyat Menuju Warga
Menurut Sutoro Eko, warga negara tidak berurusan dengan partai politik. Warga negara hanya berurusan dengan negara. Sementara partai politik urusannya dengan rakyat dan konstituen. Warga partai politik adalah konstituen. “Maka poin saya, harus jujur. Kalau partai berurusan dengan warga negara itu tidak relevan. Karena partai politik urusannya dengan kekuasaan. Politisi setelah sampai di kekuasaan, menjadi pemerintah, akan mengatur birokrasi dan teknokrasi agar rakyat itu menjadi warga negara.” Tegas Pak Toro.
Beliau juga menyebutkan bahwa kewargaan mengandung hal-hal konkret yang berhubungan dengan kesejahteraan antara lain bahwa warga bisa bekerja atau berusaha. Warga juga bisa mengakses layanan pemerintah dan hajat hidup orang banyak. “Maka kalau ngomong APBD, APBD atau APBN itu maknanya uang sebagai pelayan untuk kepentingan kita, jangan sampai menjadi berhala.”
Terkait dengan uang dan politik uang, Sutoro Eko menjelaskan bahwa praktik tersebut terjadi karena orang masih berpikir tentang negosiasi dalam politik. Menurutnya, politik uang adalah problem dan indikasi bahwa citizenship atau kewargaan belum terbentuk. Karena dalam tataran politik praktis seperti yang dilakoni partai politik, politik uang menjadi rawan terjadi karena entitas partai politik bukanlah seperti negara yang memiliki kewajiban memenuhi kesejahteraan warga negara dengan berbasiskan pelayanan.
“Demokrasi itu penting, tapi demokrasi itu bukan sekedar elektokrasi atau pemilihan, tapi setelah pemilihan harus ada transformasi menuju pembentukan citizenship. Maka dari itu partai politik itu harus ikut berjuang agar setiap orang itu menjadi warga, menjadi citizen yang tidak lagi berpikir tentang negosiasi. Sebagai warga negara, seseorang tidak perlu negosiasi karena levelnya adalah level mendapatkan hak pelayanan dari negara.” Tegas Pak Toro.
Karenanya dalam konteks negara, menurut Sutoro Eko, pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan pelayanan untuk membangun pemenuhan hak-hak warga negara. “Jadi pembangunannya bukan proyek melainkan seperti pelayanan sekolah atau kesehatan. Sifatnya harus berkelanjutan.” Tegas Pak Toro.
Kerja Politik dan Pancasila
Masih dalam sesi yang sama, Sutoro Eko Yunanto menjelaskan bahwa kerja politisi sejatinya sangat dekat dengan Pancasila, khususnya Sila keempat dan Sila kelima. Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” memiliki substansi tentang rakyat. Sementara Sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” memiliki substansi tentang kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan tujuan utama sebuah negara didirikan.
Sutoro Eko menyebutkan bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung anatomi bahwa rakyat menyatakan kemerdekaan, bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan, bangsa membentuk Negara Republik Indonesia, negara membentuk pemerintah, pemerintah melindungi dan melayani warga negara.
“Jadi konstitusi ini bukan hanya norma melainkan juga substansi. Poinnya, teman-teman politisi sekarang harus bergerak, nada dasarnya atau titik masuknya dari rakyat dan mengarah kepada pembentukan warga.” Kata Pak Toro.
Salah satu strateginya, menurut Sutoro Eko adalah dengan membantu konstituen mengakses layanan pemerintah. “Ini salah satu strategi. Bagaimana kita bisa menjadi pemerintah tanpa politik uang. Pendekatan kewargaan itu bisa menjadi pendekatan untuk mencapai parlemen tanpa politik uang. Karena yang bertanggung jawab mentransformasikan rakyat menjadi warga adalah pemerintah dan parlemen.”
Cara lain agar setiap calon bisa menang dalam pemilihan sekaligus meminimalisir transaksi adalah dengan pendekatan berkelanjutan, bekerja sejak sebelum menjadi pejabat pemerintahan. “Misalnya ada yang menjadi pendamping masyarakat desa bertahun-tahun akhirnya bisa menjadi anggota parlemen tanpa politik uang. Memang di mana-mana ada uang berkeliaran. Tapi kita bisa kok belajar dari kawan yang berhasil tanpa politik uang.” Tutup Sutoro Eko.
Sekolah Politisi Muda SATUNAMA memandang bahwa politisi muda memiliki peran penting dalam transformasi demokrasi di Indonesia. Politisi muda diharapkan mampu mengembangkan budaya politik demokratis dan berintegritas, dan selanjutnya mempengaruhi lingkungan politiknya, khususnya partai politik.
Sementara partai politik di mana para politisi muda mengabdikan dirinya, diharapkan akan semakin baik dengan lahirnya kepemimpinan muda melalui pendidikan politik yang berkelanjutan. Hasilnya kelak politisi muda akan memiliki visi dan nilai demokrasi, sekaligus juga memiliki kesungguhan untuk melaksanakan aspirasi rakyat, kepentingan negara dan bangsa, serta patuh terhadap undang undang. [Penulis : A.K. Perdana/Penyunting : Bima Sakti/Foto : Bima Sakti]