Satunama.org – Momentum peringatan Hari Anak Nasional 2021 dilaksanakan dalam situasi dan lingkungan global dengan tantangan keberadaan virus SARS-COV-2 yang mengakibatkan penyakit COVID-19. Karenanya, penting kiranya dilakukan upaya-upaya yang dapat melindungi serta mengangkat kehidupan anak-anak ke level berikutnya dengan cara-cara yang sama efektifnya dengan sebelum kemunculan virus SARS-Cov-2.
Merespon hal tersebut, Yayasan SATUNAMA Yogyakarta mengadakan Webinar bertajuk “Anak Bercocok Tanam, Membangun Harmoni di Tengah Pandemi” pada Selasa, 27 Juli 2021 pukul 15.00-17.00 WIB. Webinar dihadiri 70 orang peserta yang sebagian besar adalah anak-anak rentang usia 6-17 tahun dari berbagai daerah di Indonesia.
Refleksi pandemi menggunakan cermin masyarakat agraris menjadi salah satu hal yang ingin didapatkan dari webinar ini. Karena memberikan pengetahuan dan pengalaman terkait alam dan lingkungan kepada anak-anak akan dapat menjadi hal yang bermanfaat.
Terlebih karena peringatan Hari Anak Nasional 2021 mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan subtema “Anak Peduli di Masa Pandemi”. Sehingga mendorong anak untuk melakukan aktivitas bercocok tanam di masa pandemi adalah sebuah hal yang sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, meski tantangan dalam konteks keberlanjutan alam juga bukan berarti tidak ada.
Jurang Kesenjangan.
Warga negara Indonesia hidup di tengah keberadaan potensi alam dan lingkungan yang luar biasa, namun sayangnya alam Indonesia tengah menghadapi problem kerusakan yang tidak bisa dipandang enteng. Tidak berlebihan jika keberlanjutan alam dan lingkungan juga menjadi salah satu aspek penting yang wajib ditanamkan kepada anak-anak.
Menggali lebih dalam, Suharsih, Kepala Departemen Pemberdayaan Masyarakat SATUNAMA yang menjadi salah satu pemapar materi diskusi dalam webinar mencoba membawa topik anak dan bercocok tanam ke tingkat keberlanjutan dan pelestarian alam.
Perempuan yang akrab disapa Arsih ini membeberkan bahwa terdapat 3 jurang kesenjangan yang saat ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdampak pada keberlanjutan alam dan lingkungan serta kesejahteraan.
Dalam konteks alam, ada keterputusan antara manusia dengan alam yang disebut sebagai jurang ekologis. Kemudian ada jurang ekonomi di mana terdapat keterputusan manusia dengan sesamanya. Kemudian ada juga jurang spiritual di mana manusia mengalami keterputusan dengan rasa kemanusiaannya.
“Jurang ekologis misalnya manusia memperlakukan alam secara tidak sepantasnya. Mengeksploitasi alam untuk kepentingan sendiri. Kemudian jurang ekonomi, kita lihat ada yang kaya banget tapi juga ada yang miskin, sangat timpang. Lalu jurang spriritual misalnya, ada orang yang sepertinya rajin ibadah tapi punya kebiasaan buang sampah sembarangan.” Papar Arsih.
Menurutnya, jurang-jurang kesenjangan tersebut dapat diatasi dengan menjadikan anak sebagai bagian dari solusi atas persoalan alam dan lingkungan termasuk dalam menghadapi situasi pandemi.
Menanam Untuk Keberlanjutan Alam.
Terkait hal-hal tersebut, Arsih kemudian menjelaskan bahwa relasi anak dengan dinamika kehidupan bernegara sangatlah erat. Menurutnya, anak adalah bagian dari ekosistem dalam kehidupan. Karenanya, mereka juga menjadi subjek dalam pembangunan.
“Anak punya peran yang besar menjadi aktor perubahan. Kalau kita mau bicara bagaimana menangani 3 jurang tersebut, kita juga harus mendengarkan dan melibatkan anak. Karena mereka adalah subjek yang menentukan masa depan, mengingat bumi ini sebenarnya adalah milik anak..Mereka yang akan mendiami bumi ini di masa seterusnya.” Ujar Arsih.
Karenanya dalam semesta anak, menurut Arsih perlu ditanamkan kesadaran dalam diri anak bahwa menanam tanaman itu tidak hanya untuk tujuan jangka pendek seperti memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tapi juga untuk menjaga keberlanjutan bumi.
“Kepada anak-anak, kita butuh untuk mulai kenalkan tentang daya dukung lingkungan dan alam, agar alam dengan segenap unsurnya bisa terus memenuhi kebutuhan semua makhluk di dalamnya.” Ujar Arsih sembari menyebutkan bahwa anak juga perlu mulai dikenalkan dengan isu perubahan iklim.
Pengetahuan tentang perubahan iklim ini perlu diketahui anak-anak, karena ada realita-realita ketidakseimbangan alam yang saat ini muncul seperti ketidakteraturan musim yang bisa berdampak pada kesehatan anak-anak atau kepada proses kegiatan tanam menanam.
“Sudah menanam selada misalnya, lalu ketika waktunya panen malah gagal karena pergantian musim yang tidak bisa diprediksi. Maka penting bagi anak-anak untuk mengetahui perubahan iklim. Terlebih bagi mereka yang tertarik dengan dunia pertanian.” kata Arsih.
Menjadikan anak sebagai pusat dedikasi penyampaian bekal pengetahuan, ilmu dan perspektif tentang keberlanjutan alam adalah kekuatan yang bisa dibangun segera melalui cara-cara paling mudah dan dekat dengan diri. “Kita menanam tanaman itu adalah bagian dari usaha untuk menjaga keberlanjutan alam. Usaha kita untuk mencintai alam.”
Selain menanamkan kesadaran pada anak, Arsih juga menyoroti pentingnya memperkuat kelembagaan anak dan melakukan advokasi kebijakan terkait kebutuhan dan kepentingan anak bersama alam dan lingkungan, “Kebijakan-kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan bisa diadvokasi oleh forum anak agar ke depannya tidak berdampak semakin buruk bagi keberlangsungan alam.” Demikian Arsih.
[Penulis : A.K. Perdana / Penyunting : Bima Sakti / Gambar : Debora Ratri]