Festival Kearifan Lokal : Ajang Interaksi Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Umum

Yayasan SATUNAMA menyelenggarakan Festival Kearifan Lokal di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak Rabu, (25/7) lalu dan akan berakhir pada Selasa (31/7). Festival ini juga digelar sekaligus untuk memperingati Hari Jadi Desa Salamrejo yang ke 85 yang akan jatuh pada 31 Juli 2018.

Aktivitas festival sudah dimulai pada Rabu, (25/7) dengan beberapa penampilan kesenian seperti Jathilan, Macapat dan Karawitan dari Desa Salamrejo. Jumat (27/7) secara resmi acara dibuka pada pukul 16.30 WIB dengan sambutan dari Kepala Desa Salamrejo dan perwakilan Bupati Kulonprogo. Lapangan Desa Salamrejo menjadi venue utama festival selain juga beberapa titik venue lain seperti balai desa dan Taman Pungkruk.

Rangkaian Festival Kearifan Lokal mulai dihadiri peserta dari komunitas penghayat kepercayaan dari 5 provinsi di Indonesia pada Jumat, (27/7). Para peserta berasal dari komunitas Parmalim dan Ugamo Bangso Batak (Medan, Sumatera Utara), Sapta Darma (Brebes, Jawa Tengah), Komunitas Masyarakat Bayan (Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat) dan Marapu (Nusa tenggara Timur).

Mereka merupakan mitra komunitas SATUNAMA dalam project Keadilan dan Inklusi Sosial untuk Kelompok Marjinal (KISKM) yang berada di bawah koordinasi Program Peduli. Selain komunitas yang menjadi mitra dalam program SATUNAMA, hadir pula komunitas-komunitas penghayat lainnya antara lain komunitas masyarakat Baduy dan Sunda Wiwitan.

Penghayat kepercayaan Marapu berinteraksi bersama warga Desa Salamrejo, Kulonprogo dalam helatan Festival Kearifan Lokal, Sabtu (28/7). [Foto : Bima Sakti]
Setibanya di Yogyakarta dari masing-masing daerah asalnya, para penghayat langsung diantar ke Desa Salamrejo dan berinteraksi bersama dengan masyarakat desa. Mereka mendapat kesempatan untuk live in atau tinggal di rumah-rumah warga Desa Salamrejo selama penyelenggaran festival, hingga Selasa (31/7). Hal ini dimaksudkan untuk membangun interaksi sosial yang inklusif dan toleran di antara komunitas penghayat kepercayaan dengan warga desa.

Lambok Manurung, salah satu penghayat kepercayaan dari Komunitas Parmalim di Sumatera Utara mengaku sangat terkesan dengan perhelatan ini. Terlebih karena dia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sesama penghayat kepercayaan dari beberapa daerah lainnya di Indonesia.

“Saya merasa sangat senang. Di sini kami bisa bertemu, bercerita, saling berbagi segala hal yang kami rasakan sebagai penghayat kepercayan. Kami banyak berbagi cerita tentang adat, ajaran kepercayaan hingga tentang leluhur-leluhur masing-masing. Yang saya rasakan, sangat nyata ini bukti keberagaman yang dimiliki Indonesia.” Ujar Lambok.

Lambok tidak berlebihan. Kesan positif juga dirasakan oleh banyak penghayat lainnya yang juga ikut dalam perhelatan festival ini. Festival selama seminggu yang juga menampilkan penampilan kesenian dari masing-masing komunitas penghayat kepercayaan ini memang telah memberikan kesadaran yang semakin kuat dalam diri para penghayat kepercayaan khususnya kesadaran tentang pengenalan diri dan sesamanya dengan lebih mendalam serta munculnya rasa dihargai atas keberadaan diri dan kepercayaannya.

“Kekayaan adat dan budaya Sumba itu luar biasa. Kami dulu tidak dibolehkan melakukannya. Tapi sekarang kami bisa melakukannya lagi. Bahkan sampai ke luar Sumba. Sehingga bagi kami, ini sangat luar biasa.” Kata Magi Diala, perempuan penghayat kepercayaan Marapu dari Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Magi Diala adalah salah satu orang yang ikut tampil menari khas Sumba di atas panggung festival pada Minggu sore, (29/7).

Penghayat lain, yakni Arnol Purba dari Ugamo Bangso Batak di Sumatera Utara juga sangat antusias mengikuti festival yang kental dengan unsur kesenian dan kebudayaan ini. Arnol adalah seorang penghayat yang memang memiliki perhatian besar pada kesenian dan kebudayaan.

“Saya sangat terkesan (dengan Festival Kearifan Lokal). Khususnya buat anak-anak atau generasi muda, acara seperti ini penting, supaya mereka tahu bahwa mereka punya identitas kesenian tradisional, tidak kehilangan kesenian atau budaya mereka yang sesungguhnya. Buat saya sendiri juga ini menarik, karena saya bisa menyaksikan berbagai kesenian di luar kesenian Batak yang saya ketahui.” Kata pria yang menyediakan rumahnya di Medan untuk menjadi sanggar bagi anak-anak untuk belajar kesenian dan kebudayaan asli Batak.

Aktifitas budaya dan kesenian menjadi medium interaksi antara para penghayat kepercayaan dengan masyarakat umum di Festival Kearifan Lokal, Desa Salamrejo, Kulonprogo. Sabtu, (28/7). [Foto : Bima Sakti]
Sementara bagi warga Desa Salamrejo, festival ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengenal komunitas-komunitas penghayat kepercayaan, terlebih karena para penghayat ini tinggal di beberapa rumah warga desa selama penyelenggaraan festival, sehingga interaksi sosial di antara warga desa, terutama yang rumahnya menjadi tempat live in (menginap) dengan para penghayat pun menjadi lebih sering terjadi.

“Mereka bercerita tentang kehidupan mereka di tempat asalnya, juga cerita tentang kepercayan mereka. Bagi saya ini membuktikan bahwa hidup memang beragam, karena saya sebelumnya tidak tahu banyak tentang mereka.” Kata Fifah Yusniar, salah satu warga yang rumahnya digunakan sebagai tempat live in.

Respon tuan rumah yang positif meninggalkan kesan tersendiri bagi para penghayat. Beberapa di antara mereka bahkan tak menyangka akan mendapat sambutan yang baik. “Di sini saya sampai disediakan sabun mandi, minuman kopi dan teh segala. Padahal alat mandi saya sudah bawa sendiri dari rumah. Tuan rumahnya baik sekali.” Ujar Carlim, penghayat Sapta Darma Brebes yang tinggal di rumah keluarga Sugiyarto dan Fifah Yusniar.

Keberadaan agama leluhur/penghayat kepercayaan merupakan bagian dari  kekayaan intelektual, kultural maupun spiritual harusnya dipahami sebagai aset bangsa yang patut disyukuri. Agama leluhur memiliki kearifan lokal yang syarat dengan nilai dan tradisi.

Masyarakat Marapu di Sumba memiliki keyakinan bahwa manusia yang masih hidup berkewajiban menjaga relasi dengan arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa para leluhur selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani melanggar Ina nuku Ama hara (hukum dan aturan) sehingga relasi manusia dan alam harus harmonis.

Contoh lainnya adalah Sipaha Lima yakni upacara rasa syukur Parmalim yang diwujudkan dalam serangkaian ritual diantaranya menyerahkan seserahan hasil panen kepada Tuhan diiringi tabuhan musik gondang sabangungan, sementara peserta ritual melakukan Manortor. Dua permisalan ini meneguhkan eksistensi agama leluhur/penghayat kepercayaan sebagai kelompok masyarakat yang bisa diandalkan dalam memertahankan kearifan lokal.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut SATUNAMA menyelenggarakan Festival Kearifan Lokal dengan tema “Merayakan Keberagaman Nilai dan Tradisi Nusantara”. Harapannya, festival ini akan menjadi momentum perayaan bagi penghayat kepercayaan, ajang untuk saling belajar dan juga menjadi bagian dari kampanye Inklusi di Indonesia. [A.K. Perdana/SATUNAMA]

Tinggalkan komentar