FSTVLST dan Idealisme Kesetaraan di Festival Kearifan Lokal

Festival Kearifan Lokal yang digelar oleh SATUNAMA bersama warga Desa Salamrejo, Kulonprogo mencapai puncaknya pada Minggu, (29/7). Sejak sore panggung sudah diisi oleh berbagai penampilan kesenian dari para peserta penghayat kepercayaan dari berbagai daerah di Indonesia yang cukup menarik perhatian pengunjung.

Beberapa penampil yang muncul adalah komunitas Marapu dengan dua macam tarian yaitu Woleka dan Kataga. Dua buah tarian yang melambangkan rasa syukur dan kebangkitan semangat bagi masyarakat Sumba. Komunitas Bayan dari Lombok Utara menampilkan kesenian Mandewa, Dari komunitas Sapta Darma Brebes muncul Tari Lengger khas Banyumas, Parmalim dan Ugamo Bangso Batak dari Sumatera Utara menampilkan tarian khas Batak. Sementara tuan rumah Majelis Eklasing Budi Murka dari Kulonprogo muncul dengan macapat.

Pada malam harinya, lapangan Salamrejo semakin padat pengunjung. Beberapa band lokal bergantian mengisi panggung sejak pukul 19.15 WIB. Mereka muncul dengan berbagai genre musik modern. Sementara puncak acara malam itu adalah penampilan FSTVLST. Kelompok musik asal Kota Yogyakarta yang selama ini dikenal dengan tema-tema lagunya yang bernuansa kesetaraan ini muncul di panggung pada sekitar pukul 21.00 WIB.

Kesetaraan dalam keragaman

FSTVLST boleh dibilang adalah band yang memiliki visi. Di tengah-tengah derasnya tema-tema lagu mainstream dalam kancah musik yang industrialis, mereka meletakkan tema kreasinya pada isu yang edukatif. Ini tidak lepas dari kesadaran FSTVLST bahwa sebagian besar penggemar mereka adalah anak muda. Sehingga edukasi –khususnya melalui seni dalam hal ini adalah musik- menjadi sesuatu yang dianggap penting.

Berita-berita tentang kesetaraan dan inklusi kerap dilontarkan oleh Farid Stevy Asta, vokalis FSTVLST di panggung Festival Kearifan Lokal, Desa Salamrejo, Kulonprogo, Minggu (29/7). [Foto : Ariwan K Perdana]
“Apa yang kami lakukan adalah mencoba menerjemahkan akal sehat ke dalam bentuk karya. Kami sebagai unit pekerja seni, ada sebagian publik yang mengikuti kami. Entah apakah mereka paham dengan berita yang kami sampaikan. Tapi  keyakinan kami di unit ini, kami ingin membicarakan hal-hal baik. Berusaha menjejalkan hal-hal yang semoga baik kepada mereka.” Ujar Farid Stevy, vokalis FSTVLST dalam obrolan dengan SATUNAMA sebelum tampil di FKL.

Tema besar kesetaraan yang diusung FSTVLST memang sesuai dengan tema yang diusung dalam Festival Kearifan Lokal yang mengusung nilai-nilai dan keragaman yang dimiliki Indonesia. Sinkronisasi itu semakin nampak saat FSTVLST tampil di atas panggung. Farid banyak melontarkan pesan-pesan edukatif dengan tema-tema kesetaraan dan inklusifitas kepada penonton dengan menggunakan analogi-analogi sederhana yang mudah dipahami oleh audiens.

Salah satu obyeknya adalah pakaian kaos yang dipakai oleh para penonton. Farid menanyakan kepada penonton apakah ada di antara mereka yang datang malam itu dengan mengenakan kaos band lain dan bukannya kaos FSTVLST. Pertanyaan itu direspon sebagian penonton yang tidak mengenakan kaos FSTVLST dengan mengangkat tangan.

“Itulah keragaman dan kesetaraan. Kalian tidak harus datang ke konser FSTVLST dengan memakai kaos FSTVLST. Kalian boleh menjadi fans dari band manapun dan datang ke konser band manapun dengan menjadi diri kalian sendiri.” Ujar Farid kepada penonton. Tidak hanya beranalogi dengan kaos penonton, pesan keragaman juga muncul saat FSTVLST memainkan beberapa komposisi lagu milik band lain yang ikut dinyanyikan oleh penonton, meskipun lagu-lagu tersebut tidak dimainkan secara penuh.

Terkait dengan keberadaan komunitas penghayat kepercayaan, dalam obrolan dengan SATUNAMA, FSTVLST menyebutkan bahwa rekognisi menjadi hal yang penting dalam kerja-kerja mengangkat keberadaan mereka. Terlebih ternyata beberapa punggawa FSTVLST juga memiliki pengalaman bersentuhan dengan komunitas penghayat kepercayaan.

Roby Setiawan, gitaris FSTVLST melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan di Nusantara sangat lekat dengan budaya dan keseharian para penganutnya. Hal ini pula yang membuat kearifan lokal masih dapat bertahan hingga kini. [Foto : Ariwan K Perdana]
“Saya tahu bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memang ada dan lekat kaitannya dengan budaya dan keseharian mereka yang menganutnya. Saya ada kawan dari Jawa Tengah yang menjadi penghayat kepercayaan. Tentang detil aliran kepercayaannya saya tidak terlalu paham. Tapi dari pengalaman saya berinteraksi dengan dia, saya lihat kearifan lokal sampai sekarang masih bertahan karena ada orang-orang seperti mereka ini yang masih nguri-uri budaya.” Kesan Roby Setiawan, sang gitaris FSTVLST.

Sementara Farid melihat secara lebih makro bahwa kelompok seperti penghayat kepercayaan seharusnya juga mendapat kesempatan yang sama untuk hidup di negara ini. “Kalau masih ada orang yang ingat, ada yang masih peduli, dan yang terpenting ada orang yang berani mengutarakan tentang mereka, itu pertanda baik. Kita pernah hidup di jaman yang semuanya serba dilarang. Kalau kamu berbeda kamu tidak boleh muncul sebagai dirimu, karena nanti dianggap salah. Itu kan seperti menyerah pada keadaan yang menyudutkan. Itu sebabnya kami mendorong keberanian untuk menjadi diri sendiri.” Kata Farid.

Pemikiran Farid dan kawan-kawannya memang tercermin dalam lagu-lagu yang mereka komposisikan. Salah satu lagu yang malam itu dimainkan, yaitu Orang-Orang di Kerumunan dengan jelas menuturkan soal keresahan mereka terhadap paradigma orang-orang yang cenderung tidak menghargai keberadaan orang atau kelompok yang berbeda. Kondisi semacam itu akhirnya justru menimbulkan dampak berupa pola relasi sosial yang eksklusif, tidak bersedia membuka diri untuk penerimaan yang setara dan inklusif.

Lebih jauh, menurut Farid, masyarakat sekarang tidak dididik untuk menerima perbedaan secara positif. Itu sebabnya mereka kemudian mengangkat tema kesetaraan karena Indonesia sangat plural. “Singkatnya kami memberikan perspektif bahwa nggak masalah kan kalau kamu laki-laki dan temanmu perempuan, kamu beragama ini dan temanmu beragama itu dan sebagainya. Yang penting bagaimana bisa membangun hubungan baik.” Lanjut Farid.

FSTVLST menjadi pemuncak acara pada Minggu, (29/7). Selama sekitar 45 menit mereka menggelontorkan lagu-lagu mereka dan bernyanyi bersama ratusan orang yang memadati Lapangan Salamrejo, yang sebagian besar adalah penggemar mereka. Penampilan Farid, Roby dan kawan-kawannya juga terbilang cukup rapi secara musikal. Mereka juga sangat komunikatif dengan membangun konstruksi dialog yang akrab dengan penonton. Sebuah gaya yang memang selalu muncul dalam setiap penampilan mereka.

Membangun dialog akrab dengan audiens membuat penampilan FSTVLST terasa inklusif di Festival Kearifan Lokal, Desa Salamrejo, Kulonprogo, Minggu (29/7). [Foto : Ariwan K Perdana]
Konser mereka malam itu tentu tidak serta merta dapat membangun kehidupan yang inklusif, khususnya di wilayah Desa Salamrejo. Namun setidaknya FSTVLST berharap bahwa konsep penampilan mereka yang berbasiskan kampanye kesetaraan dan inklusi cukup memberikan kontribusi dalam usaha menanamkan kesadaran akan pola relasi sosial yang lebih bermartabat tanpa mempermasalahkan perbedaan.

“Apakah yang kami lakukan ini akan memberikan efek kepada publik sehingga mereka menjadi semakin baik, menjadi lebih baik atau menjadi sangat baik, itu tentu di luar kemampuan kami. Tapi setidaknya kalau ada orang yang bisa memberikan sebuah wacana kepada publik, itu sudah lumayan. Dengan begitu, setidaknya kami sudah membuka ruang diskusi.” Kata Farid.[] (Berita & Foto : Ariwan K. Perdana/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar