Pudarnya Keanggunan Desa Oleh Aglomerasi Kota

Desa merupakan sebuah komunitas yang mandiri, di mana setiap individu di dalamnya selalu mampu bekerja untuk kebutuhannya. Orang desa memiliki kemampuan luar biasa untuk survive tanpa harus mengandalkan bantuan-bantuan eksternal. Karena orang desa memiliki keunggulan yang tak dimiliki masyarakat perkotaan, yaitu keunggulan internal berupa olah hubungan dengan alam dan sesamanya, yang membuatnya mampu hidup dalam kondisi apapun.

Merujuk pada karakteristik kota pada masa lampau, Arkeologis Australia Gordon Childe pernah mengungkapkan bahwa salah satu ciri sebuah wilayah yang berkembang menjadi perkotaan adalah ketika penduduknya tidak lagi menanam atau memproduksi makanan sendiri. Ciri ini masih terasa relevan dengan kondisi masa kini di mana kebanyakan penduduk perkotaan lebih memilih mengandalkan bekal ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangannya daripada harus mengusahakannya sendiri dengan cara menanam. Maka dapat pula dikatakan bahwa salah satu indikator berubahnya kawasan pedesaan menjadi perkotaan adalah ketika semakin tergantungnya masyarakat di wilayah tersebut terhadap sektor jasa.

Sebagai wilayah yang majemuk dan padat kepentingan, kota mau tidak mau memang berkembang dengan segala fasilitas akses dan tawaran jasa di berbagai bidang tidak hanya di urusan pangan. Kecenderungan inilah yang akhirnya berimbas pada perputaran bisnis yang tidak kecil di kota. Dan ketika segalanya sudah melulu diukur dengan takaran ekonomi, aspek-aspek yang bersifat humanis pada akhirnya hanya menjadi dekorasi saja atau bahkan di beberapa hal punah.

Semakin pudarnya alamiah desa oleh aglomerasi kota juga nampak pada munculnya gelombang urbanisasi yang semakin membesar. Keterpikatan masyarakat desa terhadap gemerlap kota menjadikan desa semakin minim dengan sumber daya manusia dan kota penuh dengan para pencari kerja. Anggapan bahwa sukses berarti harus ke kota sudah demikian jamak meraja. Setidaknya, menanam padi dan bertani kini sudah bukan lagi menjadi cita-cita mulia. Mau sukses? Pergilah ke kota.

Yogyakarta sendiri meski sudah sejak lama berpredikat sebagai kota, sebenarnya memiliki potensi-potensi sumber daya yang tidak hanya berbau perkotaan. Kita dapat melihat bahwa wilayah ini dikelilingi oleh desa-desa yang menjadi penyangga utama kehidupan dan perkembangan Yogyakarta. Namun desa-desa itu kini sudah semakin tergerus oleh bangunan-bangunan khas perkotaan seperti perumahan eksklusif dan tempat belanja modern. Beberapa wilayah desa kini nampak gemerlap dengan tata cahaya yang bukan sebagai penerang jalan kala malam namun sebagai penanda tempat berputarnya aktivitas transaksi ekonomi.

Sementara di jantung kota Yogyakarta, kecenderungan seperti itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi dengan munculnya bangunan-bangunan baru yang sebagian besar bersifat mendorong orang merasa membutuhkan sesuatu yang belum tentu dibutuhkannya serta semakin tidak terhitungnya jumlah visualisasi-visualisasi bergerak di berbagai perempatan jalan dan sudut kota strategis yang memperlihatkan tawaran-tawaran produk atau jasa.

Apa yang tersebut di atas hanya satu dua kepingan gambar dari sebuah goresan gambar besar proses yang tengah berlangsung bernama Aglomerasi Kota. Menanggapi hal tersebut, tema ini diputuskan untuk diangkat dalam edisi tematik Februari 2016 di satunama.org. Dalam edisi tematik kali ini beberapa artikel dimunculkan di laman satunama.org, di antaranya adalah tulisan-tulisan dari beberapa pegiat yang peduli dengan perkembangan isu aglomerasi kota, misalnya tentang #GerakanMembunuhJogja yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial, juga ada artikel menarik tentang aglomerasi di Sleman, dampak aglomerasi kota terhadap kesehatan reproduksi perempuan serta ada bincang-bincang dengan Dodok Putra Bangsa, salah satu aktor sipil yang kuat melakukan pergerakan mengkritik perkembangan kota Yogyakarta modern belakangan ini.

Semoga artikel-artikel di edisi tematik Februari 2016 ini bisa menjadi bagian dari upaya mengetuk kesadaran individu untuk minimal memahami bahwa kota sesungguhnya tidak bisa melepaskan diri dari desa sebagai sumber utama penghidupannya, dan juga bahwa perkembangan sebuah kota harus selalu mempertimbangkan sisi kemanfaatan pembangunan bagi warga dan pemenuhan kebutuhan warga yang mendiaminya.

Selamat membaca edisi tematik Februari 2016.

Penjaga dapur Media SATUNAMA.

Tinggalkan komentar