Beberapa waktu lalu publik musik Indonesia serasa seperti dibangkitkan rasa nasionalismenya oleh Arkarna. Band asal Inggris ini menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 merilis lagu Kebyar-kebyar karya almarhum Gombloh. Respon publik Indonesia begitu antusias . Hingga akhir Agustus, sekitar 2 minggu setelah diunggah di Youtube, video Kebyar-kebyar versi Arkarna itu sudah ditonton lebih dari 700.000 kali. Komentar yang muncul di internet pun sebagian besar antusias.
Siapa sebenarnya Arkarna? Kenapa band ini tiba-tiba merilis salah satu lagu karya musisi legendaris Indonesia? Seorang kawan jurnalis menyebut apa yang dilakukan Arkarna itu sebenarnya tak lebih dari sebuah usaha untuk mencari ceruk pasar musik, karena Arkarna sudah tidak laku di tanah kelahirannya. Arkarna terbentuk pada pertengahan 90an. Band ini memang sempat punya hits seperti So Little Time yang lumayan digemari kala itu. Mereka terakhir kali merilis album pada 2000 dan malah bubar setahun kemudian. Karirnya memang terhitung pendek. Praktis sebenarnya tak banyak yang cukup mengenal Arkarna, apalagi mereka-mereka yang lahir di dekade 90an. Namun tiba-tiba setelah Ollie Jacobs dkk merilis Kebyar-kebyar, mereka mendadak jadi fans. Lalu setelah lebih dari 10 tahun tidak ada juntrungannya, tahun 2014 Arkarna mendadak muncul, tanpa lihat kiri-kanan tiba-tiba menyuarakan dukungannya terhadap calon presiden Jokowi menjelang pilpres tahun lalu. Dibantu dengan fasilitas internet dan sosial media yang membuat segala cerita menjadi instan tersebar, dalam waktu singkat nama mereka pun kondang di Indonesia. Sebuah potensi pasar pun terbuka untuk digarap.
Bertolak dari peristiwa peristiwa tersebut, kita dapat melihat bahwa kegemaran bangsa ini terhadap hal-hal yang berasal, berbau atau bernuansakan luar negeri sangatlah besar, tak peduli apakah barangnya benar-benar berkualitas atau tidak. Karena rakyat Indonesia yang ingin bangsanya maju, seringkali merasa bahwa maju artinya harus dekat atau menyukai hal-hal yang bernuansa global, luar negeri. Arkarna paham ini. Mereka kemudian menawarkan sesuatu untuk menarik simpati publik Indonesia berupa daur ulang salah satu karya musik paling epic yang dimiliki bangsa ini dan merilisnya pada bulan Agustus. Tawarannya pun bersambut gemilang.
Dalam skala yang lebih luas, kecenderungan semacam ini juga banyak ditemukan. Keengganan untuk melirik aspek-aspek, pemikiran-pemikiran, sejarah, keotentikan lokal masih cukup dominan, sehingga tak jarang bahkan sampai pada tataran tidak mengenal identitas kelokalannya sendiri. Anak-anak kecil merasa asing dengan permainan tradisi lokal. Para akademisi cenderung mengesampingkan khasanah keilmuan lokal. Psikolog Ryan Sugiarto, dalam bukunya Psikologi Raos menyebut gejala ini sebagai hal yang terasa lebih membanggakan ketika membincangkan teori-teori Gramsci atau Heidegger ketimbang berbicara tentang pemikiran-pemikiran Suryomentaram.
Menjaga Kesucian
Menjaga kedaulatan dan martabat bangsa bukan pada masalah bersikap emosional yang mendadak berang ketika ada kualitas kesejatian bangsa yang diklaim oleh bangsa lain. Sementara usaha pengenalan terhadap siapa sesungguhnya bangsanya sendiri kerap tidak diacuhkan. Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa dalam bangsa ini telah mengenali diri sejati kebangsaannya? Karena kalau sebuah bangsa masih belum benar-benar mengenali dirinya sendiri, bagaimana mungkin bisa memiliki pengetahuan tentang martabat dan kedaulatan macam apa yang harus dijaganya.
Semakin pudarnya nilai-nilai otentik dan identitas lokal bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng, karena itu merupakan harta tak ternilai sebuah bangsa yang seharusnya terlindungi kesuciannya dari segala yang bisa membatalkan atau mengotorinya. Namun yang terjadi, globalisasi justru digunakan untuk melakukan generalisasi terhadap tatanan nilai, norma dan hukum yang berlaku. Baik-buruk, benar-salah, modern-kuno, bagus-jelek, semua diukur melalui parameter yang sama di seluruh dunia, tanpa menghiraukan keunikan, potensi kearifan lokal yang dipegang oleh suatu bangsa atau masyarakat. Jika pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan kerapkali digaung-gaungkan sebagai bagian dari membangun kebersamaan dalam kehidupan, namun di sisi lain muncul gelombang penyeragaman budaya dan pandangan hidup yang begitu deras menenggelamkan identitas dan kesejatian diri, rasanya bukan itu ide dari kemerdekaan.
Keputusan hidup seseorang sepantasnya ditentukan oleh kesadaran dirinya atas keputusan tersebut. Karena jika keputusannya dibuat berdasarkan budaya dan kepentingan orang lain, maka dia hanya akan menjadi manusia yang melulu latah tanpa tahu arah ke mana melangkah di jalan raya peradaban. Apalagi kini peradaban kian ramai oleh barang-barang yang tidak diketahui apakah diperlukan atau tidak keberadaannya. Dan orang-orang, melalui tayangan-tayangan iklan yang membius, digiring untuk merasa membutuhkan suatu barang yang dalam tataran kehidupannya yang wajar, barang itu sebenarnya tidak dibutuhkannya.
Lalu kemudian bagaimanakah nasib otentisitas dan originalitas sebuah bangsa? masihkah itu dianggap penting sebagai suatu kedaulatan yang pantas dipertahankan atau haruskah menjadi follower pasrah bangsa atau budaya lain saja dan kehilangan tapak sejarah dan profil jati dirinya sendiri? Apakah dengan dalih bahwa suatu bangsa harus maju, berarti harus juga menghilangkan identitas kebangsaan dan kesejatiannya?
Sebuah bangsa seharusnya mampu merawat kemerdekaannya yang berupa ketahanan dalam menghadapi pengaruh, kepungan atau pembatasan ukuran-ukuran, patokan-patokan, yang bukan ditentukan oleh kepentingan, kebutuhan dan kodrat alamiah bangsa itu sendiri. Sebagai individu yang dianugerahi kemampuan untuk berkembang, seseorang memang harus melakukan eksplorasi, namun dalam proses eksplorasinya, dia harus mampu menjadi dirinya sendiri sekaligus tetap bernaung dalam koridor penghargaan dan penghormatan terhadap budaya lain.
Jika sebuah bangsa mampu tumbuh dan hidup dalam semesta tata nilai yang lahir dari leluhur kesejarahannya sendiri, maka segala kiprah dan kepribadiannya akan berkembang ke arah yang tidak akan mengabaikan fakta kealamiahannya. Dan bangsa itulah, yang mampu mengenali dan menjaga kesuciannya, yang boleh disebut bangsa yang merdeka.[]
Ariwan K.Perdana
Staf Media
Departemen Pengelolaan Pengetahuan Jejaring dan Media
Yayasan SATUNAMA