Pengelolaan hutan saat ini berada dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi menjadi lahan pengembangan ekonomi yang masif, namun di sisi lain berhadapan dengan semakin banyaknya krisis ruang terbuka hijau akibat deforestasi. Global Forest Watch mencatat, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara 2002 dan 2020. Analoginya mencemaskan. Hutan seluas 11 lapangan sepak bola hilang setiap menit pada 2022, dengan kehancuran tertinggi terjadi di Brasil (BBC NEWS, 2023). Indonesia bahkan berada di peringkat ke-4 sebagai negara peringkat atas yang kehilangan hutan tropis primer di tahun 2022. Jumlahnya mencapai 230.000 hektar.
Di Indonesia, 4 wilayah teratas yakni Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah menyumbang 51% dari semua kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2023. Riau mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 4.20 Mha dibandingkan dengan rata-rata sebesar 935 kha. Jumlah pengurangan hutan primer di Indonesia berhasil diturunkan dalam beberapa tahun terakhir sejak mencatat rekor tertingginya pada 2016. Namun jangan terlalu percaya diri. Hutan, tempat penghidupan makhluk di planet ini telah dibabat secara masif oleh manusia.
Deforestasi hanya menjadi satu masalah yang terjadi dalam konteks menyusutnya kualitas lingkungan dan alam. Di sisi lain, manusia harus berhadapan masalah sampah, kurangnya ruang terbuka hijau (RTH), polusi, dan berbagai bentuk pencemaran lingkungan lainnya. Lantas apa urgensi membicarakan hutan? Hutan merupakan satu kesatuan dari ekosistem di bumi dengan kawasan lahan yang isinya sumber alam hayati dengan dominasi dari sekelompok alam di lingkungannya, yang tidak akan bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya (Wirmayanti dkk., 2021: 199). Namun, perspektif ini tampaknya tidak sampai di pikiran semua pihak. Bagi sebagian orang hutan merupakan salah satu aset yang dapat digunakan secara cuma-cuma.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, pemanfaatan lahan bagi masyarakat hanya 4,14 % saja, sementara sisanya 95,76 % kawasan hutan dikuasai perusahaan-perusahaan swasta. Sampai dengan tahun 2018, ada 541 pemegang izin dari sektor kehutanan, 1.866 pemegang izin perkebunan kelapa sawit, dan 11.418 pemegang izin usaha. Persoalan ini menjadi salah satu masalah ekologis yang sering muncul ke ruang publik. Peran pemerintah melalui regulasi undang-undang pun seolah hanya membatasi badan usaha yang termasuk dalam regulasi sementara berbagai aktivitas lain di luar regulasi tersebut tidak dapat dikontrol.
Preferensi Filsafat Lingkungan
Dalam kajian filsafat lingkungan, Arne Naess (1912-2009) menekankan bagaimana manusia harus sampai pada kesetaraan dengan seluruh kehidupan, tidak hanya kesetaraan dengan sesama manusia melainkan kesetaraan dengan alam dalam bentuk pengalaman langsung dan penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan. Konsep inilah yang kemudian dikenal sebagai deep ecology yang berusaha menghadang laju antroposentrisme dan lebih banyak memberikan tempat bagi ekosentrisme.
Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup (Keraf, 2006:76). Pada dasarnya, konsep ini tidak melihat dunia sebagai sebuah kumpulan dari berbagai objek yang terisolasi tetapi memandang dunia sebagai suatu jaringan fenomena yang saling terhubung dan saling memiliki ketergantungan secara fundamental.
Deep Ecology mengakui nilai-nilai intrinsik dari semua makhluk hidup dan menghendaki adanya perubahan kebijakan dalam mengatasi krisis atau darurat lingkungan hidup (Satmaidi, 2015:6). Itulah mengapa manusia perlu menyadari bahwa antara dirinya dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak terbatas pada relasi subjek-objek melainkan subjek-subjek.
Sejalan dengan Arne Naess, Aldo Leopold juga memberikan pandangan serupa terkait representasi alam di zaman ini. Ia mengemukakan teori land ethic yang menekan disposisi alam sebagai subjek dan penekanan pada sikap empati terhadap alam melalui sikap yang lebih humanis, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada alam (Sarah dkk., 2023:760). Leopold mendasarkan etika lingkungan pada kebiasaan sehari-hari dan mencakup pada kepekaan terhadap alam, bukan manusia (Quilley, 2009:136).
Bagi Leopold, kepekaan ekologis inilah yang harus terus menerus berproses untuk mencapai etika lingkungan. Contoh sederhana yang disampaikannya berkaitan dengan etika lahan yang dapat membuat para petani memiliki ikatan emosional dengan lahannya melebihi utilitas yang dinilai sempit atau keuntungan jangka pendek (Quilley, 2009:136).
Terhadap beragam kemelut ekologis ini, deep ecology atau pun land ethic penting untuk diinternalisasi. Ini seharusnya menjadi pendekatan penting karena menempatkan alam sebagai bagian integral dalam kehidupan sehingga harus diperlakukan dengan baik (Sarah dkk., 2023: 756 ). Dengan begitu orang akan memperlakukan alam setara dengan dirinya. Mengeksploitasi alam secara serampangan sama halnya dengan mengeruk diri sendiri.
Preferensi Hukum Lingkungan
Di Indonesia, sikap kritis terhadap lingkungan masih menjadi sesuatu yang dilematis. Laju perekonomian yang ditopang oleh industrialisasi menjadikan alam sebatas objek. Permasalahan tersebut hanya dapat diatasi dengan mengubah cara pandang dan perilaku manusia yang secara fundamental bersikap radikal terhadap alam.
Beberapa kasus minus etik yang muncul ke ruang publik secara konsisten memperlihatkan relasi manusia dan alam sebagai subjek-objek. Kurangnya pengetahuan dan pandangan manusia terhadap alam justru menjadi masalah utama yang belum terselesaikan. Regulasi terhadap lingkungan pun sudah seharusnya menjadi pijakan berbagai pihak terutama dalam memberlakukan sistem ekonomi yang menjurus pada perbaikan lingkungan. Hal inilah yang patut dilihat dari situasi Indonesia hari ini di mana antroposentrisme masih mendominasi ekosentrisme.
Regulasi pemerintah terkait lingkungan hidup sejatinya telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang tersebut menekankan kewajiban penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Analisis Mengenai dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Pada dasarnya, regulasi tersebut berakar pada dua karakter regulasi, yaitu regulasi yang bersifat environmental policy dan integral policy (Satmaidi, 2015:8).
Environmental policy menekankan pada regulasi khusus untuk menata satuan ekosistem. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 112 Tahun 2022 menekankan percepatan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mempertegas intensi pemerintah dalam mengurangi emisi dari sektor energi (Halimatussadiah, 2023:1). Beberapa hal yang diatur dalam regulasi ini adalah batas harga dan metode penetapan harga energi terbarukan serta pembatasan penggunaan PLTU batu bara. Contoh lain yaitu berkaitan dengan eksistensi hutan desa yang diatur dalam Permen LHK No. 21 Tahun 2019.
Integral policy merujuk pada kesatuan regulasi lingkungan yang dibuat agar setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat sejalan dan tidak saling bertentangan. Pada dasarnya, regulasi yang telah ditetapkan harus selaras dengan regulasi lain yang telah ditetapkan atau telah dijalankan. Sebagai contoh, penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya harus sejalan dengan upaya penegakan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah dan para pemangku kebijakan wajib memastikan agar peraturan yang telah dibuat tidak tumpang tindih. Di samping itu yang tak kalah penting adalah kontrol terhadap implementasi kebijakan di semua tingkat. Jelas ini membutuhkan niat dan komitmen yang tinggi. Termasuk kerja sama lintas sektor dan lembaga. Organisasi Masyarakat Sipil (LSM) menjadi salah satu mitra strategis tetapi wajib kritis dalam mengontrol kebijakan-kebijakan terkait hutan. Alam adalah kita. Mari terus berbenah. [Opini: Y. Roby Tampang / Penyunting: Oka Gualbertus]
Bahan Bacaan:
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006
Ayu, Putu, dkk. “Akibat Hukum Penebangan Hutan Secara Liar.” Jurnal Preferensi Hukum (2) 2021; 197-201
Satmaidi, Edra. “Konsep Deep Ecology Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.” Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, (24) 2015; 1-13
Sarah, Siti dkk. “Ekofilosofi Deep Ecology Pandangan Ekosentrisme terhadap Etika Deep Ecology” Gunung Djati Conference Series (19) 2023; 754-761
Quilley, Stephen. “The Land as an Ecological Civilizing Process: Aldo Leopold, Norbert Elias, and Environmental Philosophy.” Environmental Ethics (31) 2009; 115-134
Halimatussadih, Alin dkk. “Environmental Policy” Economic Brief LPEM UI (1) 2023; 1-16
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-66034123
World Resources Institute. (2021). Global Forest Watch. Globalforestwatch.org. https://www.globalforestwatch.org/