Musyawarah: Ruang Inklusif Mengelola Hutan Desa di Sarolangun dan Merangin 

Perubahan teknologi tak dipungkiri mengubah cara-cara masyarakat berkomunikasi. Setiap orang dengan mudah terhubung melalui saluran-saluran komunikasi yang membanjir. Setiap orang dengan cepat menemui dan ditemui sumber-sumber informasi. Tanpa memerlukan usaha yang besar. Semua terjadi dengan begitu cepat. R. D. Laing, The Politics of Experience membahasakannya dengan ungkapan “We live in a moment of history where change is so speeded up that we begin to see the present only when it is already disappearing”. 

Masih dalam konteks yang sama, kita sering mendengar term information society (masyarakat informasi). Ada beragam pemikiran yang mengurai apa sebenarnya masyarakat informasi itu? Banyak retorika masyarakat informasi bertumpu pada gagasan bahwa teknologi informasi “memberdayakan” individu (Hassan, 2013). Ini memberikan gambaran bagaimana teknologi selalu hadir dalam ruang-ruang kehidupan manusia. 

Di tengah berkembangnya ruang-ruang komunikasi yang termediasi oleh teknologi, musyawarah masih memiliki tempat. Bermusyawarah dianggap sebagai cara yang efektif dalam bertukar pikiran dan mengambil keputusan. Musyawarah digunakan untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan demi mengakomodir aspirasi semua pihak. 

Praktik musyawarah berakar dari tradisi kultural bangsa Indonesia dan cenderung menampilkan proses yang alot dan relatif sulit untuk diterapkan dalam perpolitikan kontemporer kecuali dalam skala isu dalam skala kecil (Koentjaraningrat dalam Kawamura, 2011). Namun bukan berarti musyawarah hanya menjadi kebiasaan masa lalu yang tidak lagi relevan.

Ruang Inklusif

Dalam konteks mengelola hutan, masyarakat di Kabupaten Sarolangun dan Merangin, provinsi Jambi masih teguh pada praktik musyawarah. Pengelolaan hutan desa dalam Program Rimbo Umah Kito (RUK) yang digagas oleh SATUNAMA memanfaatkan musyawarah sebagai ruang pengambilan keputusan. Musyawarah bukan hanya dilakukan ketika terjadi suatu masalah. Musyawarah dapat menjadi langkah awal dalam menyikapi hal-hal yang dianggap krusial dan berdampak bagi masyarakat terkait hutan desa. Dengan keteguhan sikap dan rasa kebersamaan, masyarakat desa melakukan musyawarah sebagai sarana mengemukakan ide, pendapat dan masukan dalam menciptakan keputusan yang tepat serta mengandung nilai-nilai keadilan.

Sebagai ruang inklusif, musyawarah menjadi praktik baik dalam pengelolaan hutan desa yang didampingi Yayasan SATUNAMA. Ada cerita menarik. Di salah satu Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dampingan SATUNAMA dilakukan revitalisasi kelembagaan. Proses revitalisasi ini menggunakan musyawarah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Perwakilan pemerintah desa, perempuan, lembaga adat, dan pengelola hutan desa terlibat dalam proses musyawarah. 

Dari musyawarah tersebut lahirlah kepengurusan baru. Beberapa pihak yang sebelumnya merangkap jabatan sebagai perangkat desa diganti. Termasuk yang punya relasi keluarga dalam kepengurusan LPHD. Pergantian ini menimbang konflik kepentingan dan kecemburuan sosial dalam masyarakat yang mungkin terjadi.

Proses musyawarah di salah satu desa dampingan Yayasan SATUNAMA (Foto: Dyah Puspita)

Partisipasi aktif masyarakat dalam musyawarah mempertegas kebijakan terkait pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat (Permen LHK Nomor 9 tahun 2021). Adanya pengakuan atas hutan desa harus memberikan manfaat pada khalayak banyak. Dengan demikian dorongan dalam pengambilan keputusan wajib ditempuh dengan musyawarah. Sebuah praktik baik para pendahulu yang patut dihidupkan. 

Hadirnya Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) pun menjadi modal awal yang kuat agar pengelolaan hak dan wilayah hutan yang ada di sekitar desa dapat dijaga, dilestarikan dan dikelola secara berkelanjutan sehingga menjamin kesejahteraan yang berdampak luas bagi masyarakat di desa. Keterlibatan SATUNAMA dalam program RUK di banyak kesempatan mendorong LPHD untuk memanfaatkan praktik musyawarah. 

Aktivitas ini telah berjalan di LPHD Tambak Ratu dan LPHD Batin Pengambang yang didampingi SATUNAMA. Bukan sekadar formalitas, musyawarah tetap didorong sebagai upaya melestarikan nilai-nilai lokalitas yang telah diwariskan. Pada akhirnya praktik baik dari musyawarah menjamin pengambilan keputusan yang lebih inklusif dalam mengelola hutan desa [Berita: Decky Sangkuno | Foto: Dyah Puspita | Editor: Oka Gualbertus]

Tinggalkan komentar