Pelatihan Change the Game Academy: Relasi Hubungan Internasional dan Pendanaan Lokal

Satunama.org.- Anda pernah mendengar istilah Negara Maju dan Negara Berkembang? Tahukah anda bahwa pada 2022 Indonesia telah dikategorikan menjadi negara upper-middle country? Lantas bagaimana korelasi dua pertanyaan tersebut dengan ekistensi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di tanah air? Mari mencari jawaban. Seiring dengan perkembangan dinamika hubungan internasional, negara diklasifikasikan tidak hanya berdasarkan parameter geografis, tetapi juga oleh aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial yang saling terkait. Penting diketahui bahwa klasifikasi tersebut terbentuk dari sebuah konstruksi sosial-politik.

Klasifikasi negara mulai masif digunakan saat Perang Dingin untuk menunjukkan sphere of influence. Pada saat itu, kubu liberalis yang beranggotakan negara barat mengklaim diri sebagai Negara Pertama, sedangkan negara  komunis dan marxism disebut sebagai Negara Kedua dan negara di luar kedua kubu disebut sebagai Negara Ketiga. Pengklasifikasian tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Tetapi yang menjadi perhatian besar adalah fakta bahwa pengklasifikasian negara sangat kental akan pengaruh nilai-nilai barat, mulai dari agen yang membentuk klasifikasi hingga standar klasifikasi.

Pada aspek sosio-ekonomi, secara umum terdapat dua klasifikasi yang familiar digunakan untuk mengelompokkan negara yaitu Negara Maju dan Negara Berkembang. Penetapan letak negara pada klasifikasi tersebut sangat bergantung pada standar agen pembuatnya. Dewasa ini, terdapat tiga institusi global yang membuat klasifikasi negara dengan pengaruh besar pada laju perekonomian dunia, antara lain: Bank Dunia, IMF, dan UNDP. Ketiga institusi tersebut memiliki klasifikasi dengan standar yang berbeda, di mana Bank Dunia membagi negara dengan klasifikasi high-income countries, upper middle-income countries, lower middle-income countries, dan low income countries.

Sementara IMF membagi negara menjadi advanced countries, emerging countries, dan developing countries. UNDP membagi negara ke dalam dua klasifikasi yaitu developed countries dan developing countries. Klasifikasi dari tiga institusi tersebut memiliki sphere of influence yang kuat terhadap interaksi ekonomi antar aktor dalam hubungan internasional, mulai dari tingkat negara hingga tingkat individu. Salah satu bentuk pengaruh klasifikasi negara yang kurang disorot adalah perubahan aspek pendanaan lembaga masyarakat, termasuk di Indonesia.

Posisi Indonesia dan Preferensi Donor

Indonesia menunjukkan sepak terjangnya dalam perekonomian dunia dengan berhasil menjadi negara upper-middle income pada tahun 2020. PNB per kapita Indonesia naik menjadi US$4.050 pada tahun 2019 dari US$3.840 pada tahun 2018. Status baru tersebut juga diharapkan semakin memperkuat kepercayaan dan persepsi investor, mitra dagang, mitra bilateral, dan mitra pembangunan perekonomian.

Pencapaian Indonesia dalam sektor ekonomi membawa dampak yang berbeda pada sektor lain. Salah satunya adalah eksistensi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia. Meningkatnya investasi karena status tersebut berbanding terbalik dengan tingkat pendanaan lembaga masyarakat lokal yang semakin menurun tiap tahunnya. Davis (NSSC, nd) menyebutkan bahwa kemunduran funding  lembaga internasional di Indonesia disebabkan oleh kemunculan Indonesia sebagai Negara berpenghasilan menengah bawah pada tahun 2006, dan adanya persepsi bahwa, sejak tahun 2004, Indonesia telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasinya dan berada dalam posisi politik yang relatif stabil. Tetapi bagaimana bisa klasifikasi Indonesia sebagai upper-middle income mempengaruhi preferensi donor lembaga internasional?

Donor merujuk pada bantuan yang diberikan oleh suatu aktor ke aktor lain dengan berbagai motivasi. Jika dilihat dari perspektif kosmopolitan, “donor” merupakan perwujudan nilai moral “baik” sebagai bagian dari warga dunia (citizen of world). Kosmopolitan merupakan gagasan filosofis bahwa manusia mempunyai kewajiban moral dan politik yang setara satu sama lain hanya berdasarkan pada kemanusiaannya, tanpa mengacu pada kewarganegaraan negara, identitas nasional, afiliasi agama, etnis, atau tempat lahir. Perspektif kosmopolitan memiliki argumen bahwa tindakan kita harus memaksimalkan kebahagiaan total umat manusia terutama dengan ketidakadilan di dunia. Sehingga, donor dapat diterjemahkan sebagai tanggung jawab moral untuk memaksimalkan kebahagiaan umat manusia.

Dalam rangka menentukan prioritas “siapa yang harus dibantu”, para donor mengacu pada klasifikasi negara yang dibuat oleh tiga institusi utama atau klasifikasi mereka sendiri. Prioritas donor adalah kelompok paling rentan dalam segala aspek kehidupan. Ketika Indonesia masuk menjadi negara upper middle-income dan stabil secara politikterbentuk persepsi bahwa masyarakat Indonesia dapat mulai menjalani hidup dengan aman secara sosial-ekonomi dan politik. Meskipun realitanya lembaga masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada keberadaan donor internasional untuk terus berjalan. Salah satu upaya untuk mempertahankan keberlanjutannya, organisasi masyarakat sipil mulai bertransformasi menjadi lebih berdaya dan mandiri. Mereka mau harus beradaptasisi dan belajar skill baru. Salah satunya skill local fundraising (penggalangan dana di tingkat lokal).

Kreativitas Local Fundraising.

Yayasan Satunama sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang telah berusia lebih dari 20 tahun menyadari bahwa untuk beralih ke penggalangan dana lokal perlu ada pelatihan khusus. Oleh karenanya, bekerja sama dengan Wilde Ganzen melalui program Change The Game Academy (CtGA), Yayasan Satunama menyelenggarakan pelatihan Local Fundraising. Ini adalah pelatihan gelombang kedua yang pernah diadakan.

Partisipan dari pelatihan ini adalah para NGO lokal di Indonesia. Pada Batch II, Yayasan Satunama berhasil menjangkau 13 NGO untuk turut berpartisipasi antara lain: Yayasan YAPHI, Yayasan Raudlatul Mutaalimin, PORTI Jabar, ECCD RC Yogyakarta, Yayasan Gemah Ripah Pacung, DESMA Center, Yayasan CAPPA Keadilan Energi, Lembaga Komunitas Sabtu Keren, Yayasan Harapan Jaya, Yayasan Setetes Embun, Gugah Nurani Indonesia, Yayasan Sayap Kasih, dan Yayasan Stepping Stones Bali.

Secara garis besar, pelatihan ini mengajarkan strategi-stategi untuk mencari donor lokal. Menurut Agustine Dwi, salah satu fasilitator di pelatihan LFR, masyarakat Indonesia sendiri sangat dermawan sehingga sangat mungkin untuk mencari donor di tingkat lokal. Salah satu cara untuk mendapatkan donor di tingkat lokal adalah dengan mengadakan suatu event.

“Jadi menurut survei, masyarakat Indonesia itu sangat demawan. Artinya suka memberi atau berbagi. Sebagai contoh jika ada bencana alam atau kemanusiaan, Indonesia paling pertama kirim relawan atau menggalang bantuan. Ini memberi peluang local fundraising berhasil di Indonesia”, papar Dwi.

Selama proses pelatihan, berbagai ide kreatif  muncul dari peserta terkait pengadaan event dan strategi untuk menarik calon donor lokal. Misalnya, Komunitas “Sabtu Keren” berinisiasi untuk mengadakan Festival Kapal Pinisi. Festival ini mempertimbangkan nilai jual Bulukumba sebagai pusat pembuatan kapal Pinisi yang sudah terkenal dan diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Pesona konsep festival ini terletak pada kemampuannya untuk memperhitungkan motivasi donor yang tertarik pada kapal dan hal sejenisnya, sehingga dapat melebarkan cakupan opsi donor. Selain itu inisiasi festival ini menunjukkan kemampuan komunitas “Sabtu Keren” dalam bekerja sehingga dapat meningkatkan kepercayaan calon donor.

“Sabtu Keren rencananya akan mengadakan festival kapal Pinisi. Alasan penting adalah Bulukumba tempat kami berkarya adalah pusat pembuatan kapal Penisi. Bahkan sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Festival tersebut adalah upaya menjaga kekayaan budaya di sana. Kita akan mendekati pihak-pihak yang bersinggungan dengan kapal Penisi sebagai potensial donor”, jelas Resky dari Sabtu Keren

Dinamika pelatihan tidak hanya sampai pada kreativitas peserta untuk mengadakan event. Keterbukaan masing-masing lembaga untuk menginisiasi kolaborasi di antara mereka adalah nilai lain yang dipetik dari pelatihan local fundraising gelombang kedua ini. Kerjasama yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan bisa diadakan karena semangat kolaborasi.

Perubahan Paradigma.

Dengan menjadi negara upper-middle income pada tahun 2022, Indonesia mengalami perubahan dinamis dalam klasifikasi ekonominya. Namun, dampaknya tidak hanya terasa dalam aspek politik dan ekonomi, melainkan juga berdampak pada eksistensi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di tanah air. Indonesia telah memasuki kategori negara menengah atas. Maka mendorong perubahan paradigma di kalangan OMS untuk menjadi lebih mandiri dan berdaya, terutama dalam menggalang dana di tingkat lokal menjadi penting. Inisiatif seperti Pelatihan Local Fundraising yang diselenggarakan oleh Yayasan Satunama menjadi langkah nyata dalam menghadapi tantangan ini.

Pelatihan Local Fundraising CtGA bukan hanya memberikan strategi-strategi kreatif untuk mencari donor lokal, tetapi juga merangsang kolaborasi antar-OMS. Komitmen untuk bersama-sama mencari solusi dan mengatasi penurunan pendanaan menjadi bukti nyata bahwa lembaga masyarakat sipil di Indonesia mampu beradaptasi dengan perubahan dan bersinergi untuk mencapai tujuan bersama.

Dengan demikian, melalui upaya-upaya inovatif dan semangat kolaborasi, OMS di Indonesia dituntut untuk membuktikan bahwa kemandirian dan ketahanan dalam menghadapi perubahan klasifikasi negara dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk kelangsungan dan pengembangan lembaga-lembaga tersebut di masa depan. [Berita: Karenina Aryunda PP-Volunteer SATUNAMA/Penyunting: A.K. Perdana/Foto: Karenina Aryunda]

Tinggalkan komentar