Hoax dan Kematian Pikiran

Hoax dan Kematian Pikiran
Tragedi Sesat Informasi dan Kedangkalan Rasionalitas Manusia
Ryan Sugiarto

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

(Kata, Subagyo Sastrowardoyo)

Seperti diungkapkan dalam sebuah sajak Subagio Sastrowardojo[1], saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, menggunakan bahasa-dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi pengarah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita, bukan sebaliknya. Sebuah teks adalah sebuah piknik-kata Tzvetan Todorov[2], mengutip selarik aforisme dari abad ke-18. Penulis menyerahkan pikirannya ke dalam kata-kata, pembaca datang dengan khazanah dalam kepala. Dan berlangsunglah suatu pertemuan, perjalanan, perjamuan yang intim, yang mungkin berlanjut dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat.

Sebuah piknik bisa berbuntut panjang: bertemu dengan beragam pembaca dari pelbagai penjuru dan masa, sebuah teks pada gilirannya bisa beranak pinak dalam wujud teks-teks baru yang tak terbilang dan tak terduga. Membaca ulang secara sungguh-sungguh berarti memulai sebuah petualangan lain. Ada kalanya pembacaan baru adalah sebentuk guncangan, bahkan penjungkiran, atas tafsir lama. Jika pun tidak, sedikitnya ia menyegarkan, memperluas, memperkaya makna teks-dan barangkali juga makna hidup si pembaca.

“Mencatat kesan-kesan tentang Hamlet seraya membacanya dari tahun ke tahun,” tulis seorang pembaca tekun bernama Virginia Woolf,” pada dasarnya sama dengan menulis biografi kita sendiri. Sebab semakin banyak kita tahu tentang hidup, demikianlah pula Shakespeare mengatakan sesuatu tentang apa yang kita ketahui itu. “Yang bisa terjadi memang bukan hanya pembaca mengomentari teks, tetapi juga teks mengomentari pembaca. Dengan kata lain: sebuali dialog, sekaligus sebuah proses kelahiran kembali, terus-menerus. Sayangnya, membaca dan mengulangi bacaan tidak menjadi budaya di era informasi ini. Orang justru tenggelam dalam banjir informasi tanpa diketahui apa yang menyebabkannya.

Tenggelam dalam Peradaban Informasi sesat

Perkembangan peradaban dunia terus berubah. Era peradaban informasi hari-hari ini kian nyata dan menyadarkan bahwa serbuan dan banjir informasi telah kita alami. Jika dahulu informasi hanya bisa dari koran, televisi, dan radio, kini melalui intenet dan telepon pintar, semuanya sudah bisa kita nikmati. Saking kita terbuai dengan benda kecil seukuran tangan itu, kita tersedot masuk didalamnya tanpa sempat bertanya lebih dalam apa yang terjadi di dunia nyata dan dunia kita. Peradaban informas hanya sebatas genggaman jari dan gesekan jejari manusia.

Peradaban manusia hari ini menurut Aflin Tofler diawali dengan ditemukannya transistor oleh William Schokley dkk, pada tahun 1947. Hingga kemudian pada tahun 1967 integrated cirkuit/IC/CHIPS ditemukan. Keberadaan IC/Chips inilah yang kemudian mempengaruhi proses produksi barang-barang-barang elektronik secara besar-besaran. Dan kemudian dapat di jual dengan harga yang relative murah, atau oleh Toffler di sebut gejala massivasikasi.

Gelombang ketiga ini masih terus berlanjut hingga sekarang, bagaimana kita lihat bahwa perkembagan teknologi informasi terus saja terjadi dari masa ke masa. Baik itu teknologi yang bersifat fisik seperti handphone, komputer maupun software, yang berupa berbagai aplikasi yag menyertai produk fisik maupun yang berdiri sendiri seperti internet dan sebagainya.[3]

Perkembangan teknologi jaringan komputer global telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Perkembangan ni membawa perubahan yang besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya pada skala global serta mengubah pengertian tentang msayarkat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial dan budaya.[4]

Gelombang peradaban itu tentu saja menyuntuh dan memasuki relung-relung peradaban Indonesia. Bahkah tidak membutuhkan waktu lama, pengguna informasi melalu teknologi informasi di Indonesia melesak ke papan atas pengguna tertinggi teknologi informasi. Menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter tanah air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Angka yang berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya satu kali setiap bulan itu mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal jumlah pengguna internet.

Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban. Secara keseluruhan, jumlah pengguna internet di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3 miliar orang pada 2015. Tiga tahun setelahnya, pada 2018, diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi bakal mengakses internet setidaknya sekali tiap satu bulan.[5]

Berdasarkan hasil survei internet APJII 2016, Indonesia terus mengalami pertumbuhan pengguna internet yang luar biasa sehingga jumlah total pengguna internet Indonesia saat ini mencapai 132,7 juta pengguna. Angka ini naik cukup tinggi dibandingkan dengan hasil survei pada tahun 2014 yang menunjukkan jumlah pengguna internet Indonesia sebesar 88 juta pengguna. Angka 132,7 juta pengguna tersebut berarti melewati 50% dari jumlah populasi atau penduduk Indonesia, tepatnya penetrasinya sebesar 51,8%. Dari survei APJII tersebut juga diketahui perilaku pengguna internet Indonesia. Salah satunya yang sangat menarik adalah bahwa 70% dari pengguna internet Indonesia paling sering mengakses internet dari perangkat bergerak atau mobile gadget. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat kepuasan penggunaan internet mobile cukup tinggi, sedangkan kepuasan internet rumah cukup rendah.[6]

Fakta lain adalah bahwa sebagian besar pengguna internet Indonesia menggunakan internet untuk media sosial dan hiburan. Facebook menjadi tujuan sebagian besar pengguna internet Indonesia kemudian diikuti oleh Instagram. Pengguna internet Indonesia menganggap bahwa bertransaksi online aman, namun demikian mayoritas pengguna tetap menggunakan ATM untuk bertransaksi. Barang dan jasa utama yang dibeli melalui online adalah tiket dan kebutuhan rumah tangga. Fakta menarik lainnya adalah bahwa mayoritas pengguna setuju bahwa internet tidak aman bagi anak-anak dan meminta pemerintah terus meningkatkan program terpadu dalam penanganan konten negatif.

Kita, sebagai bangsa yang belum seluruhnya lulus dalam tiap babak peradaban akhirnya tergopoh-gopoh memasuki peradaban informasi. Peradaban literasi yang belum tuntas, berimplikasi pada cara dan tata hidup berada dalam peradaban informasi. Kita gagap dan hanyut dalam gelombang informasi tanpa melakukan verifikasi, cek dan ricek kebenarannya. Kegegapan itu semakin nyata ketika informasi-informasi yang tidak benar menjadi viral. Bahkan banyak pihak yang sengaja memproduksi informasi sesat untuk menyesatkan orang lain.

Kerja hoax semakin menjadi ketika digunakan sebagai senjata politik untuk perebutan kekuasaan. Efektivitas hoax terjadi dalam situasi krisis-baik dalam lapangan ekonomi maupun politik-yang menjadikan setiap kelompok dengan mudah menjadi korban berita palsu, terlepas dari tingkat pendidikan dan wawasan pribadi konsumen berita tersebut.

Hoax bermunculan dan semakin kencang di era pemilihan presiden 2014 lalu, dimana mendudukkan dua pasangan yang berkontestasi. Kemudian semakin gencar dengan pemilihan kepala daerah, terutama pemilihan Gubernur DKI jakarta, kerja hoax semakin menjadi-jadi. Dalam dua peristiwa itu manusia terbelah dengan tegas. Saling serang berita hoax dan informasi menyesatkan menjadi “makanan” para pengguna sosial media. Tidak jarang sosial media menjadi gaduh. Media massa mainstream turut menabuhnya dengan menerbitkan berita-berita yang bersumber dari informasi-informasi yang berseliweran di sosial media dengan akurasi yang lemah. Tak jarang pula saling lapor karena pergerakan sosial media terjadi di “ruang nyata”. Masyarakat terpolarisasi, demokrasi terkoyak, kemanusiaan dan persatuan dipertaruhkan. Kebencian mengemuka di ruang publik, menjadi santapan sehari-hari dalam perbincangan di sosial media. Jika sudah demikian dimana letak keindahan berpikir? Letak akal dalam memproses semua informasi dan melakukan kroscek terhadap ketepatan informasi? Lebih jauh lagi, dimana letak rasionalitas manusia terhadap informasi yang menyerbunya?

Hoax dan kegagalan memahani Keindahan Berpikir

Pencapaian teknologi  informasi sesungguhnya membawa kita kepada ambang revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia yang bercirikan dengan cara berpikir tanpa batas (borderless way of thinking). Perkembangan ini membawa perubahan yang besar dan mendasar dalam tatanan sosial dan budaya pada skala global serta mengubah pengertian tentang masyarakat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial, dan budaya.

Internet dan media sosial memang telah menjadi sarana emansipatoris yang mampu menyalurkan suara orang-orang yang sebelumnya tertindas atau terpinggirkan. Ini karena mereka bisa menyiasati pengaruh pemerintah dan media arus utama. Hasilnya adalah sebuah ruang publik yang lebih beragam tempat pasar gagasan (market of ideas) menjadi sehat. Masyarakat pun bisa memilih gagasan yang menurut mereka paling bisa diterima setelah menelisik sebanyak mungkin ide yang dijajakan pada ruang publik itu. Mengapa yang terjadi justru sebaliknya, ketika media sosial menjadi biang polarisasi atau fragmentasi masyarakat?

Penyebabnya bisa kita lihat pada dua sisi: sifat manusiawi dan sifat media sosial saat ini.[7] Ahli psikologi Internet, Suller (2004) memaparkan pertanyaan kenapa ketika sedang daring (online) orang bisa mengatakan atau melakukan tindakan yang mungkin tidak mereka lakukan dalam komunikasi tatap muka. Menurutnya, hal itu dilakukan karena mereka lebih bebas, merasa tidak terkekang, dan mengekspresikan diri lebih exhibition effect (efek nirkekang daring). Karena efek ini, orang bisa menjadi lebih mudah menunjukkan simpati dan murah hati yang dalam dunia nyata sukar mereka ungkapkan.

Sebaliknya, pada ujung yang lain kita juga melihat sering digunakannya secara terbuka kata-kata kasar, kemarahan, kebencian, bahkan ancaman-sekali lagi hal yang mungkin tidak mereka lakukan di dunia nyata. Berdasarkan penelitian dari Carnegie Mellon University, individu yang menjadi kecanduan akan internet mempunyai resiko tinggi untuk mengalami depresi. Mereka yang banyak menghabiskan waktu berjam-jam di dunia maya cenderung depresi karena tidak melakukan human contact (Hawari, dalam Komputek, 1999). Ketika online, mereka merasa bergairah, senang, bebas, serta merasa dibutuhkan dan didukung. Sedangkan sebaliknya, ketika offline, mereka merasa kesepian, cemas, tidak terpuaskan, bahkan frustasi.

Para psikolog juga mengenal fenomena yang disebut confirmation bias (bias konfirmasi), yaitu kecenderungan orang untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi, mengkonfirmasi, atau meneguhkan pandangan yang dimiliki sebelumnya. Hoax atau rumor segera dianggap sebagai kebenaran jika sesuai dengan pandangan sebelumnya. Fenomena ini sangat kentara dalam persoalan yang bermuatan emosi, misalnya soal politik dan, tentu saja, agama.

Diskursus atau wacana, yang menggunakan kata-kata, merupakan pilihan yang lebih sedikit ongkosnya ketimbang mesin kekuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan sepenuhnya akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura sebuah otoritas. Atau ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena pada saling bicara. Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus dan dengan pena yang baru diasah itu, bisa menjawab problem dasar politik—”politik” dalam arti proses penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial?

Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kelahiran demokrasi. Ketika para penghulu agama dan raja bukan lagi otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong itu yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompok-kelompok yang kian leluasa mengajukan pikiran alternatif, dengan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di Eropa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli kebenaran runtuh, orang ”memburu”, dan bukan hanya ”menerima”, arti.

Psikolog dari University of Melbourne, Australia, Brent Coker yang juga pakar perilaku di dunia maya mengatakan ada beberapa alasan mengapa berbagi dan menyukai postingan di Facebook sangat banyak.  Menyebar dan menjalar, itu karena membangkitkan emosi yang kuat dan menciptakan sesuatu yang  kita sebut gairah kognitif yang memotivasi orang untuk bertindak.  Dengan mendapatkan ‘Likes’ atau ketika postingan kita di-share, ada ganjaran psikologis yang besar. Orang juga cenderung dengan serta-merta membagi (share) atau menyiarkan (broadcast) informasi yang diterimanya.

Menurut Sherry Turkle (2012), ahli psikologi dan peneliti Internet, dunia daring membuat orang selalu terhubung dan menawarkan pemenuhan tiga kepuasan (gratification): bebas memberi perhatian di mana pun kita berada, selalu akan didengar atau diperhatikan, dan kita tidak pernah sendirian. Peneliti dari Cambridge University, Matt Davis yang pernah melakukan riset panjang di tahun 1970-an pernah menjelaskan dengan panjang mengapa hoax ini sama sekali sebuah tipuan, meski terlihat ada ‘unsur kebenaran’ di dalamnya. Diakuinya hoax itu sangat cerdas, karena orang bisa membacanya.

Hoax telah menenggelamkan keindahan berpikir manusia, menalar yang menghasilkan budi baik dari proses menalar.[8] Isi hoax justru kebalikannya. Informasi yang sesat dan menyesatkan yang meluluhlantakkan sendi-sendiri kekerabatan dalam “ruang nyata” manusia. Padahal pikiran sejak awal pula peradaban adalah alat paling nyata dalam diri manusia.

Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa sejarah pemikiran atau sejarah intelektual mengkaji semua fakta yang bersumber dari pikiran, ide, kepercayaan, angan-angan, dan segala unsur kesadaran dalam diri manusia. Sejarah pemikiran juga mengungkap latar belakang sosial-kultural masyarakat, lingkungan keluarga tempat tokoh itu hidup sehingga diperoleh gambaran yang sangat jelas tentang faktor-faktor sosial-kultural yang mempengaruhi pemikirannya.[9] Informasi tidak ditelaah, tetapi melalui dorongan emosi dan identitas primordial di dorongkan kepada pengguna yang lain, lalu menjadi viral dan susah dihentikan. Korbannya tentu bukan hanya, tokoh yang dituju, tetapi jalinan persaudaraan dan brayat yang ruang kehidupan nyata.

Kerja semacam ini diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, kemalasan membaca dan berpikir.  Informasi-informasi hoax lebih sering viral dari satu tangan-ke tangan yang lain karena kecenderungan malas menbaca dan memikirkan kebenaran informasi yang diterimanya. Tanpa melakukan itu orang mulai share informasi ke berbagai jaringan sosial media, baik FB, Whatsapp, Line, Twitter, dan lainnya.

Kedua, taklid buta, ketaatan yang semu. Sebab informasi tidak dipahami dan dipikirkan secara serius, orang-orang yang menggunakannya akan lebih disebabkan oleh ketaatan yang semu terhadap segolongan orang, atau tokoh yang diidolakannya.

Ketiga, Sentimen primordialisme. Disebabkan oleh menguatnya sentimen promordialisme, informasi hoax ujaran kebencian mudah untuk menyebar. Si pengebar dengan mudah akan merasa bahasa “aku” bagian dari “mereka” dan buka bagian dari “dia”. Akibatnya hoax dengan muda tersebar pada kelompok-kelompok yang memiliki cara berpikir primordial. Baik dengan alasan suku, agama, maupun ras, ditambah sekarang adalah sentimen atas perbedaan pilihan politik. Dan hal ini mendorong kelompok tertentu untuk menunjukkan eksistensinya.

Keempat, dorongan eksistensi. eksistensi itu mendahului esensi. Artinya manusia seutuhnya itu ada dalam eksistensinya. Dia bebas untuk menentukan eksistensinya, tanpa terdeterminasi oleh esensinya. Dan menurut dia neurosis itu memang suatu momen konflik tetapi bukan konflik patologis yang mendasar melainkan konflik eksistensial. Ini ditunjukkannya dalam konsepnya tentang “kita” dan “kami”.

Dalam “kami” ada eksklusifikasi diri, anonimitas, obyektivasi diri, reduksi-diri, alienasi-diri, berhadapan dengan yang lain. Sedangkan dalam “kita” ada inklusi, yang dihayati sebagai kebersamaan dan keterlibatan yang subyektif. Dan bahwa dalam kekitaan yang inklusif subyektif (communion) itulah manusia bisa membangun dirinya dan autonominya.

Dengan kata lain hanya dalam kebersamaan, manusia bisa menemukan diri dan membentuk eksistensinya. Di sinilah dia menemukan identitasnya. Dan neurosis “berakar pada kegagalan individu menerima identitasnya sendiri.” Maka perlu untuk, mengembangkan we-psychology (psikologi-kita) dalam konteks “kita” menggantikan ego-psychology (psikologi ego) dalam konteks “kami”.[10]

Kelima, pengaruh viral informasi. Orang dengan mudah akan menyebarkan informasi karena informasi itu sudah menajdi viral. Perilaku menyebarkan karena ikut-ikutan oleh orang-orang banyak yang sudah menyebarkan lebih dahulu. Hal ini menunjukkan efek predisposisi Individual. Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dan informasi yang diterimanya. Ia menempatkan diri dalam posisi sang tokoh atau kelompok dimana informasi itu diterima.

Ketika informasi diidentikkan dengan benar dia gembira, dan jika diidentikan dengan salah dia merasa sedih.  Viralnya informasi ini karena adanya kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula, yang mengimajikan satu kepentingan yang sama, satu pikiran yang sama, dan satu indentitas yang sama.[11] Simon Moore, peneliti dari Violence & Society Research Group di Cardiff University, Wales, berpendapat bahwa ada satu faktor penentu yang mungkin menyatukan semua perusuh, yaitu persepsi bahwa mereka datang dari status rendah secara sosial, ekonomi, dan politik.

Sifat Media sosial dan informasi yang Viral

Semakin berkembangnya sosial media, informasi dengan mudah menjadi viral. Orang mudah terkoneksi dalam hitungan detik, dan informasi menjangkau seluruh ruang maya. Menurut Mc. Luhan[12], media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera)[13]. Dengan sosial media  kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung.

Perkembangannya selanjutnya muncul istilah Viral Marketing. Dampak positifnya adalah perusahaan tidak perlu mengeluarkan upaya dan biaya maksimal. Viral marketing[14] bekerja seperti sebuah virus membelah diri, yang masing-masingnya juga membelah diri demikian seterusnya, sehingga menjadi berlipat ganda. Dari sini dapat kita lihat bahwa efek yang dapat ditimbulkan luas, dan juga dahsyat. Beberapa sumber menyamakan viral marketing dengan Word-of-Mouth marketing model baru yang memanfaatkan social media sebagai perantaranya atau dapat dikatakan Word-of-Mouth elektronis.

Sebenarnya informasi lebih cepat viral itu ada dua efek. Informasi itu bisa cepat berkembang dan cepat matinya. Informasi hoax bisa cepat mati karena orang bosan dan seseorang mudah untuk menangkalnya. Bahkan hoax sudah menjadi industri yang semakin banyak di Indonesia. Di Indonesia industri hoax ada yang untuk cari uang dan ada juga yang beraliansi ke politik.

Misalnya beberapa situs yang bawa nama Islam lalu diblokir, itu bisa jadi tidak cari uang. Sebenarnya sebelum ramai pencapresan di 2014, lalu fake news dan menjadi industri, jumlah blogger Indonesia banyak, jumlah pengguna Facebook juga banyak. Dari dulu, para blogger diinformasikan bisa mencari uang dari menulis. Mereka sudah mempunyai kemampuan berinformasi, cara mempromosikannya, mereka tahu jika pasang google Adsense bisa dapat uang, tapi mereka kelimpungan dan nggak siap menulis konten yang baik. Sebagian mereka mencari uang dengan asal paste dan masukan keyword tertentu agar muncul di Google dan diklik. [15]

Literasi Digital

Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu yang secara menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.

Literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw,2011)[16] Literasi digital bermakna kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan tak berurut berbantuan komputer. Istilah aliterasi digital pernah digunakan tahun 1980an (Davis & Shaw, 2011).

Namun seiring dengan itu, penguatan literasi secara umum perlu ditumbuhkan. Mendorong sebanyak-banyaknya orang untuk membaca buku dan menyediakan sebanyak-banyaknya buku sebagai konsumsi bacaan. Sayangnya hari ini kondisi perbukuan kita masih jauh jumlahnya jika dibandingkan dnegan proporsi jumlah penduduk indonesia.

China, menurut data terakhir dari International Publisher Association, pada tahun 2013 dengan jumlah penduduk sekitar 1.3 miliar jiwa menerbitkan 440.000 judul buku. Jika dengan perbandingan yang setara, maka Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta seharusnya mampu menerbitkan sekitar 80.000 judul buku. Tapi nyatanya kita hanya mampu menerbitkan sekitar 30.000 judul buku per tahun. Belum lagi jika dibandingkan dengan tingkat baca. Berdasarkan survei UNESCO minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca.

Keriuhan yang terjadi di dalam sosial media kita hari ini sesungguhnya bukan saja disebabkan oleh lemahnya budaya literasi, tetapi juga lemahnya tokoh-tokoh publik dalam mendeliver gagasan dan visi secara lebih jelas. Literasi digital membutuhkan sekurang-kurangnya beberapa aspek sebagai berikut. Pertama, tumbuhnya budaya membaca. Dengan membaca orang memiliki cakupan pengetahuan yang luas. Orang yang memiliki bacaaan yang luas tidak akan mudah untuk terbawa arus hoax. Sebab ia menyaringnya melalui proses berpikir.

Kedua, penegakan hukum terhadap pembuat informasi hoax. Sepanjang 2016, Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya mendeteksi ada ribuan akun media sosial dan media online yang menyebarkan informasi hoax, provokasi hingga SARA. Dari angka tersebut, ada 300-an di antaranya yang telah diblokir.[17] Proses ini tentu diharapkan sampai pada tindakan terhadap pelaku dan penyebar hoax. Sebab memutus media saja tidak akan cukup efektif, bila pelaku terus menrus bekerja dan membuat jejaring media yang semakin besar. Efek jera diperlukan untuk mendorong orang semakin berhati-hati memproduksi informasi dan penyebarannya.

Ketiga, Klarifikasi. Langkah ini adalah langkah untuk melakukan bantahan atau klarifikasi terhadap persebaran informasi yang tidak benar. Keempat, melawan hoax. Jika hoak merajalela dan menebarkan kebencian dimana-mana, maka warga seharusnya tidak boleh tinggal diam. Hoax harus dilawan. Merawat rasionalitas dan mengembalikan pada rasa kemanusiaan sebagai manusia menjadi tugas bersama untuk terus menerus ditumbuhkan di dalam kesadaran masyarakat Indonesia. []

 

Daftar Pustaka

Alvin Toffler. (1987). Kejutan dan Gelombang. Jakarta. Pantja Simpati.

Anderson, B. (2003). Imagined Community, komunitas-komunitas terbayang. Yogyakarta: insist dan Pustaka Pelajar

Antoni, (2004). Riuhnya Persimangan Itu; Profil Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi, Solo: Tiga Serangkai, 2004

Amelia, Mei. (2016). Selama 2016, 300 Akun Medsos Penyebar Hoax Diblokir Polisi  https://news.detik.com/berita/d-3384819/selama-2016-300-akun-medsos-penyebar-hoax-diblokir-polisi

Amrishat (2012). Viral marketing Yang bukan Indonesia. Diunduh dari http://marketeers.com/viral-marketing-yang-bukan-indonesia/

Davis, Charles H; Shaw, Debora. (2011). Introduction to Information Science and Technology. Information Today: New Jersey.

Hasan, Fuad.(2014). Psikologi Kita & Eksistensialisme. Jakarta: Komunitas Bambu

Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, hlm. 176-177.

Mohamad, Goenawan. (1991). “Ketika Kemerdekaan Tak Punya Banyak Sekutu” dalam Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafiti. 1991, hlm. 552

Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi Komunikasi [Edisi Revisi]. Bandung: Remaja Eosdakarya. hlm. 220

Sastrowardoyo, Subagio. (1982). Daerah Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka

Slouka, Mark. (1999). Ruang yang hilang, pandangan humanitis tentang budaya Cyberspace yang merisaukan. Bandung: Mizan

Tzvetan Todorov. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan (Judul Asli Qu’est-ce que le structuralisme? 2. Poetique, diterjemahkan oleh Ok ke K.S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno, dan Talha Bachmid)

UNDP. 2008. Creative Economy Report, The Challenge of Assessing the creative Economy: Towards Informed Policy-Making. New York. UN

Widjanarko, Puthut. (2017). Media Sosial yang Beradab. Majalah Tempo Edisi 8 Januari 2017

[1] Sastrowardoyo, Subagio. (1982). Daerah Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka

[2] Tzvetan Todorov. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan (Judul Asli Qu’est-ce que le structuralisme? 2. Poetique, diterjemahkan oleh Ok ke K.S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno, dan Talha Bachmid)

[3] Alvin Toffler. 1987. Kejutan dan Gelombang. Jakarta. Pantja Simpati.

[4] Bandingkan dengan Slouka yang mengemukakan bahwa masyarakat global kini telah memasuki dunia baru yang didalamnya orang dapat berbuat seperti yang dapat dilakukan di dunia nyata, dengan tingkat pengalaman yang sama, yaotu dalam jagat raya cyberspace telah berkembang dan meluas serta secara fundamental tela emnggasak definisi lama tentang ruang fisik, indentitas dan komunitas. Slouka, mark, 1999, ruang yang hilang, pandangan humanitis tentang budaya Cyberspace yang merisaukan. Bandung: Mizal hlm. 13 dan 55.

[5] http://www.marketing-schools.org/types-of-marketing/viral-marketing.html, lihat juga UNDP. 2008. Creative Economy Report, The Challenge of Assessing the creative Economy : Towards Informed Policy-Making. New York. UN

[6] Press release APJI di unduh dari http://internetsehat.id/2016/10/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-lebih-dari-50-populasi/

[7] Widjanarko, Puthut. Media Sosial yang Beradap. Majalah Tempo Edisi 8 Januari 2017 hlm.

[8] Goenawan Mohamad. “Ketika Kemerdekaan Tak Punya Banyak Sekutu” dalam Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafiti. 1991, hlm. 552. (Tempo, 2 Agustus 1980).

[9] Sartono Kartodirdjo. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, hlm. 176-177.

[10] Hasan, Fuad.(2014). Psikologi Kita & Eksistensialisme. Jakarta: Komunitas Bambu, hlm x

[11] Lihat penjelasan tentang imagined Community, Ben Anderson.  Anderson, B. (2003). Imagined Community, komunitas-komunitas terbayang. Yogyakarta: insist dan Pustaka Pelajar

[12] Wajar bila Mc Luhan menitik beratkan pada medianya, karena kajian-kajiannya tentang komunikasi terfokus pada media interaktif yang berbasiskan mikroelektronika. Latar belakang pemikirannya ialah ada dampak radikal bentuk-bentuk komunikasi yang berdimensi pada ruang, waktu, dan persepsi manusia. Karya-karyanya secara luas mengartikulasikan sejumlah perubahan paling mendasar yang disebabkan teknologi media, maka wajar bila Mc Luhan berpendapat, isi pesan tidak mempengaruhi pesan, karena kajiannya bertumpu pada media pembawa pesan (lihat Antoni, Riuhnya Persimangan Itu; Profil Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi, Solo: Tiga Serangkai, 2004

[13] Jalaluddin Rakhmat. (2007). Psikologi Komunikasi [Edisi Revisi]. Bandung: Remaja Eosdakarya. hlm. 220

[14] Lihat lebih detail, Amrishat (2012). Viral marketing Yang bukan Indonesia. Diunduh dari http://marketeers.com/viral-marketing-yang-bukan-indonesia/

[15] Wawancara Suara.com dengan Pakar sekaligus peneliti teknologi komunikasi dan informasi atau Information and Communication Technology (ICT), Donny Budi Utoyo. Lihat detailnya di http://www.suara.com/wawancara/2017/01/16/070000/donny-bu-hoax-bukan-salah-teknologi-informasi-dan-media-sosial

[16] Davis, Charles H; Shaw, Debora. (2011). Introduction to Information Science and Technology. Information Today: New Jersey.

[17] Amelia, Mei. 2016. Selama 2016, 300 Akun Medsos Penyebar Hoax Diblokir Polisi

https://news.detik.com/berita/d-3384819/selama-2016-300-akun-medsos-penyebar-hoax-diblokir-polisi

;Foto : Koran Jakarta

Tinggalkan komentar