Kebebasan Berekspresi Masih Dipertanyakan

Beberapa waktu yang lalu kebebasan berekspresi dan berpendapat di negari ini lagi-lagi tercoreng dengan terjadinya kasus penyerangan dan pembubaran paksa terhadap acara LadyFast yang diadakan oleh Kolektif Betina pada Sabtu dan Minggu 2-3 April 2016 di Ruang Seni Alternatif Survive Garage, Jalan Bugisan, Yogyakarta.

Radio SATUNAMA membahas peristiwa ini melalui Talkshow Pelangi Indonesia bersama MC Kuncoro, Selasa, (14/4) lalu. Hadir sebagai narasumber adalah Dina Widhikirana dari Radio SATUNAMA dan Ajeng Herliyanti dari Departemen Pengelolaan Pengetahuan Jaringan dan Media SATUNAMA.

“Memasuki hari ke dua, sekitar 30 menit sebelum acara selesai tiba-tiba datang segerombolan orang yang menyatakan diri sebagai kelompak suatu ormas tertentu, jumlah kurang lebih 15 orang. Mereka datang sambil berteriak ‘komunis, perempuan gak benar, merusak, menodai, sampah’. Anehnya, tidak lama berselang, malah dalam waktu yang nyaris bersamaan, polisi datang dan malah mengamankan panitia penyelenggara, bukannya mengamankan orang-orang yang membuat keributan itu”. ungkap Ajeng yang juga sempat menjadi pengisi acara di salah satu sesi mengenai seni mempertahankan diri saat terjadi kekerasan di jalanan.

Dari beberapa keterangan yang diperoleh ternyata organisasi yang membubarkan adalah juga organisasi yang sama dengan yang pernah membubarkan pesantren waria Al-Fatah Februari lalu. “Termasuk juga pembubaran perkemahan anak-anak dan acara perayaan paskah di Gunung Kidul yang juga dilarang untuk dilaksanakan.” Tutur Dina menambahi keterangan Ajeng.

LadyFast sendiri adalah nama atau tema dari sebuah acara yang diinisiasi oleh Kolektif Betina. Kolektif Betina berisi orang-orang yang fokus terhadap isu-isu perempuan. Melalui LadyFast pertama kalinya Kolektif Betina menginisiasi diri untuk berkumpul. Mereka merupakan seniman-seniman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Makassar, Bali, Jakarta dan berbagai wilayah lainnya. Mereka berkumpul untuk bicara mengenai Kolektif Betina, perjuangan perempuan, kekerasan berbasis gender dan isu-isu lain terkait perempuan.

“Ada banyak hal yang kemudian patut dipertanyakan terkait dengan peristiwa-peristiwa itu. Kembali lagi ke masyarakat yang selama ini terkesan membiarkan. Ada dua hal berbeda dan patut dipertanyakan, mereka membiarkan atau takut? Sikap seperti apa yang kita butuhkan dari masyarakat terkait isu-isu intoleran seperti ini? Sedangkan aparat, lebih patut dipertanyakan lagi, seperti kasus di awal bagaimana bisa aparat datang bersama dengan kelompok yang membubarkan dan yang ditahan justru pihak penyelenggara? Dimana posisi para penegak hukum? Karena selama ini seolah membenarkan tindakan-tindakan represif terhadap kebebasan ekspresi, baik ekspresi seni maupun ekspresi ideologi” tutur Dina.

“Kalau tidak suka ya sudah gak usah dekat-dekat. Sebagai orang media kami ini harus berdiri di tengah-tengah, dalam hal ini yang harus bergerak tidak hanya masyarakat dan juga tidak hanya aparat.” Tambahnya

Jika merunut kembali kronologi kasus penutupan pesantren Al-Fatah, kala itu saat ada undangan untuk membahas mengenai keberadaan mereka, semua RT di kelurahan tersebut diundang kecuali RT tempat mereka berada.

“Dari sini kita bisa melihat bahwa kejadian ini sudah sangat struktural dan sistematis. Anehnya lagi yang dipersoalkan justru hal-hal kecil seperti rame karena ada motor yang lalu-lalang. Sama juga halnya dengan kegiatan Survive Garage, mereka sudah ada sejak 6 tahun yang lalu. Selama itu rutin melakukan diskusi, pelatihan  dan lain-lain tapi kenapa baru sekarang dibekukan setelah mereka juga ikut dalam acara LadyFast?” tutur Ajeng.

“Terkait soal izin keamanan, sebetulnya prosedur yang benar adalah jika saya mau mengadakan acara maka saya memberitahukan, bukan meminta izin. Itu salah satu pergerakan sipil yang sudah diatur lewat undang-undang mengenai berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat bagi seluruh rakyat Indonesia. Nampaknya ke depan perlu diadakan Standar Operasional Program (SOP) khusus, mulai dari antisipasi ketika awal pelaksanaan acara hingga jalur evakuasi jika terjadi penyerangan oleh kelompok-kelompok tertentu.” Tambah Ajeng.

Pemerintah di mana?

Dina kemudian juga menuturkan mengenai kasus pembatalan pemutaran film Pulau Buru di Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu beberapa jam sebelum dimulai ada pemberitahuan bahwa acara harus dibatalkan, karena ada pihak tertentu yang tidak suka film itu diputar. Polisi menyatakan mereka tidak mau bertanggung jawab ketika terjadi penyerangan saat film tersebut diputar.

“Ini adalah kasus yang memalukan di mata internasional. Apakah orang-orang garis keras itu tidak berpikir panjang, misalnya bahwa aksi-aksi mereka dapat mempengaruhi arus wisata. Meskipun itu bukan tanggung jawab individu namun komunitas, tiap kelompok mesti memikiran hal tersebut karena skalanya luas. Kalaupun tujuannya untuk mendukung suatu ideologi tertentu, apakah harus dilakukan dengan cara seperti itu? Saya hanya ingin mengajak individunya untuk membagikan hal-hal baik.” Urai perempuan yang lama malang melintang di dunia media.

“Jadi aturannya harus diperjelas. Kalau memang tidak boleh, ya tidak boleh. Dan kalau boleh itu yang seperti apa? Sebisa mungkin kita selaku masyarakat yang sudah dewasa, entah itu perempuan maupun  laki-laki, bisa jadi ibu bagi yang lebih muda untuk senantiasa menegur dan mengingatkan” tuturnya.

“Tapi kalau seperti ini terus, saya jadi bertanya pemerintah kita sekarang ini ada di mana?” tutup Dina. []

Penulis : Bella (Mahasiswa magang Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Editor : Ariwan

Tinggalkan komentar