Profil Hendrastuti: Bertani Secara Organik untuk Menyehatkan Keluarga dan Lingkungannya.

Profile Of Hendrastuti: Doing Organic Farming to Make Family and Environment Healthier

[photo1]

We are responsible to create a sustainable healthy environment. One of the ways is through using natural pesticide and fertilizer.

Hendrastuti is one of the farmers who are active using it. A mother who lives in Kulonprogo, Yogyakarta, has become a farmer since 1985. “I come from a farmer family, and now my husband and I are also farmers. I would like my children becoming strong farmers who are able to take care of their family”, said Hendrastuti.

‘In the beginning I did a conventional farming, but after considering that chemical pesticide and fertilizer have become poison, it will be dangerous for our future. Then we tried to do organic farming and the harvest for internal consumption in my family. That was back in 1989. Later on there was demand from people and we started to sell our organic rice. In fact the profit was good, since the price doubled the non-organic rice. At that time I could get two grams of gold for two tons of rice’.

Hendrastuti and her family depend on an 8000 square meters field. From this plot it can be harvested two times a year of rice, one time of crops and one time of soybeans. ‘The harvest is enough to support my family, including send my children to colleges. Since it has been cultivated in an organic way, the plot is healthy and loose, and can be planted and harvested of long beans every month, tomato and chili every two months, while every four months for corn and soybeans. On top of that there are yearly harvest of bananas, sapodilla and coconut’.

Hendrastuti who has been a chairperson of Jatirogo farming group of Kulonprogo, DIY, feels pity of her village’s youth who choose to work in cities. ‘The low price of agriculture commodities makes none of them want to be farmers. They prefer to work as carpenters or break layers in cities. Girls prefer to work at restaurants or households. When they marry they are forced to go back to become farmers’. She suggests that all farmers have to manage weekly, monthly, three-months or yearly income. Besides, they can also save it by having livestock. From chickens they can sell baby chickens and eggs, from goats they can sell the meats and use their manure for fertilizer.

Although in the long run organic farming is more profitable, many farmers has done conventional farming for so long and do not want to change the way. For the time being, from 69 farmers of Jatirogo Group there is only 5 people do organic farming. Besides the organic farming needs more labors to maintain it, as mentioned above this farming will have less harvest in the beginning. Changing conventional to organic farming is need at least three years of time. In the shift time the production will decrease. ‘But indeed the final harvest will be higher, besides organic rise is more expensive. For example when the ordinary rice cost IDR 4.500 the organic one can be IDR 6.500. On top of that, farmers will be healthier in result of non-poisoned rice consumption’.

Lutfi

Profil Hendrastuti: Bertani Secara Organik untuk Menyehatkan Keluarga dan Lingkungannya.

[foto1]

Manusia memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan sehat secara berkelanjutan. Salah satu usaha untuk mengurangi kerusakan lingkungan adalah melalui penggunaan pupuk dan pestisida alami.

Salah satu petani yang menggunakan adalah Hendrastuti. Ibu yang tinggal di Dusun Turus, Desa Tanjungharjo, Kulonprogo ini menjadi petani semenjak tahun 1985. “Saya itu anak petani, sekarang menjadi petani dan suami saya juga petani. Saya tetap ingin anak-anak saya akan melanjutkan menjadi petani. Tapi saya mau anak saya menjadi petani tangguh yang bisa mencukupi keluarganya,” tutur Hendrastuti.

“Dulu, awalnya saya menjalankan pertanian konvensional. Tapi setelah dipikir-pikir, bahan-bahan kimia yang ada di pupuk dan pestisida itu menjadi racun jika dimakan terus menerus. Kami kemudian mencoba bertani secara organik untuk konsumsi sendiri. Itu terjadi sekitar tahun 1989. Ternyata muncul permintaan dan kami mulai menjual beras organik. Hasilnya sangat menguntungkan, karena harga gabah bisa dua kali lipat gabah biasa. Waktu itu dua kuintal gabah bisa dipakai untuk membeli dua gram emas.”

Keluarga Ibu Hendrastuti menggantungkan hidupnya pada sawah seluas 8000 m². Lahan ini dalam setahun bisa menghasilkan dua kali panen padi, satu kali polowijo, dan sekali kedelai. “Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan bisa dipakai untuk menyekolahkan anak hingga kuliah. Karena diolah secara organik, tanah saya menjadi sehat dan gembur. Jadi bisa dipanen bulanan seperti kacang panjang. Lalu waktu dua bulan bisa panen tomat dan lombok. Untuk empat bulannya ada hasil dari kedelai dan jagung. Itu masih ditambah dengan hasil tahunan seperti pisang, sawo, dan kelapa.”

Ibu yang menjadi ketua kelompok petani Jatirogo, Kulonprogo, DIY, ini menyayangkan kebiasaan para pemuda di desanya yang memilih untuk mencari kerja di kota. “Harga komoditas pertanian itu rendah, jadi banyak orang yang tidak mau menjadi petani. Para pemuda memilih menjadi tukang batu dan tukang kayu di kota. Pemudinya bekerja di restoran atau rumah tangga. Baru nanti setelah menikah mereka terpaksa kembali ke desa untuk menjadi petani.” Ia juga menambahkan jika petani ingin bertahan harus mengelola hasil pertaniannya supaya bisa mendapat penghasilan mingguan, bulanan, triwulan, dan tahunan. Selain itu, petani juga bisa menabung dalam bentuk hewan ternak. Ada telur dan anak ayam yang bisa dijual. Selain dijual dagingnya, kotoran kambing dan sapi bisa dipakai sebagai pupuk untuk mengurangi biaya produksi.

Meskipun dalam jangka panjangnya pertanian organik lebih menguntungkan, banyak petani yang terlanjur memakai pertanian konvensional enggan beralih. Saat ini dari 69 orang petani di Kelompok Tani Jatirogo baru ada lima orang yang menggunakan pertanian organik. Selain karena pertanian organik lebih membutuhkan banyak tenaga untuk perawatan, pertanian jenis ini pada awalnya mengurangi hasil produksi. Untuk mengubah pertanian konvensional menjadi pertanian organik dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya 3 tahun. Pada masa peralihan ini produksi pertanian menurun. “Tapi nanti hasilnya lebih banyak. Beras organik itu lebih mahal. Kalau sekarang beras biasa harganya 4.500 rupiah, beras organik itu bisa sampai Rp 6.500. Selain itu petaninya juga lebih sehat karena mengonsumsi beras yang tidak beracun.”

Lutfi

Tinggalkan komentar