Satunama.org.- Perkembangan studi filsafat tidak terlepas dari dasar yang diletakkan para filsuf Yunani kuno, seperti Thales, Herakleitos, dan Parmenides. Pada periode tersebut, pandangan mereka tertuju pada arche atau prinsip dasar alam semesta. Thales (624-546 SM) mengemukakan arche dari alam semesta adalah air, sebab segala sesuatu tidak akan ada tanpa adanya air. Air bisa berubah menjadi uap dan mengeras menjadi es. Namun, pandangan tersebut ditentang oleh muridnya, Anaximandros (610-546 SM) yang beranggapan bahwa arche alam semesta adalah to apeiron yang berarti tanpa batas atau tidak terbatas.
To apeiron menekankan prinsip utama yang tidak mungkin bersifat empiris karena hal tersebut akan memiliki pertentangan. Contoh, jika air dianggap sebagai arche, maka seharusnya air harus ada di segala hal dan tidak ada zat lain, seperti api yang bertentangan dengan air. Prinsip ini cenderung bersifat ilahi, abadi, tidak dapat berubah, dan mencakup segala hal. Selain dua ide arche tersebut, Anaximenes memberikan ide lain. Ia berpendapat bahwa udara adalah adalah arche yang menjadi prinsip dasar dari jiwa. Udara melingkupi seluruh alam dan merupakan elemen vital yang diperlukan bagi manusia. Dengan memadatkan udara, akan terjadi transformasi elemen di mana udara menjadi air, berkembang menjadi tanah, dan akhirnya mengeras menjadi batu.
Pasca berakhirnya era filsafat Yunani kuno, pandangan tentang alam terus mengalami perkembangan. Namun, ide-ide filsafat yang berkembang tidak lagi berdebat tentang prinsip-prinsip dasar alam semesta atau arche, tetapi lebih kepada disposisi lingkungan hidup yang terus mengalami perubahan seturut perkembangan paradigma manusia. Memasuki abad modern, pada tahun 1869 Ernst Haeckel mengembangkan ilmu ekologi yang menyoroti hubungan organisme dengan lingkungan. Ilmu ini kemudian dikaji dalam perspektif filsafat dengan salah satu tokohnya adalah filsuf Norwegia, Arne Naess (1912-2009).
Ide paling terkemuka yang disampaikan Arne Naess adalah deep ecology yang menegaskan hubungan kesetaraan antara semua organisme dan upaya reorientasi nilai-nilai kemanusian mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Artinya, manusia harus bertanggungjawab dan melaksanakan pelestarian hidup alamiah. Naess berpegang pada argumennya bahwa ekologi tidak boleh menjadi tempat aktualisasi kepentingan manusia karena tatanan alam memiliki nilai intrinsik yang bahkan melampaui nilai-nilai kemanusiaan. Kecenderungan manusia adalah menjadikan alam sebagai “realisasi diri” yang bahkan cenderung terjebak dalam sikap antroposentrisme atau pusat dari alam. Pandangan ini memang cenderung eksklusif dan menempatkan manusia “seolah-olah” terpisah dari alam. Arne Naess mendesak aktualisasi gerakan hijau untuk melindungi bumi yang tidak hanya tertuju bagi kepentingan manusia, tetapi juga untuk menjaga ekosistem.
SATUNAMA dan Upaya Transformasi Ekologis
Aktualisasi dari konsep deep ecology dalam gerakan hijau yang diusung Arne Naess menjadi acuan dalam program Yayasan SATUNAMA yang sedang dijalankan di Provinsi Jambi. Melalui Departemen Pembangunan Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat (PBPM), SATUNAMA Yogyakarta berupaya untuk meningkatkan sinergitas dengan Pemerintah dan masyarakat setempat untuk mewujudkan hutan lestari dan kondisi masyarakat yang sejahtera. Program ini tentunya menjadi pintu masuk deep ecology ke dalam bentuk-bentuk praksis di lingkungan sosial masyarakat.
Adapun pendampingan yang dilakukan dipusatkan di Kabupaten Merangin dengan pendampingan terhadap tujuh desa di empat kecamatan yang berbeda. Aktualisasi tersebut juga menjadi jawaban terhadap misi SATUNAMA dalam mengupayakan pelestarian lingkungan seperti sumber daya alam, air, energi dan perubahan iklim, dan pengelolaan risiko bencana. Arus utama dalam program tersebut tetap tertuju pada pendampingan masyarakat yang berkelanjutan dengan menyasar pada peningkatan ekonomi masyarakat.
Saat ini, program yang melibatkan Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Desa masih terus berlanjut. Langkah pertama yang telah dilakukan adalah membangun pemahaman melalui lokakarya yang bertema “Membangun Sinergi dan Kolaborasi Untuk Peningkatan Penghidupan Mengatasi Perubahan Iklim dan Melindungi Hutan di Kabupaten Merangin.” Ini adalah langkah praksis yang beranjak dari ruang diskusi yang tumbuh dalam kesadaran bahwa deep ecology tidak hanya tentang ide, tetapi juga aktualisasi dari berbagai program yang mendekatkan manusia dengan alam.
Kondisi alam akan semakin memprihatinkan jika tidak diperlakukan secara ekologis. Oleh karena itu, gerakan hijau seperti yang diperjuangkan SATUNAMA bersama seluruh stakeholder dan masyarakat Merangin menjadi bentuk kebijaksanaan terhadap kehidupan manusia dan kondisi alam yang dinilai makin kritis di zaman ini. [Penulis: Roby Tampang – Volunteer SATUNAMA/Penyunting: A.K. Perdana/Gambar: A.K. Perdana]