Belajar Bersama Melihat Masyarakat Lewat Kacamata Masyarakat

Pelatihan Etnografi untuk Pemberdayaan Masyarakat Kolaborasi SATUNAMA UNPAR

Satunama.org – Hari ini, metode kerja partisipatoris menjadi sebuah cara yang kompeten untuk diterapkan dalam berbagai kerja yang bersentuhan dengan pembangunan yang inklusif. Pendekatan yang bertumpu pada pengakuan terhadap potensi dan karakter sebuah entitas ini dipandang sebagai sebuah cara yang mampu membawa perubahan positif dengan tetap berpegang pada jati diri entitas tersebut.

Proses relasi dan metode yang lebih memfokuskan pada penanaman kebiasaan, adat istiadat, nilai, dan norma secara humanis ini dalam banyak situasi dipandang mampu memetakan berbagai kemungkinan solusi atas persoalan yang dihadapi sekaligus memberikan pemahaman yang utuh tentang eksistensi dan rekognisi kelompok masyarakat khususnya yang menjadi kelompok rentan.

Karenanya, dalam konteks pemberdayaan, penguatan kapasitas, hingga pembangunan manusia, cara kerja partisipatoris juga dapat memberikan kesempatan bagi kelompok rentan untuk bertindak sebagai perencana, pelaksana sekaligus penentu kebijakan di tingkat lokal. Sekaligus juga dapat menjadi dasar bagi implementasi program yang berhubungan dengan pembangunan dan pemberdayaan.

Pembahasan ini muncul dalam sebuah Pelatihan Etnografi untuk Pemberdayaan Masyarakat yang digelar oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung bekerjasama dengan Yayasan SATUNAMA melalui SATUNAMA Training Center (STC) pada Kamis-Jumat, 4-5 Agustus 2022 di Bandung. Pelatihan diikuti oleh beragam kalangan peserta, seperti dosen pengajar, mahasiswa, jurnalis hingga pegiat komunitas.

Menafsirkan dan Mencari Solusi

Memahami secara utuh sebuah komunitas tentunya bukanlah perkara mudah. Fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa tidak ada manusia yang tercipta sama, sehingga memunculkan keberagaman sebagai sebuah kenicscayaan. Dalam konteks inilah kemampuan untuk memahami orang atau manusia lain menjadi penting jika dikaitkan dengan tujuan yang membawa kemanfaatan.

“Kita tidak bisa merasakan pengalaman orang lain. Maka yang bisa kita lakukan adalah menafsirkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan menggunakan perspektif orang yang merasakan pengalaman tersebut dan juga perspektif kita sebagai pihak diluar diri orang tersebut. Sehingga nanti akan muncul sebuah gambaran yang kaya tentang pengalaman yang terjadi.” Demikian ujar Transpiosa Riomandha, salah satu fasilitator dalam pelatihan yang akrab dipanggil Mas Cuk.

Berkaca dari hal tersebut, cara kerja partisipatoris menjadi penting mengingat dari berbagai pengalaman yang dialami seseorang atau sebuah komunitas akan dapat dipetakan berbagai kemungkinan perubahan dan solusi yang dapat dimanfaatkan oleh mereka, namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi yang dianut oleh komunitas tersebut.

Karena itu, setiap penafsiran yang dibuat harus merupakan penafsiran yang benar-benar berdasarkan fakta aktual yang terjadi sehingga dapat menjelaskan pengalaman yang sesungguhnya dialami. “Memahami kebutuhan dan berusaha memberikan solusi sesuai kebutuhan mereka. Atau minimal dapat membantu mereka menyuarakan situasi yang mereka hadapi dan juga tentang siapa diri mereka dalam cara pandang dan cara menjalani yang mereka lakukan.” Kata Cuk Riomandha.

Dalam prosesnya, tak jarang seorang fasilitator di basis akar rumput harus memastikan bahwa penafsirannya terhadap situasi masyarakat yang didampinginya adalah benar-benar situasi yang dialami masyarakat tersebut dengan cara pandang, sikap dan kebutuhan mereka. “Konfirmasi kepada pemilik pengalaman dari awal sampai akhir dibutuhkan untuk dapat membangun narasi yang mendekati realita yang sesungguhnya.” Tambah Cuk.

Hal tersebut menjadi penting karena data diambil melalui metode utama observasi mendalam terhadap sebuah realita agar dapat memberikan gambaran dan pemahaman mengenai realita tersebut, termasuk persoalan dan potensi yang ada.

Basis Implementasi Program

Dengan karakternya yang adaptif, metode partisipatoris dapat menjadi basis bagi pelaksanaan program yang berkaitan dengan pembangunan termasuk di level akar rumput. Siklus implementasi program sangatlah berkaitan erat dengan kemanfaatan program bagi kelompok masyarakat yang dilayani.

Basis kerja partisipatoris dapat memberikan data-data penting serta analisis yang dapat dikonversi menjadi tawaran solusi bagi persoalan yang ada. Hal ini sejalan dengan paradigma program pembangunan yang hampir selalu fokus pada penyelesaian masalah.

“Pendekatan partisipatoris digunakan sebagai fondasi pelaksanaan program dari sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengembangan sampai memberikan jawaban atas persoalan, sesuai dengan keunikan masyarakat yang menjadi mitra kerja. Karena basisnya adalah kebutuhan masyarakat itu sendiri.” Ujar Ariwan Perdana, fasilitator SATUNAMA dalam pelatihan ini.

Strategi program pun tak luput dari elemen nuansa partisipatoris. Ketika misalnya berbicara mengenai pelaksanaan assessment dalam program, metode partisipatoris bisa diimplementasikan untuk mendapatkan data yang realistis untuk kemudian memunculkan rekomendasi-rekomendasi aksi yang dapat dilaksanakan dalam bentuk program.

“Termasuk juga dalam hal peningkatan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai komunitas atau masyarakat, sampai kepada produksi pengetahuan dan publikasi yang dapat memberikan narasi runut dengan penjelasan, analisis dan interpretasi tentang keberadaan sebuah komunitas, misalnya kelompok rentan tertentu dengan dasar pengalaman mereka sendiri.” Tambah Ariwan.

Karenanya, kerja bersifat partisipatoris akan menjadi dinamis menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dibutuhkan proses panjang untuk dapat melihat sebuah realita komunitas atau masyarakat dengan berbagai perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Sehingga sangat mungkin strategi aksi yang dilakukan dalam program pun akan dinamis mengikuti perkembangan yang terjadi.

Diaplikasikan dalam Pelatihan

Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung dan Yayasan SATUNAMA menyelenggarakan pelatihan ini dengan tujuan untuk memperkaya pengetahuan dan metode kerja-kerja akademis maupun pemberdayaan bagi masyarakat kampus dan masyarakat umum.

Pelatihan yang terbuka untuk umum ini mengakomodasi jumlah peserta hingga empat puluhan orang  di mana 31% di antaranya adalah perempuan dan 69% sisanya adalah laki-laki dari berbagai kalangan profesi dan latar belakang pendidikan. “Untuk menambah pengetahuan dan skill yang nantinya bisa berguna bagi para peserta, sesuai dengan kiprah mereka.” Ujar Wilfridus Demetrius Siga, pengajar di Fakultas Filsafat UNPAR yang turut serta menghelat pelatihan ini.

Untuk memberikan pengalaman kepada para peserta pelatihan, pendekatan partisipatoris juga mewujud dalam pelaksanaan pelatihan hasil kolaborasi antara Fakultas Filsafat UNPAR dan Yayasan SATUNAMA ini. Pelatihan digelar dengan menggunakan pendekatan partisipatoris yang mewujud dalam berbagai metode seperti diskusi individu maupun kelompok, permainan-permainan hingga simulasi praktik yang dilakukan dalam pelatihan sesuai dengan situasi dan perkembangan proses pelatihan.

“Sejak awal kami memulai dengan memetakan terlebih dahulu kebutuhan para peserta pelatihan. Kemudian mendesain alur pelatihan yang fleksibel, menyiapkan berbagai metode yang sekiranya cocok digunakan dalam pelatihan dengan juga mempertimbangkan karakter para peserta yang beragam dalam berbagai hal. Sehingga selain mendapatkan teori, para peserta juga sekaligus dapat mengalami sendiri apa yang diajarkan dalam pelatihan ini.” Kata Debora Ratri, pekarya pengelola SATUNAMA Training Center. [Penulis : Iwan Kusuma/Penyunting : Laurentia Widiati/Foto : A.K Perdana, Cuk Riomandha]

Tinggalkan komentar