Korupsi di Indonesia Muncul Terus, Toto Rahardjo : “Terlalu Besar Atap Daripada Tiang”

Gilani kelakuan koruptor iku. Ngono e lho kok kolu, lha wong duit seng mbok badog kui seko wong rekoso,” satir Kyai Tohar, atau yang akrab disapa Toto Raharjo dalam edisi Podcast Krusial episode keenam bersama Yayasan SATUNAMA Yogyakarta, Kamis (15/01/2021) lalu. Sindiran lantang dengan langgam khas Jawa itu ia ungkapkan sebagai bentuk rasa kekesalannya terhadap praktik korupsi di Indonesia yang kian merajalela.

Jika diterjemahkan, bunyinya kurang lebih seperti ini, “Sangat menjijikan kelakuan koruptor itu! Seperti itu kok tega, padahal uang yang dimakan—korupsi—itu berasal dari rakyat yang sedang susah”. Sosok aktivis yang bergerak dalam pendidikan kerakyatan itu menyoroti bahwa korupsi yang sudah menjadi penyakit di Indonesia, tidak akan pernah musnah manakala sistem politik—yang ia andaikan sebagai “Cagak”—masih tidak mampu menahan beratnya praktik jahat korupsi—“Empyak”.

Melansir dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, terdapat lonjakan sebanyak 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020 dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun. Tama. S. Langkun, Peneliti ICW menengarai bahwa lonjakan kasus korupsi itu disebabkan oleh tren penindakan kasus korupsi yang menurun. Imbas dari bergesernya prioritas pemerintah dalam memberantas korupsi. Sehubungan dengan hal tersebut, Toto Rahardjo mengulas lebih gamblang menyoal pandangannya tentang praktik jahat korupsi di Indonesia.

Dimoderatori langsung oleh Irsyad Ade Irawan, staf Unit Demokrasi dan Politik sekaligus punggawa program Civilized Politic for Indonesia Democracy SATUNAMA, obrolan bersama Toto Rahardjo berlangsung selama 38 menit 40 detik. Keduanya berfokus pada tindakan korupsi berskala besar, bukan korupsi kecil seperti korupsi waktu, berbohong, ingkar janji, dan sebagainya. Dalam hal ini, para aktornya adalah pejabat publik negara.

Bagaimana tanggapan Pak Toto terhadap perilaku jahat yang dilakukan oleh pejabat publik negara yang melakukan tindakan korupsi?

Korupsi adalah tindakan pejabat publik, politisi, maupun pihak lain yang secara tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Cukup clear, kita akan bicara korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara. Ada tiga faktor penyebab utama;  sikap hedonis, serakah, dan ruang sistem yang tidak beres. Di sisi moral, korupsi sudah pada tataran genting sekali. Misalnya Juliari Batubara, Mantan Menteri Sosial Pemerintahan Joko Widodo yang diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menyelewengkan Dana Bantuan Sosial (Bansos).

Padahal bansos itu untuk rakyat yang terdampak pandemi Covid-19. Tindakan yang dilakukannya sungguh tak bermoral. Ketika rakyat sedang menjerit, justru dengan seenaknya pejabat publik berfoya-foya dengan uang yang sumbernya dari rakyat. Miris hati saya, yang notabene saya juga merupakan rakyat kecil yang paham betul bagaimana perasaan mereka. Gilani kelakuan koruptor iku! Ngono e lho kok kolu, lha wong duit seng mbok badog kui seko wong rekoso.

Korupsi bukan semata-mata dilakukan oleh aktor atau person, tetapi juga sistem. Sistem politik yang seperti apa yang memberikan jalan bagi para koruptor?

Suka tidak suka, menjadi pejabat publik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Proses melanggengkan jalan menuju kekuasaannya itu, pada akhirnya menjadi sebuah dagang. Dalam hal ini, biaya politik juga menjadi penyebab korupsi itu terjadi. Tuntutan partai untuk mendapatkan jatah atas biaya yang dikeluarkannya untuk pasangan calon yang diusung juga ikut terlibat di dalamnya itu.

Yang menjadi pertanyaan besar saya, apakah pelakunya adalah manusia yang gak kuat iman? Padahal, kalau kita melihat dari latar belakang aktornya juga bukan orang miskin. Kenapa dia masih saja korupsi? Jelas dikonkretkan bahwa ada tuntutan lain, yakni pengembalian atau pemenuhan biaya untung untuk partai yang mengusung. Di sini, kita bisa mencermati bahwa sebutan koruptor itu umumnya hanya untuk pejabat publik.

Tidak mungkin misalnya, orang miskin menggelapkan uang kemudian disebut koruptor. Paling-paling ya disebut maling, jambret, garong. Kan sesungguhnya praktiknya sama, hanya saja bagi orang kelas bawah atau miskin itu terpaksa dilakukan karena faktor tidak punya uang atau pengangguran. Namun, kita akan membicarakan praktik korupsi yang bukan berskala kecil, tetapi korupsi yang berkaitan dengan uang negara yang dirampas oleh pejabat publik yang mempunyai kuasa.

Mengapa para politisi harus mencuri uang rakyat untuk melanggengkan jalan politiknya dan kenapa tidak mandiri saja?

Kalau diusut lebih lanjut, sistem demokrasi sesungguhnya memiliki sejumlah prasyarat yang tidak cukup. Misalnya kita ambil contoh sederhana, partai tidak jelas sumber-sumber penghidupannya dari mana. Semestinya kan dari anggota dan modal usaha mandirinya. Tetapi saat ini, justru semua partai berebut di dalam APBN (uang rakyat) untuk dijadikan proyek-proyek gelap guna mendulang berjalannya partai.

Oleh karenanya, kalau berbicara soal korupsi, tidak cukup hanya sebatas sisi moralitas saja, kita harus membuka diri bahwa ada prasyarat-prasyarat yang tidak cukup untuk menggerakkan sistem. Ibarat kata, seseorang ingin membangun rumah, namun tiang, pagar, atap tidak bagus, ya akhirnya bocor atau ambruk sekalipun. Kurang lebih seperti itu korupsi.

Kalau orang Jawa, punya istilah “Kegedhen Empyak Kurang Cagak” (terlalu besar atap daripada tiang), yang mana sistem politik yang berperan sebagai tiang, tidak kuat untuk menahan beban yang dipenuhi praktik jahat korupsi. Politik kita ya seperti itu gambarannya; biaya mahal, tetapi gak punya duit, akhirnya nyolong duit rakyat.

Masyarakat menilai bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga yang korup, mengapa demikian?

Nah, ini yang sesungguhnya menjadi ironi bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana bisa, DPR yang sesungguhnya sebagai wakil rakyat malah nyolong duit rakyat. Gak masuk akal. Sudah konkret, korupsi terjadi karena ada biaya di luar nalar. Kalau mengacu pada sistem keuangan sederhana misalnya, pastilah ada pemasukan-pengeluaran. Tetapi kadang kala terjadi pengeluaran dulu sekian, padahal belum ada pemasukan, akhirnya pejabat publik kelabakan.

Jalan mudahnya ya ngakalin duit rakyat sembari berebut kekuasaan. Didukung oleh rumah yang tidak kokoh tadi sehingga gampang sekali dijebol oleh mereka. Anehnya, mereka tidak takut. Dalam hal ini, menurut saya, ada faktor lain yang mendukung, yakni penegakan hukum yang lemah. Seandainya ada hukum yang menghendaki koruptor dibikin miskin, mungkin ya agak mikir-mikir (kalau mau korupsi). Balik lagi, nyatanya, pejabat publik tak habis akalnya. Mereka melegitimasi hukum itu sendiri untuk menggagalkan hukum yang bisa menghambat mereka untuk berbuat korupsi, tentunya lewat berbagai cara.

Kebiasan-kebiasaan kecil nan buruk di masyarakat, apakah juga berpotensi akan melahirkan praktik korupsi di masa mendatang?

Seandainya rakyat biasa melakukan tindakan korupsi, pasti hanya karena pelayanan publik yang tidak baik. Atau apa-apa yang sifatnya remeh-temeh, sebab rakyat kecil tidak memiliki kesempatan untuk mencuri uang dalam skala besar. Kesempatan itu hanya dimiliki oleh pejabat publik yang memiliki akses ke sumber-sumber keuangan negara. Kalau rakyat biasa seperti kita, paling mentok ya hanya korupsi waktu, mblenjani janji (ingkar janji), atau sebatas nyogok. Kenapa nyogok? Ya karena ada sistem pelayanan yang tidak benar.

Kebiasaan masyarakat kecil yang melahirkan korupsi lebih cenderung pada faktor budaya. Yakni budaya masyarakat yang masih silau dalam memandang kekayaan. Contoh, seseorang hormat kepada pejabat publik yang kaya, tetapi tidak pernah mempertanyakan ia kaya itu dari mana. Padahal bisa jadi kekayaan ini sumbernya dari korupsi. Sehingga, hal inilah sebab hukuman sosial tidak mempan untuk pelaku korupsi, karena rakyat masih silau melihat kekayaan.

Kalau saja rakyat menyadari betul akan hal itu, minimal sanksi sosial akan lebih besar perannya dan langsung diterapkan oleh masyarakat. Misalnya saja, tetangganya tertangkap korupsi. Setelah bebas dari masa hukuman penjara ia dikucilkan, tidak diundang kenduren, misalnya. Itu akan lebih ampuh. Kendati demikian, lagi-lagi, masyarakat masih terbiaskan oleh sebutan orang kaya itu tadi, orang yang harus selalu dihormati.

Bagaimana sistem pendidikan yang ideal untuk sebagai alat pembasmi korupsi?

Mestinya, pendidikan yang mengedepankan sikap dan moralitas menjadi sangat penting. Tidak bisa kalau penerapannya hanya sebatas menggunakan metode nasehat-nasehat saja. Mestinya, harus ada pembiasaan baik dalam aktivitas sehari-hari oleh individu. Yang kemudian menjadi sistem budaya baik pula di masyarakat.

Misalnya, kalau seseorang salah ya mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada yang telah dirugikan tanpa memandang kelas atau jabatan. Hal itu, sejatinya harus ditanamkan sejak dini. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Yang terjadi sekarang ini kan justru kebalikannya, orang berbuat salah justru ngotot benar. Ini soal kejujuran yang tidak hanya berkutat pada nada-nada saja tetapi juga harus menjadi sistem pendidikan ideal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ketika masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang mengedepankan moral kejujuran, apakah mungkin yang sudah terlanjur korupsi bisa ditanamkan lagi pendidikan dengan model itu?

Kita perlu mengakui sebelumnya, tidak sedikit para pelaku korupsi itu berlatar belakang agama yang kuat. Namun apa yang terjadi, mereka masih saja melakukan tindakan jahat itu yang jelas-jelas bukan cerminan dari ajaran mulia agama. Jelaslah, korupsi ini merupakan sistem yang sangat kuat yang membius orang hingga bisa tega melakukan sesuatu atas dasar keserakahan. Kaitanya dengan pendidikan, jangan hanya diserahkan pada institusi sekolah saja.

Hakikat dari pendidikan itu adalah sebuah interaksi antar manusia. Sehingga untuk membasmi korupsi, jelas tatarannya pada interaksi dalam tata kehidupan manusia bernegara. Nyatanya, proses sikap kehidupan bernegara kita sudah carut marut. Tak heran banyak orang-orang yang dulunya alim, lalu ketemu sistem korupsi—bim salabim abrakadabra—jadilah pencuri. Sehingga menurut saya, sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kerakyatan sudah semestinya disamaratakan, dari tataran masyarakat bawah hingga bernegara.

Kiat-kiat atau strategi bersama yang bagaimana untuk bisa memberantas praktik korupsi?

Strategi utamanyaadalah kemauan bersama untuk menjalankan fungsi yang semestinya, terutama kemauan negara. Harus jelas di situ dulu. Sebelumnya, saya mengapresiasi adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam sejarahnya sudah berhasil membongkar praktik-praktik korupsi di Indonesia. Namun, kerja atau fungsi KPK nyatanya juga tidak didukung oleh fungsi institusi-institusi lain. Malahan, baru-baru ini KPK seperti dilemahkan karena diduga menghalang-halangi oknum untuk memuluskan mencari uang dari praktik korupsi.

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil untuk turut memberantas korupsi?

Masyarakat sipil turut andil dalam pengawasan. Selain itu, masyarakat perlu memiliki metodologi pendidikan kemasyarakatan yang lebih komprehensif. Tujuannya untuk menumbuhkan sikap kritisnya terhadap tindak pidana korupsi. Jangan sampai hanya cukup terjebak dalam lika-liku pemahaman ampas dari korupsi. Bagi kita, misalnya, kala  mendengar kata “korupsi” itu akan tidak sampai ke hati. Sebab, bukan kata sehari-hari kita, coba saja misalnya diganti dengan kata “maling”, “bencoleng”, atau “kecu” pasti akan lebih mengena. Makanya kalau ada koruptor yang masih ketawa-ketiwi dan say good bye dengan lambaian manis tangannya, itu karena ia tidak merasakan dosa yang sudah dilakukannya. [] [Penulis: Haris Setyawan (Media Intern/UGM Yogyakarta). Penyunting: A.K. Perdana. Fotografer: Annisa Dani (Media Intern/ISI Surakarta)]

Tinggalkan komentar