Satunama.org – Hutan adat merupakan sebuah wujud penting dalam dinamika kehidupan masyarakat adat. Kolektivitas flora dan fauna dalam ruang alam yang luas ini menjadi kekuatan utama mereka menjalani kehidupannya tanpa harus bergantung dengan perputaran roda modernitas yang serba penuh transaksi untuk sekadar memperoleh sebutir nasi. Karenanya, dalam konteks kehidupan bernegara, pengakuan dan kepastian legalitas atas hutan adat serta hak pengelolaannya menjadi penting bagi komunitas masyarakat adat.
Refleksi tersebut muncul dalam helatan Webinar Peduli “Belajar Kemandirian Sosial dari Masyarakat Adat dan Kepercayaan Lokal” yang diadakan oleh SATUNAMA. Tema kearifan masyarakat adat dan kepercayaan lokal perlu diangkat ke permukaan sebagai bagian dari upaya menginspirasi masyarakat lainnya yang hidup di papan pola pikir dan budaya yang tidak sama dengan masyarakat adat dan kepercayaan lokal.
Webinar ini sendiri diikuti oleh 88 peserta dari berbagai kalangan secara daring pada Kamis, 30 April 2020, pukul 10.00-13.00 WIB. Webinar dipandu oleh moderator milenial Valerianus Jehanu, Staf Unit kebebasan Beragama dan Berkepercayaan yang juga merupakan staf Program Peduli SATUNAMA.
65 Hutan Adat Telah Ditetapkan
Hadir sebagai salah satu narasumber adalah Prasetyo Nugroho, MSI, Kasubdit Hutan Adat dan Masyarakat Adat Kementerian LHK. Prasetyo menuturkan fakta bahwa hingga 2019, Kementerian LHK telah menetapkan 65 unit hutan adat di seluruh Indonesia dengan total luas mencapai 35.150 ha. Dari jumlah ini, Sumatera memiliki paling banyak hutan adat yang telah ditetapkan yaitu sebanyak 41 unit.
“Jambi menjadi provinsi yang paling banyak punya hutan adat. Jumlahnya ada 27.” Ujar Prasteyo sembari menjelaskan bahwa sebanyak 24 unit hutan adat lainnya tersebur di Pulau jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali.
Keterkaitan hutan adat dengan masyarakat adat memang sangat erat. Keterkaitan relasi itu tidak hanya sekadar menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakatnya. Semangat utamanya adalah melakukan perlindungan bagi kelestarian hutan-hutan adat tersebut. Ini tentu merupakan sebuah visi jangka panjang yang telah mengakar dalam perspektif hingga budaya masyarakat adat.
Oleh karenanya penetapan hutan adat sebagai hak masyarakat adat menjadi bagian penting dalam kerja-kerja menuju tujuan kelestarian tersebut. Salah satu hutan adat yang telah ditetapkan di Indonesia adalah Hutan Adat Tawang Panyai di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Ini merupakan hutan hujan tropis yang di Kabupaten Sekadau seluas 40,5 hektar. Prasetyo menyebutkan bahwa hutan ini menjadi sumber kehidupan penting untuk berbagai keperluan adat.
“Di Sekadau, hutan ini hanya satu dari sedikit yang masih tergolong hutan alami meski luasnya tidak besar. Ini sebabnya mereka berusaha menjaganya dengan hukum adat.” Kata beliau sembari menambahkan bahwa di Pulau Jawa juga terdapat komunitas Jalawastu di Brebes yang juga memiliki akses terhadap pengelolaan lahan seluas 68 hektar.
Hutan adalah Hak
Tidak berlebihan jika dalam konteks kehidupan bernegara, relasi kuat antara masyarakat adat dan hutan adat serta signifikansi hutan adat sebagai sumber kehidupan sekaligus kelestarian sumber daya alam membutuhkan kerjasama antar lembaga yang berhubungan dengan isu tersebut harus berjalan dengan baik. Di Indonesia, urusan masyarakat adat dan hutan adat berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH).
Meski demikian, beberapa kewenangan juga muncul dari lembaga kementerian lain berdasarkan beberapa peraturan maupun undang-undang. Antara lain misalnya Kementerian Dalam Negeri melalui Permendagri No 52/2014 dan UU No.6/2014, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN melalui Permen ATR No.10/2016.
“Ini yang selama ini sudah saling berkoordinasi dengan kami. Jadi memang ada banyak pembagian kewenangan terkait masyarakat hukum adat.” Kata Prasetyo sembari menyebutkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki dua undang-undang dan satu peraturan menteri, yaitu UU No. 41/1999 tentang Hutan Adat dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen KLHK No. 21/2019.
Kerjasama antar lembaga akhirnya menjadi tidak terelakkan. Tidak hanya antar lembaga negara dan pemerintah, namun juga melibatkan berbagai lembaga non pemerintah dan non negara. “Kalau kita melihat peta sebaran hutan adat yang telah ditetapkan hingga saat ini, tentu saja ini bukan hasil kerja dari unit kami sendiri. Ini sebuah kerja besar yang juga dilakukan bersama teman-teman CSO, akademisi, dan banyak lagi hingga akhirnya bisa melahirkan beberapa hutan adat.” Tambah Prasetyo.
Menurut Prasetyo Nugroho, hutan adat adalah hak masyarakat adat. Maka sudah menjadi tugas negara dan pemerintah untuk memberikan hak tersebut kepada mereka. “Masyarakat adat ini lebih bisa mempertahankan hutan selama bertahun-tahun. Dengan kekuatan adat dan institusinya mereka sanggup menjaganya. Itulah yang mendorong kami melakukan percepatan perlindungan kepada masyarakat adat dan hutan adat.” Demikian Prasetyo menutup paparannya. [Ariwan Perdana/SATUNAMA]