Upaya Meretas Hak Kewarganegaraan

Gerakan Politik Perempuan: Upaya Meretas Hak Kewarganegaraan

Berbicara soal kewarganegaraan berarti berbicara tentang sebuah proses partisipasi rakyat dan keterlibatan konstruktif pemerintah. Pendeknya, rakyat mendapatkan akses, kontrol, dan kewenangan untuk terlibat dalam seluruh perencanaan hingga monitoring pembangunan. Seperti di beberapa negara maju, keterlibatan rakyat tidak hanya dimaknai sebatas keterlibatan dalam pemilu, kewarganegaraan dimaknai dengan keterlibatan aktif di berbagai isu, mulai dari isu pemberantasan korupsi, perlawanan terhadap eksploitasi lingkungan, hingga advokasi hak perempuan dan anak. Pertanyaannya, bagaimana keterlibatan perempuan Indonesia dalam arena politik warga? Apa refleksi yang bisa kita ambil di tengah gegap gempita perpolitikan jelang Pemilu 2014?

Bukan rahasia lagi, Indonesia masih menyisakan pekerjaan panjang dalam urusan kewarganegaraan, khususnya perempuan. Ranah kewarnegaraan di negeri ini masih menjadi domain laki-laki, mulai dari wilayah privat hingga publik. Perempuan tidak cukup mendapatkan ruang untuk berpartisipasi secara total dan simultan.

Berbagai macam sandungan masih terus saja dihadapi oleh perempuan ; strerotype, marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan. Lima aspek ketidakadilan gender ini seakan masih cukup legitimate untuk dilekatkan dengan perempuan sebagai warga negara. Sehingga perempuan (pada umumnya) tak lebih sebagai penyumbang suara, bukan penentu suara, apalagi kebijakan. Dalam ranah inilah perempuan sebagai warga negara penting dikaji kembali.

Konsep tentang kewarganegaraan dalam analisis feminis telah memperluas jangkauan partisipasi, bahwa kewarganegaraan telah membawa hak dan tanggung jawab individu ke dalam panggung politik formal dan menerapkannya dalam panggung terbuka yang lintas isu, sosial, kelas, dan sektoral. Bahkan konsep demokrasi dan kesetaraan dalam rumah (keluarga) sama pentingnya dengan panggung legislatif yang syarat dengan wajah maskulinitas.

Konsep ini secara otomatis memperlebar batas “cita-cita bersama” di luar arena publik untuk melibatkan keluarga, dimana di dalamnya adalah perempuan. Entitas warga negara yang sampai saat ini cenderung dimarginalkan. Dalam konteks inilah, kesempatan perempuan untuk menjadi warganegara juga ditentukan oleh apa yang terjadi dalam ranah privat, yaitu keluarga. (Citizenship and Democrazy, Maxine Molyneux, 1997).

Politik Identitas Perempuan

Pasca reformasi 1998, negeri ini banyak sekali mengalami perubahan, tidak terkecuali dalam ranah demokrasi dan kewarganegaraan. Rakyat mempunyai peran perubahan yang lebih besar, namun tidak semudah itu untuk perempuan. Hak sipil dan politik yang membentuk kebebasan dasar warga tidak serta merta dapat menjamin persamaan hak kantar warga negara,khususnya perempuan. Tidak mengherankan jika pada abad 19 dan 20 muncul gerakan kewarganegaraan politis untuk memperoleh hak pilih universal yang selama ini hanya menjadi miliki laki-laki borjuis dan pemilik aset produksi. Perjuangan ini berjalan hingga saat ini, tidak terkecuali Indonesia.

Artinya, universalitas kewarganegaraan bukanlah sebuah proses instan yang tidak berujung pangkal. Bukan pula sebuah proses alamiah sebagai respon atas meningkatnya ruang publik. Kewarganegaraan tidak sekedar memberikan suara atau memenuhi kewajiban publik, tidak semata pula memilih pemimpin negeri dan taat pada sistem yang ada. Kewarganegaraan adalah pelibatan warga dalam pembuatan dan penyusunan struktur sistem dan aturan warga.

Dalam konteks inilah, pendidikan kewarganegaraan berperspektif feminis untuk perempuan menjadi salah satu proses penting yang tidak bisa ditinggalkan oleh siapapun, negara dan masyarakat sipil. Pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu langkah politik perempuan untuk melepaskan perempuan dari domistikasi dan pengasingan perempuan dari ranah publik. Pendidikan kewarganegaraan merupakan sebuah proses membangunkan kesadaran perempuan dan warga tentang pentingnya partisipasi dan representasi perempuan dalam ruang publik. Ruang pendidikan untuk perempuan memungkinkan perempuan untuk membangkitkan kesadaran kritis.

Membangun dan memperkuat gerakan perempuan dari ranah privat hingga publik untuk perjuangan akan hak kewarganegaraan adalah manifesto yang paling riil tentang perlawanan perempuan terhadap praktek-praktek diskriminasi politik maskulin terhadap perempuan.
Gerakan perempuan yang mampu menampakkan identitas politik perempuan sebagai gerakan yang tidak hanya berbasis dan bersifat kolektif tetapi juga individual. Sebuah gerakan yang menyadari betul peta dan pola diskriminatif yang memangkas identitas politik perempuan, sejak dari ranah individual dan domestik.

Identitas politik perempuan yang mampu memberdayakan diri perempuan (power with in), tolerance, terbuka, serta tidak mendikotomikan kepemimpinan maskulin dan feminin. Gerakan politik perempuan yang berbasis identitas perempuan yang membuka ruang solidaritas, persaudaraan, dan aliansi strategis. Setidaknya ikhtiar ini mampu mengantarkan perempuan untuk masuk dalam ranah politik yang lebih setara sehingga mendorong penciptaan wajah baru politik kita, politik feminis.

(Ditulis oleh: Sana Ulaili, Kepala Unit Pengembangan Kapasitas, Yayasan SATUNAMA)

Tinggalkan komentar