Anak, Otoritas Mutlak Duta Perdamaian

Kulon Progo- Kamis, 21 September 2017. Mengambil momentum Hari Perdamaian Internasional, Guyub Bocah selenggarakan Pelatihan Multikultur Anak Desa Banjaroyo. Kegiatan ini sebagai media pendidikan dan pembelajaran perihal multikultur serta persentuhan positif antar komunitas anak dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda.

Cuplikan Konstitusi dan Kerja Politik

Anak, sebuah kata yang mewakili memori kolektif umat manusia di segala jaman dan peradaban tentang cinta, cita, dan perjuangan. Anak, entitas paling otonom terhadap pencemaran dari samudra kepentingan, absennya nalar politik penguasa, singkatnya umur birokrasi, prematurnya agenda bisnis kapitalis, rapuhnya rantai komando militer, kode etik sebagai rutinitas administrasi, pun sempitnya medan fikir kelompok-kelompok intoleran. Anak, dengan demikian, pemegang otoritas mutlak duta perdamaian.

Perang, adalah penghianatan atas nalar kemanusiaan dan intelektualitas. Di mana dalam perjalanan peradaban uamat manusia, cinta akan kedamaian beriringan dengan kerakusan, ketamakan, kepongahan, kebodohan, dan hasrat kekuasaan, menghadirkan ragam bentuk kehancuran dan penderitaan, berujung pada luka yang sangat angsur pulihnya.

Di tengah itu semua, sejarah juga memberikan energi –meski sedikit- bagi umat manusia atas pilihan-pilihan yang butuh diambil untuk mengobati luka dan berbenah.

Merangkai Praktik Baik

Samantha Reed Smith, anak usia 10 tahun dari Maine, Manchester, Amerika Serikar, dengan kepolosan dan ketulusan yang murni, pada November 1982 menulis surat kepada Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Yuri Andropov di masa perang dingin, di mana Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam hubungan kondisi diplomatik yang buruk, dan ancaman serangan nuklir dari Soviet ke Amerika menjadi mimpi buruk bagi Amerika, khususnya anak-anak, dan Samanta Smith hadir menjadi wakil dari cita kemanusiaan.

Dalam suratnya, Samantha dengan polos dan tulus menanyakan kepada Yuri Andropov terkait apakah Soviet akan memilih atau menghindari perang, dan Samanta, dalam suratnya menyampaikan kekhawatiran mendalamnya atas ancaman serangan nuklir oleh Soviet ke Amerika.

Usaha si diplomat cilik ini tak langsung berbuah, berbulan-bulan ia menunggu balasan resmi dari orang nomor dua di Partai Komunis Uni Soviet itu, sampai sempat pula suratnya diterbitkan dalam koran Soviet, Harian Pravda, tapi Samantha lebih semangat lagi berjuang.

Akhirnya Samantha mengirim surat ke Kedutaan Besar Uni Soviet di Washington, Amerika Serikat, dan pada Maret 1983 Kedutaan menelponnya dan menyampaikan bahwa Yuri Andropov akan segera menulis balasan resmi terhadap suratnya, dan melalui kedutaan akan dikirimkan kepada Samantha. Sebulan kemudian, 24 April 1983, surat balasan itu sampai ditangan si diplomat cilik, Samantha.

Dalam surat itu, Andropov menyampaikan bahwa rakyat Soviet juga menginginkan hidup damai, dan Soviet juga memilih untuk berdagang dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama dengan negara besar seperti Amerika Serikat, dan terakhir, dalam suratnya, Andropov meyatakan bahwa rakyat Soviet dan pemerintahan Soviet berharap tak ada perang antar dua negara, tak ada perang di dunia.

Pada 7 Juli 1983, si diplomat cilik terbang ke Moskow atas undangan resmi Yuri Andropov. Walaupun Samantha tidak bertemu langsung dengan Yuri, setelahnya Samantha menjadi duta besar tidak resmi yang menganjurkan kekuatan persahabatan internasional dan pelucutan senjata nuklir.

Samantha juga menulis dan menerbitkan sebuah buku, Journey to the Soviet Union. Tampil di televisi, dan berceramah keliling dunia untuk mempromosikan perdamaian. Demikianlah si diplomat cilik ini berjuang, memberi warisan bagi kekuatan pesan akan perdamaian.

Kita juga mengenal Mother Teresa yang gigih memperjuangkan perdamaian. Kita masih ingat aksinya dalam menyelamatkan 37 anak di tengah lalu lintas peluru dalam perang sipil Lebanon di Kota Beirut pada 1982. Tanpa peduli seseorang memeluk agama apa, dari ras apa, kebangsaan mana, dan budaya apa, ia merengkuh semua yang terluka, merangkul semua pihak yang masih memiliki nalar kemanusiaan untuk berbuat.

Mother Teresa, hadir membawa perdamaian, membantu mereka yang miskin, sekarat, dan yatim oleh perang. Ia mengorganisir segala sumberdaya untuk membangun sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit, hanya untuk pelayanan. Dengung lembut pesannya harus terus dijaga oleh generasi ini dan nanti sebagai alarm pentingnya kemanusiaan, bahwa “Sari dari iman adalah cinta, dan sari dari cinta adalah pelayanan” (“The fruit of faith is love, and the fruit of love is service”). Pun demikian dengan pejuang-pejuang perdamaian lainnya di seluruh dunia.

Melantunkan Lagu Perdamaian. (Foto: Esa/SATUNAMA)

Di Indonesia, tepatnya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, anak-anak yang tergabung dalam KOMPAK, Komunitas Penulis Klaten menghimpun energi bersama untuk menarasikan Ibu Bumi yang sedang terluka, tentang kerusakan alam yang kian parah, mendorong anak-anak dari berbagai komunitas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini secara serentak menulis surat terbuka untuk Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada 20 September 2015 tentang kian memprihatinkannya kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan galian C di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Narasi yang mewakili sabda ibu bumi, Yose, Isti, Kalinda, Nuhoni Laras Kinasih, Putri Jeni Asih, Sri Wahyuti Nuri Marwani, Siti Aminah, Fajar Rofiq Nur Khiriyah, Hera Wahyuningtyas Pangastuti, anak-anak bermata embun, teduh, dan sejuk, yang menarasikan gagalnya kerja politik di Jawa Tengah untuk lingkungan lestari di Keningar.

Walaupun Ganjar Pranowo belum membalas surat terbuka ini secara resmi, namun surat dari anak-anak ini kembali menegaskan bahwa sang pemilik mata teduh embun ini adalah mutlak pemegang otoritas duta perdamaian.

Demikianlah kisah yang memberi warisan tak terhingga bagi generasi ke generasi di bumi, bahwa perdamaian adalah fitrah kemanusiaan, ia harus diperjuangkan serta dirawat untuk bertumbuh.

Kontrak Sosial Bangsa-Bangsa

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor  55/282, sebuah mufakat dengan suara bulat dalam Rapat Pleno (Plenary Meeting) ke -111 pada 7 September 2001, menetapkan tanggal 21 September sebagai hari perdamaian dunia, hari tanpa perang, tanpa kekerasan.

Indonesia, sebagai Negara-Bangsa berkehendak merdeka untuk mendukung segala upaya menciptakan dunia yang damai dalam persahabatan dan kerjasama. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2015 Tentang Pengiriman Misi Pemeliharaan Perdamaian, di mana penugasan warga negara Indonesia ke suatu misi pemeliharaan perdamaian di luar Wilayah Republik Indonesia baik meliputi –sebagian atau keseluruhan- unsur Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI), POLRI, atau sipil yang tergabung dalam suatu pasukan atau perorangan (Pasal 1, Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2015 Tentang Pengiriman Misi Pemeliharaan Perdamaian) merepresentasikan komitmen tersebut.

Kerja-kerja kemanusiaan bukanlah pembersih atas dosa peperangan, namun ia melembaga dalam satu permufakatan politik dan hukum, sehingga kerangka kerja semua entitas haruslah tunduk tanpa syarat, memelihara perdamaian dan kerjasama dalam persahabatan bangsa-bangsa dunia.

Tidak mudah mengatur watak predator manusia, ini kerja perdaban, kerja kemanusiaan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Panel 45 ditetapkan dan diatur perihal posisi strategis Pemerintah Republik Indonesia terkait aspek reformasi PBB yang menjadi bahasan utama dalam penyelenggaraan Pertemuan Tingkat Tinggi dalam Sidang Majelis Umum (High Level Plenary Meeting of General Assembly) yang diselenggarakan pada 14-16 September 2005 untuk kepentingan nasional dan pemeliharaan perdamaian Internasional.

Guyub Bocah Merawati Perdamaian

Kegiatan yang diikuti oleh komunitas anak Desa Keningar, Magelang dan Desa Banjaroyo, Kulon Progo ini diisi dengan permainan anak, pemutaran film Anak Gunung, pentas seni tari, doa lintas agama, dan pengumpulan cap tangan sebagai simbol dukungan terhadap perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Bertempat di Gereja Santa Maria Lourdes, Promasan, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DIY.

Kamis, 21 September 2017. Mengambil momentum hari Perdamaian seDunia, Guyub Bocah selenggarakan Pelatihan Multikultur Anak Desa Banjaroyo. Kegiatan ini sebagai media pendidikan dan pembelajaran perihal multikultur serta persentuhan positif antar komunitas anak dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda.

Bermain dan Belajar Keberagaman

Bermain dan Belajar keberagaman. (Foto : Esa/SATUNAMA)

Permainan “Berlindung dari harimau”, umpama, sesuatu yang kita sangat sayangi dan hargai, tentu akan kita jaga dengan segala daya. Melalui permainan ini anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 7-10 anak. masing-masing kelompok diberikan beberapa balon, yang diandaikan balon tersebut merupakan barang yang sangat “berharga” bagi kelompok itu.

Tugas masing-masing anak dalam kelompok yaitu untuk melindungi balon tersebut agar tidak meletus. game ini diasumsikan untuk menjelaskan bahwa kita sebagai individu harus bekerjasama satusama lain tanpa melihat latar belakang seseorang, demi cita kemanusiaan, perdamaian.

Warna merepresentasikan memori setiap orang terhadap setiap hal detil yang dialaminya dalam hidup, ia membentuk tata nilai, kepercayaan, perilaku, dan budaya. Persentuhan –dalam berbagai bentuk- antar individu haruslah peka dan memberikan ruang seluas-luasnya pada pengalaman hidup seseorang, karena pertentangan hanya akan menuai kesengsaraan.

Mengulas Film Anak Gunung

Mengulas Film Anak Gunung. (Foto: Esa/SATUNAMA)

Film yang disutradarai oleh Fanny Chotimah dan dibintangi oleh kader-kader anak sanggar Lare Joyo Mukti Desa Keningar, Muntilan, Magelang ini bercerita tentang kekhawatiran dan harapan akan kelestarian lingkungan di Keningar di tengah maraknya aktivitas pertambangan galian C.

Film ini bercerita tentang bagaimana hak-hak anak terus dipertaruhkan dengan adanya aktivitas pertambangan, fakta-fakta yang ditemui menunjukkan Hak-Hak Anak terus dipertaruhkan dan terbengkalai karena aktivitas pertambangan, bagaimana rusaknya jalur evakuasi bencana, jurang-jurang bekas pertambangan yang sangat berisiko terhadap keselamatan warga khususnya anak.

Fakta lainnya, Orang Tua, yang seharusnya memberikan waktu, energi, dan perhatiannya untuk menjaga anak-anaknya dalam tumbuh-kembang anak, karena sibuk menambang, kewajiban itu terbengkalai dan membuat anak semakin rentan terhadap berbagai risiko yang membuat tumbuh-kembangnya terganggu, bahkan terancam.

Di masyarakat ada pro dan kontra, kelompok yang tidak setuju dengan tambang terus merintis pertanian berkelanjutan dan pariwisata, sedangkan terhadap kelompok yang masih menambang, terus-menerus diupayakan ada ruang dialog, rembugan, edukasi agar tumbuh kesadaran tentang kelestarian lingkungan.

Sanggar Lare Joyo Mukti terus memupuk benih perdamaian melalui berbagai kegiatan pembelajarannya, sastra, seni tari jatilan, dan musik.

Panggung Seni

Tari Gajah Melin. (Foto: Esa/SATUNAMA)

Tari Gajah Melin, Siapakah dia sang seniman pembawa pesan perdamaian? Kawan-kawan dari SD Kanisius Promasan, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo  menampilkan Citra Anggun tidak melekat pada jenis kelamin tertentu, atau keturunan si raja pulan, pun tidak dari gemerlapnya harta-benda di sekeliling beranda, namun ia hadir dalam ketulusan dan penerimaan utuh atas wahyu, titah langit pada bumi untuk kedamaian.

Padu gerak, iring tari, pun busana elok terias. Menjadi komposisi indah penyampai pesan. gerak, musik, busana, koreografi, sampai pada lirik tajam mata si Gajah Melin menambah indah pesan perdamaian.

Tari Gajah Melin, gerak ritmis yang indah sebagai ekpresi jiwa sang duta perdamaian, layaknya tutur narasi agung tentang kedamaian. Kita dan sejarah memaknainya sebagai pesan solidaritas dan persaudaraan, sebagai komunitas global, mejadi bagian dari pembangunan perdamainan dunia.

Doa Bersama

Doa bersama untuk perdamaian. (Foto : Esa/SATUNAMA)

Adakah di antara kita yang sungguh paham makna menemu? Tiada yang final soal tafsir. Anak, dengan kebersihan jiwa beriring dengan malaikat membawa berita peringatan sekaligus kabar gembira tentang keberagaman.

Satu diantara sepuluh membuka hati dengan sepenuh-penuhnya penerimaan, bahwa kita berbeda. Satu diantara sepuluh membuka mata dan telinga untuk mengindera indahnya ragam warna. Satu diantara sepuluh beranjak dari lupa, bahwa kita bersaudara, perlahan satu menjadi dua, dan seterusnya, saling merengkuh dalam khidmad doa.

Anik Musyarofah dari komunitas Sanggar Bocah Menoreh, SBM. Putri dari Sekolah Dasar, SD Kanisius, mewakili jiwa-jiwa damai, membawa sekalian harap atas restu langit dan bumi untuk perjuangan anak-anak ini menyuarakan perdamaian dunia dari komunitas terkecilnya, bahwa “Kalau perbedaan masih menjadi masalah, kedamaian hanya jadi mimpi”.(Prabu Ayunda Sora, SATUNAMA / Foto : Esa Anggraeni, SATUNAMA)

Tinggalkan komentar