Merancang Sekolah Politisi Perempuan

Pendidikan bagi politisi perempuan dirasakan menjadi sesuatu yang penting dalam cakrawala politik yang masih belum sepenuhnya memberikan dimensi partisipasi yang setara sekaligus berkualitas bagi perempuan.

Dalam bangunan perspektif itulah SATUNAMA berinisiatif menggelar Focus Group Discussion Merancang Sekolah Politisi Perempuan pada Selasa, (28/2) di Ruang Kelas Besar, Kompleks SATUNAMA. Aktifitas ini dimaksudkan untuk mendapat masukan dari berbagai kalangan terkait untuk membangun desain sekolah politisi perempuan yang saat ini sedang digagas oleh SATUNAMA.

“Tidak semua politisi mampu menjalankan proses representasi dengan baik. Ada hambatan kultural maupun politik yang lebih banyak bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Kami mengagas sekolah ini untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dialami oleh perempuan dalam berkiprah di politik.” Ujar Afifudin Toha, Kepala Departemen Politik dan Demokrasi Yayasan SATUNAMA.

Beberapa hambatan politik yang meliputi adalah dilazimkannya model politik maskulin dalam arena politik dan pemerintahan, rendahnya dukungan partai politik terhadap perempuan, sulitnya akses pada pendidikan berkualitas dan watak dari sistem pemilihan yang bisa jadi tidak menguntungkan bagi perempuan. Hambatan sosial dan ekonomi yang meliputi feminisasi kemiskinan dan pengangguran, serta beban ganda (double burden) juga muncul.

Sementara di sisi ideologi dan psikologi, muncul hambatan seperti ideologi gender yang merugikan perempuan (bias gender), peran-peran sosial yang dilekatkan kepada perempuan dan membentuk pola relasinya terhadap laki-laki, rendahnya kepercayaan diri perempuan untuk berkontestasi dalam arena politik, dan penggambaran perempuan dalam media massa yang lebih tertarik untuk mengidentifikasi dan mengobjektivasi kapasitas fisik perempuan daripada kecakapan mentalnya.

Beberapa usulan terkait konten kurikulum untuk Sekolah Politisi Permpuan pun muncul. “Saya melihat perlunya visi politik bagi perempuan. Politik itu passion, ini terkait dengan visi politik perempuan, ini bisa jadi bagian dari kurikulum.” Ujar Novia Rukmi salah satu peserta FGD dari Partai Golkar. Soal integritas politisi juga menjadi sorotan. “Harus ada materi soal integitas karena ini penting.” Kata Bekti Suryani dari Harian Jogja.

Usulan untuk memandang politik secara lebih luas juga menjadi pembahasan. Hal ini dirasa penting agar politisi perempuan tidak memaknai politik hanya dari sisi elektoral saja. “Pengalaman hidup perempuan adalah pengalaman politik, sayangnya politik di Indonesia dibatasi hanya di politik elektoral, baunya jadi sangat dinasti, menjaga kekuasaan. Sebenarnya ini terkait soal menjaga moralis, politik bukan semata-mata elektoral, tapi perjuangan yang terus menerus.” Tutur Hidayatut Toyyibah dari IRe.

Ia juga menambahkan bahwa nantinya Sekolah Politisi Perempuan sebaiknya tidak hanya bicara soal sistem rekruitmen parpol tapi harus lebih luas dari itu. “Bagaimana agar perempuan yang masuk ke sana tidak kemudian terjebak ke dalam politik jangka pendek. Hanya digunakan untuk menjaga kekuasaan bukan untuk kesejahteraan.” Katanya.

Hal lain yang juga muncul dalam diskusi adalah keterkaitan antara kiprah politik dengan media. “Saya berharap ada materi yang bisa mengarahkan politisi sadar media. Politisi mesti tahu cara memahami media misalnya melalui pendekatan kultural atau pendekatan struktural. Pendekatan media ini harus ada dalam Sekolah Politisi Perempuan.” Saran Sulistyo dari Tribun Jogja.

Representasi perempuan dalam dunia politik sebagai wakil dari kelompok yang jumlahnya separuh dari penduduk Indonesia mutlak diperlukan. Kehadiran perempuan sebagai “juru bicara” dirasa penting untuk mengartikulasikan persoalan-persoalan yang selama ini menjadi perhatian perempuan, seperti pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan sebagainya. (AKP/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar