Oleh : Fajar Anugrah Tumanggor
Mahasiswa Departemen Ilmu Politik stambukĀ FISIP Universitas Sumatera Utara
Alumni Kelas Politik Cerdas Berintegritas 2016
Tahun 2016 sudah ditutup. Tingkat pertumbuhan ekonomi masih berada pada kisaran sebesar 4,9 persen. Capaian ini lebih rendah dari targetan pemerintah Indonesia pada angka 5,3 persen.
Terjadi pelambatan ekonomi di sektor rill maupun manufaktur serta pengetatan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika. Walhasil, terjadi koreksi di penghujung tahun untuk penetapan anggaran pembangunan perekonomian di tahun 2017.
Untuk tahun 2017, pemerintah Indonesia menargetkan pembangunan ekonomi sebesar 5,1 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, target pertumbunan ekonomi pada tahun 2017 harus realistis. Menurut dia, penetapan asumsi makro dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2017 harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Targetan pemerintah Indonesia ini sebenarnya lebih rendah ketimbang usulan awal sebesar 5,3 persen.
Sri menambahkan, revisi turun pertumbuhan ekonomi itu dibarengi dengan penyesuaian target penerimaan dan belanja negara. Dengan demikian, diharapkan defisit fiskal dapat dikendalikan pada level yang aman. Sri juga mengatakan bahwa ini ditujukan untuk menjaga momentum ekonomi, terutama pada saat kondisi perekonomian global, terutama perdagangan internasional masih sangat lemah. Sehingga memang didesain dalam jumlah tingkat belanja negara digunakan untuk mengurangi tekanan yang berasal dari luar dan pada saat yang sama memperbaiki fondasi perekonomian Indonesia.
Perlambatan Ekonomi Global
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang lambat salah satunya diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi global, terutama melemahnya mitra strategis Indonesia yakni Cina. Kekuatan ekonomi terbesar Asia yaitu Cina akan terus melambat, seiring menurunnya ekspor, berkurangnya pasokan tenaga kerja dan reformasi pasokan dan pengurangan terhadap kelebihan kapasitas industrinya.
Menurut ADB, output Cina tahun ini diperkirakan akan berada pada posisi 6,5 persen dan 6,3 persen, yang menurun dari 6,9 persen di 2015. Steven Tabor, Country Director ADB Indonesia menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan Cina dan belum meratanya pertumbuhan dunia jadi beban yang menekan pertumbuhan keseluruhan Cina. Cina menyumbangkan lebih separuh pertumbuhan di Asia, yang tahun ini dan tahun depan diperkirakan menembus angka 5,7 persen. Makanya, tekanan perlambatan pertumbuhan di Cina diperkirakan akan mencapai 0,3 poin persentase di seluruh Asia.
Sementara Amerika Serikat, tahun 2016 mengalami perlambatan pertumbuhan perekonomian yang hanya menembus angka 0,5 persen (year on year) atau terendah sejak triwulan I tahun 2014. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh penguatan pasar tenaga kerja, pelemahan pengeluaran konsumsi dan apresiasi mata uang USD.
Sementara Uni Eropa juga mengalami perlambatan perekonomian, tumbuh hanya sebesar 1,7 persen. Kondisi tersebut terjadi akibat melambatnya perekonomian AS, krisis imigran terkait jumlah pengungsi yang meningkat, serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Pertumbuhan ekonomi Amerika, sebagai poros perekonomian global yang lambat menghendaki mereka mencari cara licik dalam mendulang dana segar dari negara-negara mitra bisnis mereka. Dengan beragam skema, salah satunya menaikkan suku bunga The Fed dari level sebelumya yakni 0,25 persen menjadi 0,50 persen di tahun 2016 semakin membuat beberapa negara mengelus dada. Pasalnya, patokan suku bunga diatas tujuannya tidak lain ialah untuk mengamankan ketersediaan dana atas investasi rill di AS yang semakin terpuruk ditengah kemerosotan daya beli masyarakat yang berujung over produksi.
Situasi perekonomian global yang tidak menentu ini juga memicu meningkatnya angka pengangguran yang ada di dunia maupun di Indonesia. Seperti yang terjadi di beberapa perusahaan besar AS, diantaranya perusahaan farmasi Procter & Gamble pada 24 April 2015 lalu, merumahkan hingga 6.000 pekerja di seluruh dunia.
Sementara sejak 2012, perusahaan ini telah memangkas lebih dari 20.000 buruhnya. Kemudian pada tanggal 20 April 2015, United States Steel Corp melakukan PHK 1.404 buruh yang sebagian besar terkonsentrasi di Texas. Sejak bulan Juni, perusahaan ini telah mengumumkan rencana untuk merumahkan 7.800 buruh nya.
Kondisi krisis global yang terjadi di beberapa negara superpower itu semakin membuat Indonesia harus mencari jalan keluarnya untuk menangani PHK besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar yang kalah saing, kurang peminat dan over-produksi tersebut. Pasalnya, PHK yang akan terjadi jumlah nya tidak sedikit dan ini membahayakan bagi kehidupan buruh kita.
Untuk tahun 2015 saja menurut data Kemenaker, ada sekitar 50.000-an karyawan yang telah di PHK, yang didominasi dari sektor industri garmen, textil, sepatu, serta produksi kedelai. Untuk tahun 2016, terjadi PHK sebanyak 12.680 pekerja yang juga masih berasal dari sektor industri garmen, sepatu, maupun tekstil.
Selain masalah perlambatan ekonomi, sektor perdagangan kita pun harus mendapat perhatian. Dari negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia masih berada dibawah Singapura, Malayasia dan Thailand yang sudah mencatatkan namanya menjadi negara dengan produktivitas yang tinggi (World Economic Forum, 2009). Kita masih saja diperhadapkan dengan lemahnya produktivitas di bidang pengolahan sumber daya alam. Singkat kata, negara kita mayoritas masih penikmat bukan peramu.
Dorong Industri Potensial
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah utang luar negeri. Utang luar negeri pemerintah pusat membengkak sampai Rp. 3.438,29 triliun pada Agustus 2016. Realisasi naik sebanyak Rp. 78,47 triliun dibanding posisi bulan Juli 2016 yakni Rp. 3.359,82 triliun. Utang pemerintah pusat saat ini sebanyak 27,7 persen dari PDB Rp. 12.627 triliun sedikit lagi mencapai ambang batas utang sebesar 33 persen.
Utang yang membengkak ini tentunya akan membebani APBN kita di tahun 2017. Belum lagi utang bunga yang dibebankan pada setiap pembayarannya juga akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2017.
Pemerintah perlu berpihak kepada sektor-sektor yang saat ini sedang meredup akibat gejolak ekonomi global. Pemerintah harus memberikan fasilitas pada sektor industri yang potensial agar bisa berkembang dan harus didukung agar tidak terkena dampak negatif perlambatan ekonomi. Pun, sama halnya dengan paket-paket kebijakan harus terfokus untuk mendorong industri yang rentan tersenggol oleh pelemahan ekonomi global. Pemerintah bisa melakukan kebijakan fiskal dan nonfiskal terkait regulasi yang memihak industri yang sedang tertekan.
Di sektor industri seperti sektor minyak dan gas yang saat ini terus merosot, harus memperhatikan kesejahteraan karyawan seperti kompensasi Jamsostek atau BPJS ketenagakerjaan. Serta yang terakhir, utang Indonesia dapat ditekan dengan tidak membuang anggaran pada sektor-sektor yang tidak esensial seperti peningkatan upah PNS dan juga merampingkan kementerian yang tumpang tindih. Pada akhirnya, di tahun 2017 ini, perlahan tapi pasti kita bisa berpacu dalam perekonomian global. Semoga.[]