Menagih Janji Kebangsaan

Tugas negara sebagaimana diamanatkan dalam dasar negara salah satunya adalah membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Susunan bahasa dan ritme pada kalimat tersebut menyadarkan kita bahwa bangsa ini harus mendudukkan rakyat dan negara dalam keadilan sosial, bukan semata-mata keadilan hukum. Sebab disanalah terletak sesungguhnya keadilan yang substansial.

Semangat yang diusung didalam sila tersebut, oleh para pendiri republik saat merumuskannya, tentu berangkat dari kenyataan sejarah dan sekaligus merupakan cita-cita kebangsaan ke depan. Namun, penerapan dan pembuktian sila kelima ini, rasanya masih belum pas. Keadilan selalu dikonsepsikan dalam hukum, sehingga hanya pada aspek hukum sesorang dapat menuntut keadilan. Namun, keadilan sosial kita hingga saat ini nyata tidak pernah diletakkan sebagai substansi dalam pembangunan bangsa.

Indonesia telah memiliki konstitusi yang meletakkan dasar dan prinsip kehidupan bersama, serta pondasi untuk memperbaiki tata-kelola negara atas dasar peri kemanusiaan, keadilan dan penghargaan pada ke-bhinneka-an. Upaya-upaya di era reformasi telah menghantarkan Indonesia menapaki demokratisasi dan pemajuan HAM, sebagaimana juga diakui oleh komunitas internasional.

Bertolak dari itu, hari ini kita dihadapkan pada persoalan bangsa yang sesungguhnya memerlukan pemecahan yang lebih mendasar. Hak-hak sebagai warga negara khususnya, selalu menjadi pekerjaan rumah yang luput dari penyelesaian yang tuntas. Persoalan-persoalan ekslusivitas selalu mendominasi cara pandang negara dan bangsa ini dalam melihat persoalan. Akibatnya, kaum minoritas dan kelompok marginal tidak mendapatkan tempat yang selayaknya, baik dari sisi administrasi hukum negara, atau lebih jauh keadilan sosial bagi mereka. Pokok yang paling riil itulah yang hingga hari ini dialami oleh warga penghayat kepercayaan dan berkeyakinan, atau bisa kita sebut sebagai agama lokal.

Warga negara yang menghayati dan menjalankan laku agama lokal, sebelum agama-agama dakwah tiba di nusantara, tidak memperoleh kesetaraan sebagaimana penganut agama-agama besar di Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah organisasi dan penghayat di Indonesia adalah: organisasi pusat 244, organisasi cabang 954, penghayat 9.981.315. data ini bisa jadi semakin besar, karena terdapat beberapa nama porganisasi penghayat yang tidak terdaftar.

Sebagian besar persoalan mereka adalah membangun inklusifitas dengan negara dan masyarakat pada umumnya. Berbagai sematan tentang kafir, “nyleneh” menjadi “makanan” sehari-hari yang sekalugus menjadi persoalan inklusi baginya. Diluar konteks keagamaan, hal-hal administrasif kenegaraan juga terkendala, sebab form pendataan kewargaan hingga hari ini diharuskan mencantumkan agama besar dalam kartu kependudukan.

Pada titik ini negara harus hadir. Memberikan hak-hak warganya tanpa terkecuali, dan ruang ekspresi berkeyakinan dan beragama kepada semua. Maka tugas negara dan masyarakat warga pada umumnya adalah melakukan penyuaraan untuk kesetaraan hak bagi siapapun warga negara. Politik penyuaraan harus dibangun dari dasar dan falsafah keadilan sosial, dibangun dari konstitusi.. Akan tetapi, jika dengan pendekatan hak makin tak cukup ampuh menghadapi kekuasaan, pendekatan kewajiban dan tanggungjawab warga penghayat untuk masuk ke wilayah pengurusan publik yang multiskala, mulai dari yang paling kecil, tampaknya harus dipikirkan secara serius (Maria Hartiningsih, 2010).

Gerakan sosial semacam ini hanya bisa dilakukan jika warga penghayat menempuh jalan-jalan (pendidikan) gagasan, bukan sakadar duduk menunggu negara membuka pintu. Ruang baru harus dibuka dengan kemampuannya sendiri, sebab menunggu negara membukakan ruang, akan terlampau lama. Protes-protes haruslah dilancarkan secara sistematis. Penyuaraan yang sporadis, melalui peringatan seremonial, tidaklah efektif ditengah penguasa politik yang “tidak mendengar”, birokrasi yang “lumpuh”, dan aparat yang tak melihat. []

Tinggalkan komentar