Menyibak Fakta Hak Warga Negara Yang Belum Terpenuhi

Pagi belum benar-benar bersinar. Mentari belum benar-benar menampakkan dirinya di bumi Brebes. Namun bukan berarti pelaku hidup di tanah yang kondang dengan telur asin dan bawang merah ini hanya sibuk meringkuk di atas tempat tidur. Sepagi itu, aktifitas masyarakat sudah berdenyut di banyak tempat seperti persawahan dan pasar.

Di bilangan Desa Siandong, sekelompok orang berperangkatkan tripod, kamera video dan kamera foto nampak sibuk mengambil gambar para petani dan aktivitas pagi masyarakat lainnya. Mereka adalah tim film SATUNAMA yang tengah tenggelam dengan kesibukan produksi film. Mata sibuk mencari moment-moment yang unik atau bermakna, otak berpikir taktis, semiotis sekaligus realis, kaki melangkah menerabas segala kontur bumi, tangan menggenggam, mengarahkan dan memberi perintah kepada kamera untuk merekam apa yang diyakini sebagai sebuah fakta.

Membuat film bergenre dokumenter memang tidak bisa dengan berkhayal. Denyut nafas film dokumenter adalah realita. Fakta. Sesuatu yang benar-benar terjadi. Bukan karangan. Maka yang dilakukan oleh keempat orang asal Yogyakarta pada pagi yang bersahabat di Brebes itu memang tidak bisa dilepaskan dari fakta. Dan itu hanya sekeping dari setumpuk kegiatan mereka dalam berkutat memproduksi sebuah karya dokumenter tentang masyarakat Sapta Darma di Kabupaten Brebes.

Nama Sapta Darma mungkin sudah tidak asing lagi, khususnya bagi mereka yang bermukim di seputaran Brebes. Sapta Darma adalah nama sebuah aliran kepercayaan dan keyakinan yang penganutnya tersebar di Brebes dan juga beberapa wilayah lain di Jawa, bahkan di luar Jawa.

Sikep Youth
Pengambilan gambar di Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kudus, bersama warga Sedulur Sikep.  [Foto: Ariwan K. Perdana / SATUNAMA]

Ada 7 komunitas penghayat dan 1 kelompok masyarakat adat di 6 provinsi di Indonesia yang diambil gambarnya dalam film ini

Sapta Darma bukan satu-satunya komunitas penghayat kepercayaan yang disambangi tim film SATUNAMA. Ada 6 komunitas penghayat lainnya dan 1 masyarakat adat di 6 provinsi di Indonesia yang juga masuk dalam produksi film yang akan dirilis pada Februari 2016. Mereka adalah Sedulur Sikep di Kudus (Jawa Tengah), Marapu di Sumba (NTT), Masyarakat Bayan di Lombok Utara (NTB), Parmalim dan Ugamo Bangso Batak di Medan (Sumatra Utara), Paguyuban Eklasing Budi Murko di Kulonprogo (Yogyakarta) dan Towani di Sidrap (Sulawesi Selatan).

Terbatas dalam akses 

Interview Parmalim
Interview dengan salah satu penganut kepercayaan Parmalim di Medan, Sumatra Utara. [Foto: Ariwan K. Perdana/SATUNAMA]
Sebagai warga negara, komunitas masyarakat penghayat dan masyarakat adat terkadang sulit mendapatkan haknya. Dengan stigma-stigma yang ditujukan kepada mereka, kesulitan mengakses layanan sebagai warga negara dan berbagai kebijakan pemerintah yang belum benar-benar mengakomodir kepentingan mereka, komunitas ini bagai hidup dalam ketidakutuhan. Secara lahiriah mereka ada namun batiniahnya tidak diakui keberadaannya.

Secara umum, administrasi kependudukan menjadi permasalahan yang dialami oleh hampir semua komunitas penghayat. Mereka tidak memiliki pilihan lain selain mengosongkan (strip) atau menuliskan “kepercayaan” di dalam kolom agama KTP mereka. Hal ini kemudian berdampak pada kesulitan yang dialami saat hendak mengakses hak dan layanan yang disediakan bagi warga negara, misalnya dalam bidang pendidikan atau pekerjaan.

“Tak kan berarti kami menyekolahkan anak-anak kami, sampai berhutang kita ke banyak orang, tapi tidak bisa juga untuk melamar pekerjaan.” Ungkap Arnol Purba, salah satu penghayat Ugamo Bangso Batak di Medan, Sumatra Utara, menanggapi kesulitan anaknya dalam melamar pekerjaan akibat identitas kepercayaan yang dipeluknya. Arnol juga menyebutkan bahwa ke depan kelompok kepercayaan sebaiknya juga diakomodir oleh pemerintah dalam urusan mencari pekerjaan. “Sampai ke perusahaan-perusahaan swasta harusnya juga melampirkan kolom penghayat kepercayaan.” tambahnya.

20151118_111846
Di Desa Karangbajo, Lombok Utara, kru film harus mengenakan pakaian adat masyarakat Bayan ketika memasuki salah satu bagian desa. [Foto: Ariwan K. Perdana/SATUNAMA]
Dengan berbekal insting penelusuran fakta yang memang melekat dalam diri setiap pembuat film dokumenter, tim kemudian bergerak menggali satu per satu cerita yang selama ini terpendam dan merekamnya dalam gambar. Bagaimana para warga masyarakat Bayan menyikapi stigma yang selama ini ditujukan kepada mereka, Sulitnya mendapatkan pekerjaan seperti yang dialami oleh penganut Ugamo Bangso Batak di Sumatra Utara, Terkikisnya pemahaman dan penghayatan Marapu dalam diri generasi muda di Sumba karena sejak kecil mereka harus berpindah ke agama resmi yang diakui pemerintah jika ingin meneruskan bersekolah, anak-anak warga Sedulur Sikep di Kudus yang seperti terlahir tanpa sosok ayah karena pernikahan orang tuanya dianggap tidak sah dan masih banyak lagi cerita-cerita lain.

“Menggali apa yang selama ini tidak nampak di mata masyarakat luas tentang kelompok penghayat kepercayaan, terutama tentang bagaimana mereka selama ini hidup di tengah keterbatasan dalam mengakses haknya sebagai warga negara. Film ini ingin menunjukkan hal itu.” Ujar Izzul Albab, Line Producer tim film SATUNAMA.

Namun meski komunitas penghayat dan masyarakat adat ini hidup dengan akses hak yang tidak sama dengan sesama warga negara yang lain, mereka bukannya tidak memberikan sumbangsih dalam kepada masyarakat luas. Warga Bayan dikenal dengan kegigihannya dalam mengelola hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat di Lombok Utara, sehingga hutan di sana selalu terjaga kelestarian dan ekosistemnya. Komunitas Persatuan Eklasing Budi Murko (PEBM) di Kulonprogo, Yogyakarta kerap didatangi oleh masyarakat sekitar yang mengalami permasalahan kesehatan, karena PEBM memiliki keahlian dalam meramu obat-obatan alami.

Lebih dari sekadar seluruh aktifitas pengambilan gambar yang harus dilakukan, terasa bahwa pemahaman, penyadaran dan pembelajaran yang tidak sedikit akhirnya juga mengiringi perjalanan produksi film yang berlangsung selama dua bulan, yaitu November dan Desember 2015. Merajut kehidupan bersama yang damai dan jauh dari konflik serta terpenuhinya hak-hak warga negara adalah sebuah impian yang sudah dan sedang dirajut oleh para penghayat kepercayaan dan masyarakat adat di Indonesia.[]

Penulis : Ariwan K Perdana
Editor : Ryan Sugiarto
Head Photo : “Mata Kamera Senja di Wunga” – Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar