Foto-foto yang digelar dalam pameran ini terbagi dalam tiga kategori, yaitu anak-anak Asmat, perempuan Asmat dan sosial budaya Asmat. Seluruh foto merupakan hasil karya lima pegiat sosial yaitu Maria Sucianingsih, Asep Nanda Paramayana, Peter P. Sarkol, Vallens Aji Sayekti, dan Ronaldus Mbrak. Kelimanya telah bergerak menelusuri wilayah Asmat dan merekam dinamika hidup masyarakat Asmat melalui media foto.
Selain untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang Asmat secara umum, acara ini juga menjadi semacam corong untuk menyuarakan suara perempuan Asmat. Hal ini terkait dengan kebutuhan dasar & hak dasar perempuan Papua yang masih belum benar-benar terpenuhi. “Di Papua, perempuan juga cenderung belum boleh bersuara untuk menyerukan dirinya sendiri.” ujar Asep.
Pameran yang berlangsung selama enam hari ini mendapat respon baik dari pengunjung. “Saya melihat bahwa Asmat memiliki ciri khas kelokalan yang luar biasa. Ini yang harus dipertahankan dari masyarakat Asmat. Karena bagaimanapun, mereka harus tetap menjadi diri mereka sendiri di tengah pusaran arus globalisasi saat ini.” tutur Yuliana, salah satu pengunjung pameran.
Pameran foto “Mengeja Asmat” dibuka dengan pertunjukan nyanyian khas Asmat dan dilanjutkan dengan demonstrasi proses pemahatan atau pengukiran patung yang dilakukan oleh kawan-kawan Asmat yang hadir bersama SATUNAMA di Yogyakarta.
Selain foto, pameran juga menampilkan sejumlah kerajinan khas Asmat seperti patung khas Asmat dan noken. Acara juga dimeriahkan dengan penampilan beberapa kelompok seni anak-anak yang berasal dari beberapa desa dampingan SATUNAMA di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Penulis: Ariwan K. Perdana
Editor: Ryan Sugiarto