Menjadi Indonesia yang Berkeadilan: Sebuah Imaji Indonesia

Tujuh belas tahun reformasi berjalan belum memberikan ruang yang baik untuk tumbuhnya imaji Indonesia. Ragam dan sektor kehidupan berbangsa tidak jauh beranjak dari persoalan-persoalan fundamental kebangsaan. Dalam rentang tahun yang terbilang lama itu, Indonesia belum tumbuh menjadi bangsa yang menaruh kepentingan warga di atas kepentingan negara dan bisnis. Posisi ini memunculkan banyak ketimpangan di mana-mana, korupsi makin marak, hukum tumpul, dan relasi kemasyarakatan terganggu, yang imbasnya adalah tidak terwujudnya keadilan sosial. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kebangsaan dan keIndonesiaan kita ke depan, satunama.org, melakukan wawancara dengan FX. Bima Adimoelya, Direktur SATUNAMA. Berikut petikan wawancara, Ryan Sugiarto, pegiat media di SATUNAMA, dengan F.X.Bima Adimoelyo, disela-sela waktu kerjanya.

Bagaimana Mas Bimo melihat Indonesia hari ini?

Bimo_1
F.X. Bima Adimoelyo [Foto: istimewa]
Mandeg. Indonesia hari ini memang sedang berhenti. Nampak  Sibuk tetapi tidak bergerak cepat, tidak ke mana-mana.  Kita disibukkan dengan mengurus masa lalu, hal-hal yang kemarin dianggap selesai tapi tidak terselesaikan. Banyak tuntutan-tuntutan yang tidak dikelola dengan baik. Indonesia hari ini disibukkan dengan agenda-agenda sampingan dan kepentingan jangka pendek. Semuanya bermuara pada jual-beli. Dan semua terjebak di dalamnya. Termasuk kita organisasi masyarakat sipil. Kita tidak memiliki dan tidak mau mengembangkan pikiran-pikiran jangka panjang untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Yang terpikirkan hanya bagaimana menjadi kaya dengan cepat, menjadi kelas menengah baru, menjadi sukses.  Apa pun dilakukan meskipun dengan mengorbankan martabat dan kepentingan orang banyak. Dan cara berpikir semacam itu, yang pelan-pelan membuat kita sebagai bangsa jadi tenggelam.

Jika hari ini pambacaan Mas Bimo tentang Indonesia semacam itu, lalu apa saja perubahan yang bisa diamati dan dirasakan selama 17 tahun reformasi? Apa yang tersisa dari cita-cita reformasi?

Prosedur-prosedur perbaikan untuk hidup bersama sudah ada, tetapi tidak banyak dilaksanakan. Bahkan beberapa hal dari sektor berbangsa kita mundur, tereduksi. Misalnya hari ini kita melihat gerakan-gerakan tereduksi pada kepentingan jangka pendek. Kepentingan cari makan. Kita bisa melihat apa saja dari tuntutan reformasi 98 yang hari ini sudah kita capai. Tidak banyak perubahan mendasar yang kita bisa hasilkan dari proses-proses kebangsaan selama 17 tahun reformasi ini. Yang berbeda hanyalah, bahwa hari ini korupsi bisa kelihatan terang-terangan. Tapi bukan perubahan semacam itu yang ingin disasar dari gerakan reformasi.

Mengenai perubahan dan gerakan reformasi, pada setiap Mei kita dihadapkan pada sebuah ingatan yang traumatis mengenai berbagai kerusuhan. Setiap era perubahan kebangsaan kerusuhan dan peristiwa yang tidak menyenangkan menjadi semacam penanda perubahan bagi bangsa ini. Peristiwa Malari, Tregedi Mei 98, reformasi, bisa menjadi contoh. Bagaimana semestinya perubahan fundamental dilakukan?

Harusnya kekerasan tidak terjadi dalam setiap era perubahan kebangsaan kita. Tetapi yang perlu kita pahami bersama, bahwa sampai hari ini, peringatan hanya soal mengenang masa lalu. Kita tidak pernah merayakan masa depan, bahkan jarang memimpikan masa depan Indonesia.  Di dalam semua format peringatan-peringatan hari besar atau peristiwa kebangsaan, selalu diingat masa lalu tapi jarang di lakukan dalam kerangkan memikirkan secara serius masa depan Indonesia kelak. Padahal, menurut saya, gagasan besar ke depan itu yang harus dikemukakan. Pengadilan HAM bukannya tidak penting, tapi kalau hanya berkutat di situ terus dan hanya berpikir untuk menuntut balas, maka banyak waktu kita terbuang dan kita mengalami kesusahan beralih fokus pada masa depan. Jika kita mau belajar dari semua  itu, saya kira kita akan menjadi lebih baik. Dengan resiko pengadilan HAM harus dihadapi dan hal ini dilakukan untuk memikirkan masa depan yang lebih baik. Saya sendiri cenderung mengarahkan gagasan, pikiran, dan kerja-kerja untuk membincangkan dan menuju ke arah masa depan, meskipun nanti kita akan bersinggungan dengan masa lalu, dan harus diakui masa lalu berperan besar dalam pembentukan masa depan bangsa. Tetapi masa depan tetap harus menjadi fokus utama.

Hari ini, dalam ruang sosial kita banyak diisi oleh wacana yang tidak menumbuhkan hasyrat berbangsa. Apa yang celaka dari absennya kebiasaan saling membaca dan membahas perihal kebangsaan dan masa depan Indonesia? 

Oleh karena kita tidak memikirkan masa depan, kemampuan imaji kebangsaan kita tumpul. Bahkan tidak ada. Yang ada hanya kemampuan untuk pencapaian ekonomi jangka pendek. Dan itu sangat absurd. Capaian yang ada adalah ingin berhasil, kaya, sukses, tapi tidak ada gambar untuk keberhasilan bersama milik generasi, milik bangsa ini. Ini yang absen selama kita bernegara. Refleksi-refkeksi semacam ini yang sekarang jarang kita lakukan sebagai bangsa. Kalau pun ada hanya menjadi seremonial. Tidak lebih. Sehingga kita tidak mampu berpikir besar.

Bagaimana dengan gagasan kebangsaan dan keIndonesiaan yang diperkenalkan oleh pada para pendiri bangsa?

Nah itulah yang hilang. Kemampuan menjadi mandul, menjadi kepentingan yang hanya sebatas perut. Tapi gambar ideologisnya hilang. Jokowi itu masih replikasi dari gagasan masa lalu, belum menambah sesuatu yang baru. Kita harus membayangkan seperti apa? Membayangkan Indonesia kedepan akan bagaimana? menjadi apa? Itu yang jauh lebih penting, sehingga hidup berkebangsaan kita ini punya makna. Hidup bukan sekadar untuk mengisi perut, tetapi bermakna bagi pertumbuhan masyarakat yang lain, bagi pertumbuhan kebangsaan. Nah sudah semestinya kita meletakkan dan mengingat reformasi menjadi gugatan terhadap kemalasan berpikir dan mengimajikan Indonesia.

Hari ini pula kita dihadapkan pada kondisi negara yang karut-marut. Korupsi terus terjadi, penegakkan hukum absen dalam hal-hal yang berkaitan dengan warga bangsa, sampai terkuaknya fenomena artis PSK yang para pejabat menjadi bagian didalamnya? Apa yang tidak tumbuh dalam kultur demokrasi kita sekarang ini?

Budaya yang menghargai. Bahwa kita punya masa depan, kita mempunyai Indonesia. Indonesia itu punya kita. Masa depan tidak bisa diperdagangkan, tidak bisa diperjual-belikan. Yang terjadi hari ini masa depan Indonesia sedang digadaikan. Siapa yang punya modal dia yang akan memimpin. Dan kita sebagai warga bangsa memasrahkan masa depan ke orang-orang semacam itu. Gambar besar para pendiri bangsa tereduksi oleh hal-hal semacam ini. Tengoklah Bali yang direklamasi, itukah masa depan Indonesia? Tidak.

Apa  yang musti dilakukan untuk mengangkat penyakit-penyakit kronis di Indonesia, sehingga kita memiliki masa depan yang tergambar dengan jelas?

Dari sisi kita, SATUNAMA, sekuat mungkin dan sebanyak mungkin membangun aliansi kesadaran kritis. Menghargai dalam konteks Indonesia. Indonesia sebenarnya punya kekuatan lebih yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan, dan kerap menganggap yang datang dari luar selalu baik. Kalau Indonesia sudah hebat sekarang ini, harusnya tidak ada program inklusi, demokrasi, dan lainnya. Tapi hari ini,  kita masih melakukan itu, karena secara kebangsaan dan kenegaraan kita masih belum tumbuh menjadi masyarakat yang saling menghargai. Sebagai bangsa, Indonesia tidak percaya pada diri sendiri. Tapi jika kesadaran itu tumbah dari rakyat, maka Indonesia sebagai bangsa akan tumbuh. Sayangnya kesadaran tentang  hal itu hari ini absen, baik dari sisi rakyat, negara, maupun bisnis. Kita kebingungan di tengah-tengah perebutan negara. Dalam kondisi seperti ini SATUNAMA berusaha sekuat mungkin memperbesar ruang dan kemampuan dialog antar petarung bisnis, negara, dan masyarakat sipil.

Umur reformasi Indonesia sama dengan umur Yayasan SATUNAMA. Dalam rentang umur yang sama ini, apa yang sudah dan sedang dibangun oleh SATUNAMA untuk kemajuan dan perbaikan Indonesia?

Kita cukup lama menebar dan menaman bangunan kesadaran kritis, alumni training SATUNAMA yang tersebar di seluruh Indonesia. Hanya cukup banyak pula yang tidak terkelola dengan baik. Hanya berhenti di kesadaran kritis, tapi bangunan agenda masa depan tidak terkelola dengan baik.

Sebenarnya ini kekuatan besar bagi SATUNAMA, untuk tidak hanya menambah daftar alumni semata. Alumni yang banyak itu belum menjadi ruang bagi tumbuhnya pikiran baru tentang masa depan Indonesia. Persoalan ini yang menggelisahkan saya. SATUNAMA belum secara sengaja mendorong untuk sumbangan yang lebih besar. Klaim aktivitas ada dan tidak bisa dipungkiri, dan ini harus diwujudkan sebagaimana visi SATUNAMA.

Pada tahun-tahun terakhir, SATUNAMA, memunculkan kembali gagasan tentang “Imaji Indonesia”? Gagasan seperti apa yang Mas Bimo ingin sampaikan? Indonesia seperti apa yang sedang diimajikan SATUNAMA?

Menjadi Indonesia yang berkeadilan.  Adil yang seperti apa? Relasi masyarakat yang sehat , dialog yang setara tanpa dominasi satu dengan yang lain. Dan tiga sektor yang kita bayangkan, tumbuh dengan baik, yaitu Warga, Negara, dan Bisnis. Negara tidak abai pada rakyatnya, negara bisa mengatur pasar untuk kepentingan rakyat, rakyat bisa melahirkan negarawan yang baik, dan rakyat bisa melahirkan pelaku bisnis yang waras. Tapi hari ini relasi ketiganya tidak sehat. Yang lahir adalah pemimpin yang marah, pemimpin yang balas dendam, pemimpin yang berpikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini terjadi karena negara tidak mau beresiko, bisnis ingin untung, rakyat yang celaka Namun Jika relasi ketiganya sehat, akan menjadi rahim bagi masa depan  Indonesia yang lebih baik.

Dalam kerangka imaji itu? Apa yang harus dilakukan oleh SATUNAMA? Dan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai sebuah bangsa?

SATUNAMA harus menjadi bagian dari rakyat seutuhnya dan mempunyai posisi tawar yang baik untuk negara dan bisnis. Ini kewajiban untuk memperkuat posisi rakyat. Apapun bisa dilakukan. Memperbesar pengaruh terhadap negara, dan bisnis. Ini yang juga bisa dilakukan. Kita bisa membagikan pengalaman rakyat ke pihak dengan membantu mereka, memberikan informasi, kriteria ketika mereka harus bekerja berhadapan dengan rakyat. Kepada negara juga sama sehingga dialognya terjadi. Kita harus bersama-sama rakyat untuk belajar bersuara dengan baik dan mendorong negara agar mengerti suara rakyat. Agar setiap tuntutan tidak disebut komplain terus. Tetapi ditujukan untuk perbaikan hidup bersama.  Dari situlah kerja advokasi dimulai.

Bagaimana mendidik bisnis agar terwujud imaji Indonesia yang berkeadilan? Sebab yang banyak terjadi adalah bisnis selalu mengangkangi seluruh hajat hidup orang banyak.

Dugaan saya, hal ini terjadi karena  kita tidak kenal persis dengan watak bisnis. Kita harus paham persis watak bisnis. Jika tidak, kita bisa ditelan. Kita harus mencari ruang untuk bergaul dalam memberikan dasar-dasar bagi cara berpikir bisnis yang “manusiawi”. Kita semua juga tidak terlepas dari urusan mencari makan. Tujuannya sama, ingin hidup lebih panjang. Rakyat juga. Ketemunya dimana? Ya di ruang dialog. Selama ini untuk pikiran jangka panjang pelaku bisnis mengambil langkah pendek, dan warga malah tidak berpikir tentang itu. Harusnya ada ruang dialog. Ada mekanisme timbal balik.

Saya ingin mempertajam kembali tentang Imaji Indonesia yang berkeadilan, bagaimana SATUNAMA menjabarkan ini?

Seperti visi misi yang kita punya. Kalau di turunkan pada pengalaman konkrit kita mengumpulkan banyak program. Kita ingin Indonesia, seperti yang dibangun oleh pada pendiri bangsa meskipun hingga hari ini belum kesampaian. Tapi poin berkeadilan itu masih sama.

Dalam gambaran saya sendiri, tiga hal diatas yaitu bisnis, rakyat, dan negara bisa hidup berdampingan. Negara melakukan fungsi yang dijanjikan dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat tumbuh, hidup baik, dan layanan publik bisa  jalan, tidak saling memakan. Bisnis bisa hidup dan menghidupi orang banyak. Dan masyarakat yang cerdas dan sehat bisa muncul karena generasi bisnis yang baik akan lahir dari masyarakat yang waras. Dan masyarakat yang waras akan memberi ruang yang lebih baik jika ketiganya saling hidup berdampingan. Jika saling memakan, tidak akan menumbuhkan apapun.

Sudah selesaikah konsep imaji Indonesia yang digagas SATUNAMA? Lalu bagaimana menularkan virus ini?

Dari sisi internal SATUNAMA, kita yang harus sadar posisi itu. Kita yang harus mengubah struktur biologis kita, sehingga di sana kita berjalan untuk kepentingan jangka panjang. SATUNAMA sedang tidak bekerja untuk kepentingan jangka pendek, tetapi ditata untuk tujuan jangka panjang. Kedua, kita perlu sadar bahwa kerja-kerja seperti ini harus dilakukan dengan berjejaring yang serius. Artinya tidak hanya ikut jejaring ke sana-sini semata, tetapi kita datang dengan agenda yang kita punya dan menawarkan itu kepada teman-teman untuk menjadi sebuah agenda bersama. Jika perlu kita menjadi trend setter. Jika datang hanya untuk kekancan (pertemanan) itu tidak masalah, tetapi kita ingin lebih dari itu. Semua gelombang itu arahnya untuk menuju imaji Indonesia, agar kita tidak kelelahan, habis tenaga pada urusan yang pendek itu.

Ketiga memperluas pengaruh. Hal ini hanya bisa diperoleh jika poin pertama dan kedua tadi dikelola dengan baik, strategi dipastikan jitu. Pelan-pelan pasti ke sana. Jujur, kita agak lama untuk urusan biologis, tahun-tahun yang berat bagi semua OMS untuk pertaruhan mencari hidup.

Mas Bimo yakin akan terwujud imaji menjadi Indonesia yang berkeadilan?

Keyakinan harus dipegang teguh. Pertama, menghargai, apresiatif. Kita tidak bisa adil jika tidak menghargai yang lain. Kedua, kesetaraan. Bukan dalam arti dumdill (bagi rata). Tidak seperti itu. Tetapi posisi tawar yang sama, kesadaran bahwa kita punya kesetimbangan yang sama. Tidak mendominasi. Tentu ini harus dibangun dengan dialog.  Adil bisa sampai pada bahagia. Adil adalah ketika orang merasakan suasana yang bahagia, tidak terintimidasi. Dengan cara menanam benih keadilan, Indonesia yang berkeadilan akan terwujud.[]

Tinggalkan komentar