Ketika Frekuensi Kanal TV Publik Diperebutkan

Satunama.org – Televisi, bukan sembarang kotak. Televisi adalah benda ajaib, selain bisa memberikan tontonan audiovisual, televisi juga mampu mempengaruhi pola pikir hingga konsumsi setiap orang. Bayangkan, dalam satu hari berapa iklan televisi yang ditonton olehpemirsanya, berapa sinetron yang mempengaruhi gaya hidup dan berapa tontonan yang juga memberikan contoh kekerasan. Kesemuanya itu melengkapi kehadiran televisi sebagai barang paling ampuh dalam sejarah manusia di abad-21.

Saat kita menyalakan televisi, kita akan disuguhkan dengan berbagaikanal. Di Indonesia sendiri, ada beberapa stasiun televisi yang bisa dipilih oleh pemirsanya. Belum termasuk keberadaan televisi berlangganan. Puluhan bahkan ratusan kanal bisa dipilih dan ditonton setiap saat. Meskipun demikian, permirsa televisi di Indonesia juga disuguhi dengan tayangan televisi kanal lokal. Televisi kanal lokal ini diharapkan memberi peluang berkembangnya tayangan dengan muatan pendidikan dan kebudayaan lokal. Selain juga diharapkan mampu mengalihkan pusat bisnis televisi yang selama ini terpusat di Jakarta, yang dikuasai oleh sepuluh televisi nasional. Namun apakah demikian?

Faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Hal inilah yang coba dikritisi dalam ‘Bincang Kanal Publik’ pada Kamis, 5 Februari 2015 pukul 13.00 s.d 15.00 WIB, di Ruang Kelas Besar Gedung Hitschma Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Diskusi ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, seperti KPID Daerah Istimewa Yogyakarta, Lembaga Ombudsmen Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa komunitas media seperti Masyarakat Peduli Media,… dan yang lainnya tulung disebutkan.

Berita bahwa Jogja kembali membuka 3 televisi kanal baru menjadi isu hangat beberapa minggu belakangan. Padahal beberapa tahun lalu santer terdengar bahwa kanal TV di Jogja sudah ditutup. Fakta bahwa dulunya Kemeninfo membuat peraturan untuk mulai lepas landas dari analog menuju TV digital, ternyata diingkari sendiri dengan kembalinya dibukanya kanal TV baru di Jogja. Hal ini terlihat di website Kemeninfo yang membuka kembali slot analog tambahan. Peraturan dibukanya slot analog ini terjadi pada masa Tifatul Sembiring dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 31. “Dibukanya slot analog ini tidak lepas dari kekuatan kapital yang melakukan lobi untuk membuka kembali 3 slot analog atau kanal TV di jogja,” ungkap putri dari KPID Jogja.

Menurut Putri ada 13 pemohon untuk dapat mengisi slot 3 kanal TV di Jogja. Kebanyakan dari pemohon tersebut berasal perusahaan yang berafilisasi dengan televisi nasional. Ketakutan sebenarnya dari dibukanya kanal TV ini lebih pada kenyataan, bahwa kanal televisi lokal di jogja, yang sudah ada selama ini tidak pernah memberikan keuntungan yang banyak. Bahkan cenderung “kembang kempis” dalam muatanmuatan lokal, operasional dan finansial. Sementara seluruh pemohon tersebut mengungkapkan akan memprioritaskan 10% tayangan TV mereka akan memuat muatan lokal. Bagaimana membuka slot lagi, jika yang sudah ada saja dikatakan tidak berhasil. Jangan-jangan slot yang ada pun nantinya akan dijual kepada pemilik modal.

Pendapat ini pun di perkuat oleh Ngurah sebagai mantan komisioner KPID Yogya. Menurutnya, awal mula pembukaan slot kanal televisi ini sudah dimulai dengan korupsi. Bagaimana mungkin yang awalnya sudah tertutup, kini terbuka lagi. Padahal menurutnya, selama ini tidak ada hitungan yang layak komersial terhadap 2 televisi lokal yang sudah ada di Jogja. Jika mau membuka lagi, pastikan saja yang sudah ada itu menghasilkan keuntungan atau tidak. Selama ini pasar jogja secara komersial sangatlah sulit, kita semua perlu mengejar bagaimana para pemohon ini bisa mendapatkan keuntungan.

Beberapa komentar pun juga keluar dari para peserta diskusi. Misal dari sisi ekonomi, sejauh TV Jakarta tidak dipaksa untuk tayangan lokal maka secara ekonomi TV lokal tidak akan tumbuh dengan baik. Selain itu jika televisi lokal bermain dengan Pemda, maka secara ekonomi dan politik mereka akan tidak independen karena tergantung dengan dana APBD dalam operasional. Selain itu televisi lokal bisa menjadi alat kendaraan politik penguasa lokal.
Perwakilan dari Ombusman pun mengatakan bahwa mereka juga mendapatkan pelaporan masyarakat tentang muatan televisi lokal di Jogja, yang menimbulkan kerugian masyarakat, artinya saringan muatan media sebenarnya amat lemah. Oleh karena itu, sangat penting untuk berstrategi bersama, untuk gelombang massa, dan untuk memboikot muatan-muatan yang menimbulkan kerugian masyarakat.

Usul yang kemudian muncul dari diskusi ini adalah perlu adanya upaya bersama untuk menggalakan isu ini kepada khalayak luas. Perlu dipastikan publik menyadari bahwa dirinya punya hak atas tayangantayangan televisi yang mereka nikmati setiap saat. Selain itu muncul pula usulan bagaimana jika setiap awal tayangan program televisi, dimunculkan nomor layanan komplain. Jadi apabila ada yang tak nyaman dengan tayangan televisi bisa langsung melaporkan, dengan demikianmasyarakat bisa menyuarakan ketidaknyamanannya secara lebih leluasa atas muatan-muatan televisi.

Ditulis oleh: Any Sundari
Editor: Stella Maris Rani Paramita

Tinggalkan komentar