Urban Farming, Olah Pangan dan Limbah Jadi Berkah

Satunama.org – Pandemi Covid-19 memberikan pandangan baru akan pentingnya pengelolaan pangan dan lingkungan secara lestari. Inisiasi-inisasi positif di berbagai daerah sangat menarik untuk dijadikan narasi optimisme pegiat muda dalam konteks menjaga bumi pertanian urban. Menyongsong semangat ini, Yayasan SATUNAMA bekerjasama dengan Yayasan Rumah Energi menyelenggarakan Webinar Urban Farming: Olah Pangan dan Limbah Jadi Berkah pada 3 Juni 2020. Sebanyak 89 peserta turut berpartisipasi secara langsung melalui Google Meet dan 26 peserta melalui channel Youtube SATUNAMA (dari 301 pendaftar; 2 diantaranya dari Timur Leste dan dari Togo Afrika Barat) dalam diskusi padat dua setengah jam yang dipandu oleh moderator handal Arsih Suharsih, Koordinator Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Yayasan SATUNAMA.

Urban Farming dan Pangan Rumah Tangga

Praktik urban farming sudah sejak lama eksis di dunia, diawali dengan konsep volkstuinen atau allotment pada 1838 di Belanda. Konsep kebun sewa ini masih eksis hingga sekarang dan berhasil diduplikasi di berbagai negara lain, bahkan di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Volkstuinen (allotments = penjatahan) mengusung konsep sewa lahan, di mana pemerintah atau swasta menyewa lahan untuk area cocok tanam para hobiis. Per 2020, tercatat ada 240,000 praktisi volkstuinen dari berbagai pelosok dunia.

Selain volkstuinen, F. Rahardi (praktisi pertanian) juga menceritakan dua model pertanian urban lainnya: market garden dan metro farm. Market garden mengusung model serupa dengan volkstuinen, namun dengan orientasi bisnis. Petani kota menyewa sebidang lahan untuk ditanami berbagai tanaman untuk kemudian dijual pada konsumen di lokasi tanam. Model ini mempersingkat rantai nilai sehingga produk tani tetap terjangkau harganya dan terjaga kesegarannya.

Konsep pertanian kota lainnya adalah metro farm, sebuah konsep penanaman hortikultura yang bermula di sepanjang jalur kereta Nishi-Funabashi di Jepang. Konsep ini pun segera ditiru di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, dan Korea Selatan. Produk pertanian kota ini lantas dipasarkan di pasar tradisional maupun swalayan.

Sayangnya, ketiga konsep tersebut belum dapat ditemukan di Indonesia, meskipun kita mengaku sebagai negara agraris. Adapun konsep yang paling mirip terdapat di Tangerang, di mana lahan-lahan kosong disewa petani, namun kemudian komoditasnya dijual di pasar konvensional, bukan di lokasi tanam. Keterlibatan pemerintah memang belum terlihat di industri tani perkotaan di Indonesia. Sebagai catatan inspiratif, urban farming akan lebih baik jika dilakukan secara kelompok. Kenapa kita tidak segera tergelitik? Bukankah kekuatan masyarakat Indonesia memang sudah sangat membumi dengan budaya kelompok dan swadaya?

Presentasi dilanjutkan oleh Rosalia Mahanani, pegiat pangan lokal di Yogyakarta. Pandemi Covid-19 di Indonesia telah menyebabkan ketahanan pangan nasional dalam bahaya, terutama di kota-kota besar mengingat minimnya lahan produktif serta terbatasnya aksesibilitas komoditas oleh karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Salah satu coping strategy dalam mengatasi masalah ini adalah dengan memperbanyak variasi konsumsi dan memacu kreativitas dalam olah pangan terutama yang berasal dari bahan lokal dan hasil tanam sendiri.  

Penghuni wilayah urban dapat mulai menanam tanaman pangan di halaman rumahnya. Setidaknya ada empat aneka macam bahan pangan yang dapat menghuni kebun urban: sayur-mayur (bayam, sawi, pegagan, cabai, tomat), buah-buahan (jambu, anggur, belimbing), umbi-umbian (ubi jalar, kimpul, uwi), dan kacang-kacangan (kacang panjang atau koro-koroan).  

“Halaman rumah saya sempit, tapi saya masih sempatkan tanam beberapa produk. Kalau mau bikin sambal, saya cukup petik cabai di halaman belakang. Yang penting kita mau tangan kita kotor dan tidak malu bertani.” – Hani

Hani melanjutkan, variasi pengolahan pangan dapat mengatasi kebosanan dalam pola makan. Tidak hanya goreng-rebus-panggang-kukus, tapi bahan pangan juga dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung atau keripik guna menunda masa kadaluarsa produk. Pengolahan pangan yang baik juga diperlukan guna menciptakan sistem yang lebih lestari melalui pemanfaatan limbah. Sebagai contoh, pemanfaatan limbah minyak goreng yang sudah tak digunakan atau sisa tanaman yang tak dapat diolah lanjut. Ajakan inspiratif dalam pesan penutupnya adalah ajakan mulai dari diri sendiri untuk mengurangi penggunaan tepung terigu karena gandum tidak dapat ditanam di Indonesia!

Limbah jadi Berkah?

Berbicara pengolahan limbah, Genie Fitriady (Kepala Departemen Pemberdayaan Masyarakat SATUNAMA) melanjutkan webinar dengan menekankan pentingnya perubahan pola pikir dalam pengelolaan limbah. Berbagai industri yang dikembangkan manusia tidak lepas dari masalah turunannya: sampah. Pola konsumtif manusia dan apatisme terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan menjadi akar masalah serius dalam pengelolaan sampah.

Genie kembali mengingatkan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang selama ini dianggap remeh. Konsep reduce fokus pada pengurangan sampah dan mengurangi konsumsi barang-barang yang tidak terlalu diperlukan serta produk sekali pakai seperti kantong kresek, tisu, ataupun styrofoam box. Kebiasaan menggunakan barang-barang sekali pakai ini dapat disubstitusikan dengan penggunaan barang-barang yang bisa didaur ulang dan produk yang bisa diisi ulang.

Sementara itu, konsep reuse memiliki penekanan pada menggunakan kembali material yang bisa dan aman untuk digunakan kembali. Konsep ini mempromosikan semangat upcycle, dimana banyak sampah dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk kerajinan seperti perhiasan, taplak meja, bahkan media belajar. Adapun konsep recycle mengusung semangat daur ulang sampah dengan cara meleburkan, mencacah, dan melelehkan sampah untuk dibentuk menjadi produk baru yang pada umumnya mengalami penurunan kualitas.

Genie menambahkan bahwa idealnya, ketiga konsep tersebut menghantar individu dan rumah tangga pada perubahan kesadaran dalam berproduksi, konsumsi, dan gaya hidup. Praktik baik ini harusnya dimulai dari diri sendiri dan keluarga terlebih dahulu dan ini merupakan pesan yang sangat inspiratif.

Presentasi soal limbah kemudian dilanjutkan oleh Krisna Wijaya (Quality Inspector Program Biogas Rumah Yayasan Rumah Energi). Krisna menceritakan proses transformasi limbah menjadi sumber energi bersih dan terjangkau: biogas. Sebagai gas yang dihasilkan melalui proses fermentasi dalam ruang kedap udara dengan memanfaatkan limbah mahkluk hidup (organik), biogas merupakan salah satu solusi utama dalam mengatasi persoalan limbah mengingat limbah organik merupakan limbah terbanyak (60%) di Indonesia.

Secara umum konsep biogas memiliki empat manfaat utama. Pertama, manfaat lingkungan, dimana lingkungan menjadi bersih dan sehat oleh karena sebagian besar sampah sudah terakomodir sebagai bahan utama biogas. Kedua, manfaat energi bersih dan terjangkau yang dihasilkan yang dapat ditransformasikan sebagai gas untuk  memasak, penerangan, generator, serta listrik.

Ketiga, manfaat pangan dimana proses fermentasi limbah organik pada akhirnya menghasilkan residu yang disebut sebagai bio-slurry. Bio-slurry dapat diaplikasikan sebagai pupuk organik bernutrisi tinggi yang oleh FAO diakui sebagai brown gold. Keempat, manfaat ekonomis dimana rumah tangga dapat mereduksi pengeluaran pembelian gas LPG dan pupuk, serta meningkatkan potensi bisnis pupuk serta usaha turunannya (cacing vermikompos, akuakultur, dsb.).

Dalam konteks urban, konsep biogas yang diusung Yayasan Rumah Energi bernama BIOMIRU (Biogas Mini Rumahan), sebuah konsep mini dari BIRU (Biogas Rumah) yang menjadi primadona wilayah perdesaan dengan 25,000 instalasi di desa-desa Indonesia. Jika BIRU mengakomodir limbah ternak dan manusia, BIOMIRU difokuskan untuk mengakomodir limbah dapur seperti sisa-sisa makanan untuk menjadi bahan dasar biogas dan pupuk organik. Tak kenal maka tak sayang. Mulai menyayangi dan mengelola limbah menjadi inspirasi sekaligus tantangan bagi kita bersama secara khusus generasi muda.

Generasi Muda Menuju Kemandirian Pangan hingga Energi

Pangan dan energi merupakan kebutuhan dasar manusia dalam nexus air-pangan-energi yang saling berkelindan. Praktik pemenuhan pangan secara mandiri menjadi tantangan nasional, terutama bagi wilayah perkotaan dimana lahan produktif yang tersedia sangat minim. Covid-19 pun menjadi ujian lanjutan mengingat aksesibilitas komoditas yang terbatas dari desa-kota, menyebabkan harga komoditas terjun bebas di pasaran sementara banyak rumah-tangga urban (terutama miskin urban) kesulitan mendapatkan bahan pangan.  Di samping itu, ketergantungan pada subsidi LPG menjadi tantangan simultan lain, di mana distribusi energi menjadi persoalan baru di masa pandemi oleh karena pembatasan fisik dan sosial.

Peran generasi muda menuju kemandirian pangan hingga energi setidaknya merupakan tantangan menarik bila dimulai dari lingkup komunitas kita sendiri guna mengurangi ketergantungan pada entitas sosial lain, terutama di masa sulit seperti pandemi. Acara ini digagas untuk mengawali pengembangan upaya baik sekaligus tantangan bagi para komunitas muda untuk lebih mandiri dalam hal pangan, energi, dan lingkungan. Kami tak akan berhenti mengupayakan hal baik demi generasi muda yang semakin cerdas dan peduli. Seperti semangat kami sejak awal LUMINTU: Good to great!!!! Penulis : Paulo Rosario de Ornay (Yayasan Rumah Energi). Editor : B. Dhaniswara.

Tinggalkan komentar