Mendidik Anak Merdeka

Sudah lama kita tidak punya lagi anak dalam arti yang sejati yang ada adalah orang dewasa mini, calon sumber daya manusia atau pun kader mini politik, kita juga sudah lama sekali tidak punya lagi guru dalam arti sejati yang ada hanyalah pawang, komandan, atau instruktur, pun kita sudah lama sekali tidak punya lagi sekolah dalam arti yang sejati yang ada hanyalah pabrik sumber daya manusia, kebon binatang atau tempat penaklukan
(YB Mangunwijaya)

Dalam dunia transportasi, sebuah perjalanan pertama-tama yang disiapkan bukanlah kendaraan, pengemudi, perbekalan atau rute jalan, melainkan tujuan perjalanan itu sendiri. Demikian pula dalam dunia pendidikan yang mestinya disiapkan adalah mimpi mengenai gambaran manusia seperti apa yang hendak dihasilkan pendidikan kita dan sumbangan macam apa yang diharapkan dari para lulusan pendidikan kita, baru selanjutnya menyiapkan semua perangkat untuk mencapai visi itu.

Namun telah lama pendidikan kita berjalan tanpa visi yang dilandasi oleh sebuah mimpi yang mendalam. Kurikulum dan perangkatnya justru menjadi yang terpenting disiapkan oleh kementerian padahal kurikulum bukan tujuan  melainkan hanya sebagian sarana untuk menjalankan visi pendidikan kita.

Pendidikan yang Manusiawi

Romo Mangun menyebut sistem persekolahan kita sarat beban, anak hanyalah kertas kosong, peran guru hanya sebagai pawang atau instruktur bukan “guru sejati” yang mendampingi anak didik untuk berkembang, instansi pendidikan dianggap mendukung upaya penyeragaman, dan kurang mengakomodir kepentingan masyarakat miskin yang merupakan massa mayoritas dalam dunia pendidikan Indonesia. Pendek kata, pendidikan di Indonesia disebutnya sebagai pendidikan yang dehumanis, tidak manusiawi. Tidak ada guru sejati dan sekolah sejati, akibatnya lulusan yang dihasilkannya pun menjadi anak yang tidak sejati.

Bangsa kita masih terkungkung oleh paradigma dan kesadaran lama yang egoistik-hirarkik-eksploitatif. Baik dalam pergaulan antar pribadi maupun dalam kehidupan bersama sebagai bangsa, sebagian besar dari kita masih suka berpikir dengan cakrawala yang sempit, terkotak-kotak, bercita-rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Artinya, masih jauh dari kesadaran hidup bersama yang semakin saling memekarkan dan mencerdaskan, semakin adil dan damai. Situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya para peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat sekarang tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun memandang hidup adalah perjalanan evolusi raya dari geosfer atau pembentukan bumi, ke biosfer atau pembentukan organisme termasuk manusia, dan ke noosfer atau pembentukan lapisan kesadaran yang terus berlangsung hingga kini.

Dalam evolusi noosferik sendiri, manusia sedang mengalami emansipasi ke arah kesejatian kemanusiaannya semakin utuh, dari tahap kesadaran diri yang individualistik-egoistik-hirarkik-eksploitatif ke arah kesadaran hidup bersama yang demokratik-egalitarian-adil, yang ditandai dengan terkikisnya dari muka bumi ini struktur-struktur yang buas menindas, digantikan oleh struktur-struktur yang beradab dan berkeadilan. Saat ini Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, namun dipandang dari perubahan struktur kebudayaan, Indonesia mengalami kemunduran.

Pendidikan harus ditempatkan dalam kerangka evolusi ini, yaitu upaya menghantar murid, bangsa, bahkan umat manusia ke arah pendewasaan diri: teremansipasi, merdeka, humanis, dan sanggup bertanggung jawab sendiri. Proses pencarian identitas diri dan pendewasaan diri itu tidak boleh berhenti, harus bergerak evolutif.

Di tengah arus dehumanisasi yang melanda bangsa Indonesia  pendidikan diharapkan menjadi jalan memerdekakan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ’ningrat’, bermartabat. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang penuh percaya diri dalam kerjasama seimbang dengan bangsa lain dan  memperjuangkan pemanusiawian dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dibuat selayaknya merupakan pilihan sikap yang mengutamakan kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat miskin.

Mendidik Anak Merdeka

Mendidik Manusia Merdeka sudah dimulai sehjak Generasi ’28, Generasi Soekarno-Hatta. Visi para pendiri Indonesia datang dari humanisme politik etik Belanda, kendati kolonial namun para guru dan mahaguru Belanda mengajarkan tentang sosok manusia demokratik, sikap fair play, kemanusiaan dan sebagainya. Generasi ’28 ingin menciptakan negara yang bisa mendidik manusia Indonesia menjadi manusia merdeka.

Menurut Y.B. Mangunwijaya mendidik adalah mengantar dan menolong anak untuk mengenali dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang semakin sejati, dengan jati diri dan citra-diri yang semakin utuh, harmonis, dan integral.

Pandangan tersebut didasari filsafat manusia bahwa setiap manusia mempunyai potensi-potensi dirinya sendiri. Setiap manusia itu khas dan unik. Dalam bahasa Socrates, setiap manusia sudah ’hamil’ (mengandung) kebenaran. Pendidik (guru) mendampingi mitra didik (anak) melahirkan kebenaran tersebut.

Pemikiran Mangunwijaya Mangunwijaya selaras dengan tuntutan Pendidikan Abad ke-21 yang menuntut anak-anak mampu tingkat tinggi (Higher Order of Thinking Skill) untuk menghasilkan anak-anak yang kreatif, cerdas, sehat dan bahagia. Anak merdeka adalah sosok citra manusia humanior yang disebut Y.B. Mangunwijaya dengan istilah ’manusia pasca Indonesia dan pasca Einstein’ yang mempunyai karakter sebagai manusia komunikator,  esksplorator, kreator, dan integral.

Manusia komunikator-eksplorator suka mencari, bertanya, dan berpetualang. Ia punya keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya daripada yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Ia sosok manusia pemberani yang berjuang lepas dari belenggu kemapanan yang menindas kemanusiaan.

Manusia kreatif  berjiwa terbuka,  pembaharu,  dan merdeka. Ia kritis, kaya imajinasi-fantasi, dan tidak mudah menyerah pada nasib. Akhir-akhir ini  kecerdasan buatan yang menjadi  jantung revolusi industri 4.0 menggugat salah satu kualitas hakiki manusia yang selama ini kita yakini. Industri memamerkan daya rekayasa manusia lewat produksi massal dengan teknologi yang presisi dan efisien.

Kemajuan teknologi sering dipakai sebagai bukti keunggulan manusia. Negara-negara berlomba menjadi yang terdepan sebagai negara industri. Lebih dari separuh pekerjaan kita, waktu kita, hidup kita, dihabiskan untuk menggerakkan roda industri. Akan tetapi teknologi digital 4.0 diprediksi bisa menggantikan banyak peran manusia di bidang ini. Kalau kerja kebanggaan manusia itu bisa digantikan oleh robot, lalu apa sebenarnya yang menentukan kemanusiaan kita?

Jawabannya adalah kreativitas. Betapapun canggihnya teknologi mesin cerdas saat ini, mesin tersebut tetaplah sebuah alat. Mesin bukan pencipta. Mesin tidak punya kreativitas, dan yang tidak bisa dikerjakan oleh mesin cerdas ini mungkin adalah kunci bagi refleksi kita di dunia pendidikan.

Manusia integral  sadar akan multidimensionalitas kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-jalan alternatif, bijak membuat pilihan yang benar, yakin akan kebenaran atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan kebhinekaan kehidupan namun mampu mengintegrasikannya dalam suatu kerangka yang sederhana. Ia mau bersetiakawan dan melibatkan diri dalam kehidupan. Menghargai semua makluk ciptaan  Tuhan dan menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.[]

Ferry T Indratno
Unit Anak dan Pendidikan
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta

Tinggalkan komentar