Komunitas Multikultur Desa Salamrejo

Hidup terasa sangat berbeda di sini, di Desa Salamrejo. Waktu terasa berjalan lambat. Tidak ada orang yang benar-benar berbicara bahasa Inggris sehingga senyuman disertai anggukan kepala menjadi bentuk komunikasi utama (dan tentunya jabat tangan lembut) – selain tentunya ada Vivin –penerjemah kami- yang bekerja luar biasa membantu kami.

Setibanya kami di desa, kami bergabung dengan pertemuan desa untuk berdiskusi di sambil minum “sweet tea”, atau dalam bahasa Indonesia “teh manis” (kami belajar menyebutkannya perlahan). Kepala desa memperkenalkan kami kepada semua orang dan menyambut kami di Salamrejo.

“Desa ini adalah tempat di mana orang-orang hidup damai berdampingan.” Begitu kata beliau.

Bagi kami ini tergolong unik. Mereka adalah komunitas multikultural yang merangkul semua agama dan latar belakang. Dalam pertemuan penyambutan itu, ada orang-orang beragama Islam, Kristen, Katolik, dan PEBM (Warga Penghayat Kepercayaan). Kami berdoa bersama untuk memulai sambutan.

Makanan yang disuguhkan sungguh tidak terlupakan. Setelah keluar teh manis (yang jumlahnya banyak sekali) kami mencoba pisang rebus, kerupuk yang terbuat dari buah lokal, kacang rebus dan minuman lidah buaya PEBM. Kami diberitahu bahwa minuman lidah buaya memiliki banyak manfaat kesehatan. Makan siang berikutnya adalah sayur santan, nasi kelapa, tempe dan rempah-rempah.

Rasa persatuan di antara penduduk desa ini juga terasa di tempat penginapan kami. Kami tinggal di rumah pemimpin PEBM, Mbah Mangun. Selalu ada pengunjung di sini termasuk cucu, anak-anak, tetangga, penjual produk lokal dan banyak pertemuan anggota PEBM.

Suatu malam, ketika para penghayat PEBM setempat berkumpul sekitar 10 orang atau lebih, mereka memberi tahu kami bahwa jika mereka saling merindukan, mereka akan saling menelepon atau mengirimkan pesan kepada semua orang dan berkumpul di rumah Mbah Mangun. Sampai kami berada di kamar, kami masih mendengar mereka berbicara dan tertawa di luar jendela kamar kami hingga larut malam.

Hari-hari yang relax kami jalani diserta makanan lezat yang dimasak oleh Mbah Putri. Kami main sepeda di sekitar jalan desa untuk melihat lebih dalam desa ini dan diberi kesempatan untuk menanam padi di sawah terdekat. Para perempuan petani mengajarkan kami cara memisahkan dan menanam kecambah padi di sawah, menggunakan batang bambu.

Putra Mbah Mangun, Mas Las juga membawa kami berkeliling ke makam pendiri desa, sebuah bangunan putih berdesain megah dengan ornamen emas, sangat berbeda dengan bangunan dan rumah di sekitarnya. Seorang penduduk lain mengajak kami berkeliling. Bangunan itu, katanya, dibangun oleh salah satu cucu pendiri..

Kedua makam itu dibuat dengan marmer yang dipoles, dua di antaranya berdampingan. Ada tikar untuk berziarah. Pemandu memberi tahu kami bahwa satu hari dalam setahun semua orang di desa diundang untuk datang dan berziarah di tempat ini, tanpa membeda-bedakan agama mereka.

Setelah itu, kami mengunjungi keluarga yang memproduksi kerajinan tangan. Kami dibawa ke sebuah ruangan kecil dengan rak-rak yang ditumpuk dengan barang-barang kerajinan tangan seperti tas, tikar, topi, tempat lampu, sarung jok, bahkan cover handphone. Kami dengan bersemangat mendiskusikan apa yang mungkin kami lakukan dengan mereka.

Pada hari Kamis kami sudah tak sabar untuk mulai bekerja dengan penduduk desa dengan beberapa rencana proyek kami. Awalnya kami tidak tahu apa yang harus kami kerjakan dan bagaimana kami dapat memberikan keterampilan yang berharga untuk membantu desa dan warganya.

Pada jam 3 sore, kami mengadakan pertemuan para pemangku kepentingan melalui FDG di mana kami bertanya kepada masyarakat tentang apa yang bisa kami lakukan untuk mendukung mereka. FDG berjalan cukup panjang tapi produktif. Selesai FGD, kami akhirnya mendapatka banyak ide untuk mendukung promosi pariwisata di desa, seperti yang dibutuhkan warga.

Kami juga mengadakan pertemuan dengan komunitas penghayat kepercayaan setempat, PEBM, di mana kami berdiskusi secara mendalam tentang produksi lidah buaya mereka. Keinginan utama mereka, kata mereka, adalah merancang kemasan baru yang ramah lingkungan dan menarik bagi konsumen. Kami terus berdiskusi hingga larut malam. Kami mendengar cerita mereka tentang pengalaman pribadi mereka sebagai warga PEBM yang merupakan perjalanan yang sangat mengharukan.

Secara umum, kami menutup minggu pertama di Salamrejo dengan antusiasme yang luar biasa. Tak sabar rasanya ingin segera bekerja bersama orang-orang Salamrejo di minggu-minggu berikutnya. (Meg Robertson Davies/Terjemahan dan sunting : Ariwan K Perdana)

English Version

Life is very different here in Salamrejo village. Time feels very relaxed. No one really speaks English here so a smile and a nod has been the main form of communication (and very soft handshakes) – aside from when the amazing Vivin is helping us translate.

Upon our arrival, we joined the village council for a discussion in the meeting area over sweet tea, or in Indonesian “teh manis” (we are learning slowly). The chief of the village introduced us to everyone and welcomed us to Salamrejo. This village, he told us, is one where the people live peacefully side by side. It is unique for its multicultural communities and its embrace of all faiths and backgrounds. In the welcoming meeting, there were people of Muslim, Christian, Catholic and PEBM (local believer faith). We all prayed together to begin the welcome.

The food we feasted on was not to be forgotten. After out sweet tea (which there was to be much more of) we tried boiled bananas, crackers made from a local fruit, boiled peanuts and the PEBM’s aloe vera drink which we were told has many health benefits (maybe aside from the large amount of sugar). The lunch following was sweet coconut vegetables, coconut rice, tempeh and a ground spice.

This feeling of unity among the villagers was also felt in our accommodation. We are staying in the PEBM leader’s house, Mbah Mangun. There are always visitors here including the couple’s grandchild, children, neighbours, the local produce sellers and many gatherings of PEBM members.

Late one night, when the male local believers, 10 or so, were sitting smoking outside on the porch, they told us how if they miss each other they will send out a call or message to everyone and gather at Mbah Mangun’s house. We hear them talking and laughing outside our bedroom window into the late hours of the night.

A slow-paced couple of days followed this, catered with delicious food cooked by Mbah Putri. We rode bikes around the roads to explore and were given a chance to plant rice in the nearby patty fields. The women showed us how to separate and plant the rice sprouts in the patty, dividing each row with a stick of bamboo.

Mbah Mangun’s son Mas Las also took us around to the village founder’s grave, a grandly designed white building with gold detailing, quite unlike the buildings and houses surrounding it. Another local man showed us around. The building, he said, was built by one of the founder’s grandsons who is now a successful businessman. The two graves were made with polished marble, two of them side by side, and a locally woven prayer mat laid out before them. The guide told us how on one day a year, everyone in the village is invited to come and pray before the founders, no matter what faith.

Following this, we visited the family producing woven handicraft. They took us into their home to a small room with shelves piled with handwoven goods such as bags, mats, hats, light fittings, seat covers, even phone holders. We excitedly discussed what we might try and make with them the next time we visited.

By Thursday we were itching to get to work with the villagers on some of our projects. We had been quite unsure over the first two days of what we should be working on and how we could provide valuable skills and help to work towards the goals of the village. At 3pm, we had the FDG stakeholder meeting where we asked the community how we could best support them. It was a long but productive session and we came out of it with many ideas for tourism promotion – shaped by what the community and what they wanted.

Finally, we had our first meeting with the local believers, PEBM, where we talked in depth about their aloe vera production. Their number one desire, they said, was to design new packaging that was eco-friendly and attractive for consumers. We continued discussing late into the night. We asked them about their personal testimonials for PEBM all of which were deeply moving journeys. We are excited for another three more weeks of living and working with the people of Salamrejo.

Tinggalkan komentar