Menyelamatkan Lingkungan untuk Generasi Masa Depan

Desa Keningar merupakan salah satu desa yang terletak dekat dengan Gunung Merapi. Masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, Keningar merupakan salah satu desa terakhir yang posisinya cukup dekat dengan puncak salah satu gunung teraktif di dunia itu. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar penduduknya sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka, karena tanah yang subur di Desa Keningar bisa digunakan untuk menanam berbagai tanaman sayuran.

Meski demikian, Keningar juga memiliki problem besar yang bisa mengancam kelestarian dan keselamatan lingkungan serta sumber daya alam yang ada. Wilayah ini sejak sekitar dua dekade lalu sudah menjadi incaran para penambang pasir baik secara manual maupun menggunakan alat berat, sehingga meninggalkan dampak-dampak kerusakan lingkungan yang cukup memprihatinkan. Sehingga sejak beberapa tahun terakhir, usaha-usaha untuk memulihkan kembali lahan yang rusak akibat penambangan telah dilakukan oleh warga masyarakat yang mulai sadar akan dampak buruk kerusakan lingkungan tempat tinggal mereka.

Sumadi adalah salah satu warga masyarakat yang cukup intens melakukan usaha-usaha penyelamatan lingkungan yang rusak agar tidak semakin buruk dampaknya sekaligus memikirkan bagaimana baiknya sumber daya alam di Keningar bisa kembali dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan warga. Selain bersama masyarakat yang peduli, pria yang pernah duduk sebagai wakil Badan Permusyawarahan Desa ini juga bergerak bersama Komunitas Jaimin, sebuah komunitas yang menginisiasi aktifitas-aktifitas edukasi penyelamatan lingkungan. Dengan ditemani kopi hangat dan suasana sore yang sejuk di kediamannya, Sumadi menceritakan perjuangannya sebagai salah satu orang yang memberi perhatian penuh akan kelangsungan hidup di Desa Keningar kepada dua punggawa media SATUNAMA, Ariwan K Perdana dan Bima Sakti. Berikut petikan obrolannya.

Satunama : Sejak kapan tertarik untuk berkiprah di isu penyelamatan lingkungan dan kenapa tertarik bergelut di dalamnya?

Sumadi : Pertama kali berawal dari keprihatinan saya melihat wilayah saya yang rusak parah. Ini merupakan introspeksi diri juga bagi saya. Karena sejak tahun 2001 saya pernah masuk di aktifitas pertambangan. Dulu antara tahun 2005-2008 sebenarnya ada reklamasi. Tapi ternyata setelah reklamasi, selang beberapa bulan malah ditambang kembali. Saya kecewa lalu keluar dari perusahaan. Setelah itu sempat menganggur. Waktu nganggur itu saya mulai melihat dan menyadari kondisi lingkungan saya. Kok tambah parah, mata air semakin berkurang. Dari situ muncul perasaan bersalah yang saya rasakan. Maka saya mulai berpikir bagaimana cara untuk menebus kesalahan saya, paling tidak agar kerusakan yang terjadi ini tidak semakin parah.

Akhirnya bersama kawan-kawan waktu itu kami membentuk Tim 18. Tim ini sekarang berubah menjadi Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL). Kami kemudian berusaha meminimalisir kerusakan lingkungan. Ternyata wilayah sini meski sudah rusak masih bisa dimanfaatkan kembali. Misalnya saya membeli lahan yang rusak, kemudian ditanami kembali. Meski hasilnya belum maksimal, tapi setidaknya sudah bisa ditanami kembali. Sementara ini baru bisa dijadikan sawah.

Kami berpikir bagaimana caranya agar sumber daya alam yang ada ini jangan sampai terkuras habis. Karena prinsip yang kami pegang adalah bahwa sumber daya alam ini merupakan titipan dari anak cucu kita.

Satunama : Sebenarnya kalau menurut anda, apa faktor utama yang mengancam keberlangsungan alam dan lingkungan di wilayah anda? 

Sumadi : Debit mata air disini berkurang drastis. Jika aktifitas penambangan berlanjut, itu akan semakin memperparah ketersediaan mata air. Padahal air ini kan sangat penting bagi kehidupan. Aktifitas penambangan juga mengancam tanggul alami Desa Keningar yang berfungsi melindungi desa dari lahar Merapi jika terjadi erupsi. Nah jika area tanggul ini terus-terusan ditambang, maka jika ada erupsi, muncul resiko lahar Merapi akan naik dan masuk ke desa. Ini sudah menyangkut masalah nyawa. Maka kami berusaha agar tanggul ini tidak semakin rusak.

Satunama : Banyak yang bilang bahwa pertambangan sering dianggap sebagai sebuah bentuk investasi. Bagaimana anda melihat itu?

Sumadi : Investasi mungkin iya bagi mereka yang mendapat keuntungan paling besar dari situ. Tapi keuntungannya bagi masyarakat tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktifitas pertambangan itu sendiri. Karena pertambangan ini sekalipun misalnya ada keuntungannya bagi masyarakat, itu cuma sesaat. Kalau dilihat dari aspek keberlanjutannya, malah lebih banyak kerugian yang harus dialami masyarakat.

Satunama : Jadi apa bisa disebut bahwa yang menyebabkan rusaknya kondisi lingkungan di wilayah sini adalah karena aktifitas pertambangan?

Sumadi : Iya.

Satunama : Anda kan bersama kawan-kawan menginisiasi komunitas bernama Jaimin untuk ikut memikirkan dan mengusahakan agar kondisi lingkungan di sini tidak semakin rusak. Kapan Komunitas Jaimin ini terbentuk, siapa saja anggotanya dan apa saja aktifitas-aktifitasnya?

Sumadi : Awalnya tahun 2012 ketika Tim 18 terbentuk dan langsung fokus pada isu lingkungan. Awalnya kami intens dalam usaha-usaha menghentikan aktifitas pertambangan. Tapi lalu kami juga melihat bahwa dibutuhkan pendekatan khusus kepada masyarakat untuk bisa ikut mendukung kami. Tim 18 kemudian berubah menjadi Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) dan kami mengambil strategi pendekatan kepada masyarakat melalui anak-anak untuk sekaligus memberikan edukasi. Tujuannya agar nanti setelah pertambangan sudah tidak ada, akan muncul bentuk keuntungan lain yang tidak merusak lingkungan bagi masyarakat. Selang berjalannya waktu, kami juga bekerjasama dengan kawan-kawan Rehabilitas Hutan dan Lahan (RHL) dari Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Maka terpikirlah membentuk sebuah komunitas yang bisa mewujudkan keinginan itu. Ini masih awal dan kami saat ini sedang dalam proses merangkul dan menyadarkan masyarakat akan sebuah proses penyelamatan lingkungan, karena masyarakat di sini sudah terbiasa dengan hasil yang instan, misalnya dengan manggali pasir, dijual dan langsung mendapat keuntungan. Tapi paling tidak kami sudah membuka kemungkinan kerjasama dengan kelompok kepemudaan untuk ikut serta terlibat dalam komunitas ini. Untuk sementara ini, komunitas ini terdiri dari para anggota FMPL dan RHL. Kami memutuskan untuk menggelar pertemuan-pertemuan komunitas secara berpindah-pindah dari rumah ke rumah agar terjalin hubungan baik antar warga di sini.

“Ini masih awal dan kami saat ini sedang dalam proses merangkul dan menyadarkan masyarakat akan sebuah proses penyelamatan lingkungan.”

Satunama : Jaimin itu nama berasal dari mana?

Sumadi : Itu nama tempat. Salah satu desa yang dulu pernah ada. Kalau kita dengar dari sesepuh, itu dulunya kampung yang kena lahar Merapi. Di TNGM itu dulu ada banyak tempat misalnya Sisir, Cikomo, Sentong termasuk Jaimin. Di Sisir bahkan masih ditemukan beberapa makam. Malah dulu menurut cerita desa-desa itu termasuk makmur. Dulu warga saling kerjasama. Waktu misalnya paceklik di Keningar, hasil panen diambil dari sana. Demikian sebaliknya. Yang jelas Ini suatu bentuk kerjasama antara warga dengan TNGM. Dari warga ada dari FMPL kemudian dari TNGM ya dari orang-orang RHL.

Satunama : Soal edukasi bisa diceritakan?

Sumadi : Ini kami mulai dari generasi masa depan kita. Untuk anak-anak. Tapi ke depannya nanti juga akan diperuntukkan bagi warga masyarakat secara umum. Beberapa pihak lain juga ikut terlibat seperti kelompok sanggar Mbangun Budoyo (Sumber). Dalam acara seperti sedekah gunung, di sana ada semacam tempat edukasi dan pembelajaran. Pernah ada kelompok pelajar dari luar daerah yang datang ke sini dan ikut dalam kegiatan edukasi yang kami lakukan. Bagaimana kita harus menjaga alam, bagaimana kita harus bisa bersahabat dengan Gunung Merapi. Kelompok pemuda juga mulai terlibat. Jadi ke depannya memang ini juga diperuntukkan untuk membangun kesadaran masyarakat luas.

Satunama : Sejauh ini, apa capaian yang sudah didapat dari aktifitas-aktifitas yang anda lakukan bersama kawan-kawan dan juga komunitas masyarakat yang terlibat di sini?

Sumadi : Pertama, kesadaran masyarakat untuk lebih peduli lingkungan sudah mulai nampak. Paling tidak bisa terlihat dari keterlibatan masyarakat dalam penambangan yang mulai berkurang. Penambang di sini sekarang sebagian besar berasal dari luar semua. Sebagian besar orang luar semua. Yang dari sini cuma tinggal sedikit. Masyarakat mulai berpikir bahwa penambangan kalau tidak terkontrol, maka dampak buruknya ya masyarakat sendiri yang merasakan.

Kemudian karena kami juga membuat percontohan reklamasi, beberapa warga juga ikut melakukannya. Kerukunan dan gotong royong juga mulai terlihat tumbuh lagi. Meski masih harus ditingkatkan, namun sekarang mulai muncul kembali. Dulu kan waktu penambangan masih marak, gotong royong di sini pudar karena semua serba diukur dengan uang. Ketenangan dan kenyamanan warga juga mulai tercapai, tidak seperti ketika masih marak penambangan, di jalan desa serba lalu lalang mobil-mobil pengangkut tambang yang membuat ketidaknyamanan. Anak-anak juga semakin mudah untuk dikumpulkan untuk diberi edukasi. Dulu agak sulit mengumpulkan anak-anak. Sekarang lewat sanggar Lare Joyo Mukti yang kita bentuk, anak-anak semakin mudah berhubungan satu sama lain.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah mulai ada transparansi antar lembaga. Waktu masih ada penambangan segalanya serba tidak transparan. Maka kami terus mendorong adanya transparansi sampai saat ini dan sudah nampak hasilnya meski belum benar-benar menyeluruh.

Satunama : Kalau kendala-kendalanya apa saja?

Sumadi : Pada awalnya kendalanya, misalnya dari dalam, kami harus menuai pro-kontra dari masyarakat. Pemerintah desa terutama Pak Lurah juga tidak peduli dengan usaha-usaha kita. Mereka salah sangka. Dikiranya kami bergerak menyelamatkan lingkungan karena tidak suka dengan Pak Lurah dan dengan kebijakan mereka. Tapi kan jelas bukan itu sebabnya. Kalau kendala dari luar, yang jelas ya keberadaan preman-preman itu. Beberapa kali kami adu mulut dengan mereka. cara berpikir masyarakat tentang hal ini kadangkala juga menjadi hambatan. Banyak yang menyangka kami ini orang-orang yang benci dan iri dengan aktifitas penambangan.

Jadi kendala kita berasal dari birokrasi, warga masyarakat, juga dari pengusaha yang tetap mempertahankan keinginannya untuk terus menambang di sini. Sampai-sampai soal Komunitas Jaimin ini juga mendapat respon yang kurang baik dari kepala desa. Sama sekali tidak ada dukungan, sehingga kami memang harus berjalan sendiri.

Satunama : Lalu dengan kendala-kendala seperti itu, apa saja strategi yang dijalankan selama ini?

Sumadi : Pertama kami mencoba melakukan penyadaran ke masyarakat. Memberitahu soal dampak-dampak buruk yang muncul agar muncul kesadaran pada mereka. Karena masyarakat adalah dukungan bagi kita. Meskipun kepala desa tidak mendukung, tapi kalau masyarakat bisa saling mendukung, kita akan jadi kuat. Kemudian kedua, kita mencoba langsung menemui dan berbicara dengan pihak-pihak terkait. Misalnya TNGM. Karena kebanyakan aktifitas Jaimin ini ada di wilayah TNGM, jadi meskipun kepala desa belum memberi dukungan, namun dari pihak yang berwenang di wilayah TNGM sudah mengizinkan. Karena kalau kita menunggu kepala desa memberi dukungan, mau sampai kapan?

Kami juga melakukan reorganisasi kelembagaan. Karena kami komunitas yang berdiri sendiri tanpa dukungan lembaga dan pemerintah desa, maka kami mencoba untuk mendapat dukungan dengan mendekati lembaga desa. Yang pertama kami masuk ke BPD. Lalu supaya strategi ini berjalan, kita lakukan reorganisasi agar nantinya ada anggota dari komunitas yang masuk ke lembaga-lembaga itu. Misalnya di ketua pemuda dan RT. Itu strategi yang kita lakukan agar lembaga-lembaga ini nantinya bisa mendukung program-program kita.

Satunama : Selain untuk penyelamatan lingkungan atau merestorasi kembali kondisi alam dan lingkungan yang sebelumnya rusak menjadi bisa digunakan kembali, ada tidak usaha-usaha untuk mengarahkan pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat sini?

Sumadi : Kita memulainya dengan bikin penataan lahan sekalian reboisasi. Tapi kita sempat menemui kendala dari penambang yang masih bertahan. Kita kemudian menemui warga-warga yang memiliki lahan karena lahan-lahan ini cuma dibiarkan begitu saja, maka kita coba dorong untuk ditanami kembali. Awalnya sempat berpikir untuk direklamasi dulu baru bisa ditanami. Tapi karena untuk itu kami harus membawa alat, nanti malah bisa jadi alasan bagi penambang untuk ikut-ikutan membawa alat-alatnya lagi. Akhirnya kita ambil keputusan untuk menyelesaikan batas lahan dulu. Karena penambangan kan menghilangkan batas-batas lahan yang dulu pernah ada. Setidaknya langkah ini untuk memperjelas ini lahan batasnya di sini dan seterusnya, meski mungkin batas baru ini tidak sama lagi seperti yang dulu. Kalau sudah sepakat soal batas lahan, baru nanti ditanami meski ini juga pastinya butuh usaha dan jangka waktu yang tidak sebentar.

Ini sebenarnya kesibukan yang luar biasa juga. Karena kita harus mendata ulang setiap lahan. Kita undang atau kita temui orangnya untuk berbicara bersama. Tujuannya agar nanti setelah ditanami kan bisa menguntungkan warga yang bersangkutan. Hasilnya nanti bisa dijual. Kerusakan juga tidak semakin parah serta penyerapan air akan semakin baik. Dengan pananaman kembali, sumber mata air bisa muncul kembali. Contohnya di belakang sini (menunjuk belakang rumahnya) waktu ada penambangan mata airnya mati. Sekarang sudah mulai muncul lagi.

Satunama : Tadi disebutkan ada penambangan yang masih bertahan. Itu masih banyak tidak?

Sumadi : Masih ada, tapi manual. Sudah tidak pakai mesin lagi. Mesin sudah tidak masuk ke sini.

Satunama : Kalau menurut anda, bagaimana selama ini keseriusan pemerintah dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam di sini?

Sumadi : Mereka masih belum peduli dengan lingkungan. Masih melakukan pembiaran. Masih berusaha mempertahankan adanya tambang. Di tingkat kabupaten, kita sempat ke dinas terkait tapi minim tanggapan. Nampaknya juga kurang serius. Komnas HAM sempat ke sini dan memberikan surat rekomendasi buat bupati, tapi ternyata juga hanya berakhir di penutupan, dan setelah itu juga masih ada penambangan di sini. Tidak ada keseriusan dalam memikirkan dan mengusahakan bagaimana kondisi alam di sini bisa dikelola dengan baik ke depannya. Belum ada juga kebijakan-kebijakan yang membawa harapan perbaikan.

Satunama : Lalu bagaimana menurut anda seharusnya pemerintah berperan dalam hal ini?

Sumadi : Mereka harusnya bisa melihat kondisi yang parah di sini dan juga melihat masyarakat yang sebagian besar petani, pemerintah harusnya berbuat sesuatu untuk memulihkan lahan. Karena kita lihat misalnya irigasi dari Senowo. Ini harusnya tujuannya memperbaiki apa yang sudah baik. Tidak hanya mempertahankan tapi juga memikirkan untuk mengubahkan menjadi lebih berfungsi untuk masyarakat. Saya memberi contoh lahan saya jadi sawah, harusnya lahan yang lain yang juga bisa difungsikan serupa karena ada jalur akses irigasinya. Tapi itu tidak terpikirkan oleh mereka. Dari dinas-dinas terkait juga belum berpikir soal bagaimana baiknya Keningar ini dikelola.

Justru dari komunitas sini yang berinisiatif melakukan reforestrasi. Tapi ya mentok waktu kita bawa ke kepala desa. Saat rapat di desa dia berkata bahwa kegiatannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Lha ini kan jelas bermanfaat mengingat kondisi di sini yang sudah semakin parah dan sebagian besar penduduk sini bekerja dengan mengandalkan sumber daya alam, harusnya dia berpikir untuk mengembalikan lagi kondisi yang sudah rusak ini menjadi baik.

Satunama : Anda sudah bergerak bersama komunitas dan juga masyarakat di sini untuk melakukan penyelamatan lingkungan dan memikirkan manfaat-manfaat yang bisa diperoleh masyarakat. Apa yang membuat anda yakin hal ini bisa terus diperjuangkan?

Sumadi : Saya berpikir soal generasi. Kalau kita tidak berjuang, kita membiarkan alam begitu saja apa yang bisa kita tinggalkan untuk generasi ke depan? Saya lahir di Merapi. Saya bekerja di Merapi, hidup di Merapi. Nanti saya meninggal juga mungkin di Merapi, dimakamkan di Merapi. Alangkah baiknya jika ada hal yang baik yang bisa kita tinggalkan untuk generasi masa depan. Bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk memberi manfaat bagi generasi masa depan. Nanti kalau suatu saat kita sudah tidak ada, tapi apa yang kita perjuangkan masih ada, Insya Allah bisa menjadi amal yang baik. Itu yang mendorong semangat kami untuk terus memperjuangkan ini.

“Saya lahir di Merapi. Saya bekerja di Merapi, hidup di Merapi. Nanti saya meninggal juga mungkin di Merapi, dimakamkan di Merapi. Alangkah baiknya jika ada hal baik yang bisa kita tinggalkan untuk generasi masa depan.”

Satunama : Tadi anda menyebutkan bagaimana pemerintah seharusnya berperan. Ada harapan lebih nyata kepada pemerintah?

Sumadi : Intinya saya berharap ada dukungan dari pemerintah. Sehingga kita bisa bekerjasama. Berpikir dan bergerak bersama untuk menyelamatkan dan mengelola alam lingkungan di sini. Dan bukan hanya dari pemerintah saja, kami mengharapkan kerjasama dengan berbagai kalangan dan pihak-pihak terkait. Termasuk bersama masyarakat sendiri tentunya.

Satunama : Termasuk dari kalangan bisnis, pengusaha atau perusahaan yang beroperasi di sini?

Sumadi : Iya. Harapannya adalah adanya tanggung jawab dari mereka. Mereka sudah mengambil haknya waktu mereka ‘mengontrak’ di sini lewat izin-izin yang dulu ada, maka sudah menjadi kewajiban mereka untuk bertanggung jawab atas kondisi yang ada sekarang. Melakukan penataan ulang lahan, mereka harusnya ada tanggung jawab.

Satunama : Pertanyaan terakhir. Ada cerita-cerita apa yang berkesan selama bergerak bersama komunitas dan masyarakat di sini?

Sumadi : Sebenarnya lebih banyak spanengnya (tegang), mas (tertawa). Karena kami berurusan dengan pihak-pihak yang berbeda kepentingan dengan kami. Tapi ada satu cerita ketika kita melakukan penegakan perdes tentang penambangan yang cukup berkesan. Kita dalami perdes itu karena sejak awal pembuatan hingga diresmikan perdes ini minim kawalan sehingga tidak ada yang tahu.

Ketika kami berusaha menanyakan ke desa, entah bagaimana dokumennya tidak ada. Ini kan aneh. Bagaimana mungkin perdes kok desa nggak punya. Untungnya ada warga yang menyimpan salinannya. Dia pernah di BPD. Kemudian kita kaji sehingga kita tahu area-area mana saja yang tidak boleh ditambang. Bahkan sebenarnya kalau isi perdes itu didalami lebih lanjut, seharusnya seluruh Keningar ini tdak boleh ditambang. Setelah didalami, kita lakukan pengawalan sampai malam hari di area-area itu karena kan perdesnya sudah ada. Ketika kami menemukan ada penambangan di tempat-tempat itu, kami informasikan ke masyarakat. Dan yang membuat saya terkesan adalah masyarakat langsung merespon dengan kompak naik ke lokasi penambangan. Ada banyak yang ikut waktu itu. padahal sebelumnya kami cuma berempat atau berenam saja. Di sana langsung kami hentikan penambangannya. Memang sempat panas dan ada adu mulut. Tapi yang lebih baik lagi, meski suasana sempat panas, tidak terjadi bentrokan-bentrokan yang tidak perlu.

Kesan saya, ternyata masyarakat sini kalau sudah paham dan ada aturan yang memperjelas, mereka bisa bersemangat dan bersatu. Sehingga pernah ketika ada pembangunan stonecrusher (alat pemecah batu), Karena sudah tahu soal dampak alat itu yang bising, menyebabkan debu beterbangan karena aktifitas pengangkutannya, kemudian ancaman akan habisnya material karena bukan hanya pasirnya tapi batu-batunya juga ikut digiling. Wah, itu warga dengan kompak langsung merespon dengan memasang spanduk-spanduk yang menolak hal itu. Saya terkesan dengan kekompakan itu. []

Tinggalkan komentar