Bertani Untuk Kebutuhan, Bukan Untuk Dijual.

Esensi dasar dari ketahanan pangan adalah menanam apa yang dimakan, begitulah ungkapan dari Baning Prihatmoko seorang petani yang juga merupakan aktifis Nawakawal yaitu sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagai aktifis yang sekaligus juga bergelut dalam bidang pertanian, Baning menganggap ada bias pemaknaan terhadap konsep ketahanan pangan. Kritik yang paling mendasar atas konsep tersebut adalah upaya untuk mereduksi bahan pangan yang spesifik mengarah ke “BERAS”. Padahal beras itu adalah salah satu dari berbagai macam jenis tanaman yang bisa menghasilkan karbohidrat.

Menurut pria yang juga menjadi anggota Badan Penasehat Indonesian Dragonfly Society ini, proses reduksi pangan adalah beras dan ini sudah diawali sejak revolusi hijau. Revolusi hijau memiliki kepentingan untuk melakukan intervensi industri dalam pertanian dengan mengambil alih bibit dan pupuk. Sehingga dengan mereduksi pangan menjadi hanya beras akan mempermudah pasar untuk melakukan kontrol terhadap kebutuhan pangan dunia.

Dampaknya jelas, rakyat semakin dijauhkan dengan ketersediaan pangan mereka sendiri ketika mereka menanam bukan untuk dimakan, tetapi menanam untuk dijual. Akhirnya masyarakat semakin jauh dengan sumber pangan mereka sendiri, karena menganggap pertanian hanya berkaitan dengan beras. Kondisi ini kemudian diperparah dengan kampanye masif yang menggunakan legitimasi riset kesehatan tentang kandungan nutrisi. Sehingga ada upaya untuk membuat dikotomi pangan bernutrisi dan pangan tidak bernutrisi yang tentunya akan “menyingkirkan” makanan sejenis beras yang juga mengandung karbohidat. Dan dampaknya jelas, bagaimana jagung yang ditanam hanya untuk kebutuhan ternak, kemudian ubi kayu yang ditanam hanya untuk kebutuhan makanan pendamping saja.  Padahal dalam penelitian yang pernah dilakukan bersama Nawakamal, ketersediaan karbohidrat dari seluruh tanaman di Indonesia ini bisa mencukupi 5 kali kebutuhan karbohidrat untuk seluruh masyarakat.

Melihat kondisi ini, Baning mulai melakukan berbagai macam upaya untuk menularkan apa yang dia pahami dan rasakan. Protes ideologis mulai dia lakukan dalam aktifitasnya sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat juga dalam acara-acara seminar di mana dia diminta untuk menjadi narasumbernya. Bukan hanya sekedar menyampaikan wacana, Baning juga melakukan perlawanan dengan aktifitasnya sebagai petani. Dia bertani bukan untuk dijual, tetapi untuk kebutuhan konsumsi  sendiri. Bapak 2 anak ini mengerjakan 3000 m lahan yang dia miliki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kepada masyarakat, Baning mengajarkan tata cara bertani dengan cara mengenali lingkungan dan menanam tanaman pangan yang paling sesuai dengan lahan yang tersedia. Bahkan untuk pupuk, dia juga mengajarkan bahwa apapun yang ada disekitar lahan tersebut adalah pupuk yang disediakan oleh alam, hanya butuh ketelitian dan kesabaran untuk mengoptimalkannya. Baning hanya ingin mengajarkan filosofi dekatilah kebutuhan panganmu, tidak perlu kau menanam apa yang tidak kamu butuhkan.

Tinggalkan komentar