Satunama.org – Penyandang disabilitas masih sering terpinggirkan, meskipun negara telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011. Realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Sekitar 22,5 juta orang Indonesia hidup dengan disabilitas (Badan Pusat Statistik tahun 2020). Namun, angka ini mungkin lebih tinggi mengingat banyaknya kasus yang tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan.
Tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia begitu kompleks dan beragam. Dalam dunia pendidikan, meskipun Undang-Undang telah menjamin hak pendidikan bagi semua warga negara, banyak sekolah belum siap menerima siswa dengan kebutuhan khusus. Akibatnya, hanya sekitar 10% penyandang disabilitas yang berhasil menyelesaikan pendidikan menengah. Sebuah angka yang mencerminkan betapa terbatasnya akses mereka terhadap pendidikan yang berkualitas.
Situasi di dunia kerja juga tidak kalah menantang bagi penyandang disabilitas. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2023, tingkat pengangguran di kalangan penyandang disabilitas masih sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa hanya 51,12% penyandang disabilitas di Indonesia yang memiliki pekerjaan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum yang mencapai 70,40%. Kesenjangan ini semakin diperparah oleh berbagai faktor, terutama diskriminasi dan terbatasnya kesempatan kerja yang layak bagi penyandang disabilitas.
Infrastruktur publik yang tidak ramah disabilitas semakin mempersulit kehidupan sehari-hari mereka. Banyak bangunan dan fasilitas umum belum memiliki aksesibilitas yang memadai. Trotoar yang rusak, gedung tanpa lift atau ramp, serta transportasi umum yang tidak inklusif menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Stigma sosial pun masih menjadi masalah besar. Pandangan negatif dan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas masih tertanam kuat di masyarakat. Mereka sering dianggap sebagai beban atau tidak mampu berkontribusi secara produktif. Padahal kenyataannya jauh berbeda. Stigma ini tidak hanya membatasi peluang mereka, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental dan emosional.
Dalam hal kesehatan, penyandang disabilitas sering menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan yang berkualitas. Keterbatasan fisik dan finansial menjadi hambatan utama, ditambah dengan kurangnya fasilitas dan tenaga medis yang terlatih untuk menangani kebutuhan khusus mereka.
Melihat permasalahan yang ada, Peran NGO (Non-Governmental Organization) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendukung gerakan inklusi bagi penyandang disabilitas di Indonesia sangatlah vital. Organisasi-organisasi ini menjadi ujung tombak dalam mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas, memberikan layanan langsung, dan mendorong perubahan kebijakan yang lebih inklusif. Mereka mengisi celah yang sering kali tidak terjangkau oleh program pemerintah, dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan inovatif.
Peran Strategis SATUNAMA
Yayasan SATUNAMA telah lama dikenal sebagai organisasi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan advokasi dengan hak-hak kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas. Dalam beberapa tahun terakhir, Yayasan SATUNAMA telah mengambil langkah signifikan untuk mempromosikan gerakan inklusi bagi penyandang disabilitas melalui berbagai program dan inisiatif.
Aksi nyata Yayasan SATUNAMA dalam mendukung gerakan inklusi bagi penyandang disabilitas terlihat dalam beberapa program utama yang telah dijalankan di antaranya: Pertama, mengembangkan Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa. Kedua, melakukan advokasi kebijakan inklusif bersama pemerintah daerah Yogyakarta untuk mendorong implementasi kebijakan ramah disabilitas. Ketiga, menjalankan kampanye kesadaran publik melalui event dan media sosial untuk mengubah persepsi masyarakat tentang disabilitas.
Beragam kegiatan yang telah dilakukan Yayasan SATUNAMA dalam mendorong gerakan inklusi bagi penyandang disabilitas dapat menjadi contoh bagi organisasi lain yang ingin menggalang gerakan-gerakan serupa. Pendekatan holistik melalui rehabilitasi, advokasi kebijakan, dan perubahan persepsi masyarakat, menunjukkan bahwa perubahan nyata memang mungkin terjadi ketika ada komitmen dan aksi yang konsisten.
Belajar dari Mitra Netra dan PPDI
Dalam era digital ini, organisasi-organisasi yang fokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas telah mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam layanan mereka. Contohnya Yayasan Mitra Netra (https://mitranetra.or.id/), yang tidak hanya fokus pada pemberdayaan tunanetra melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan konvensional, tetapi juga telah mengembangkan berbagai inovasi digital.
Organisasi ini telah menciptakan aplikasi pembaca layar berbahasa Indonesia yang memudahkan tunanetra mengakses internet dan smartphone, serta menghadirkan perpustakaan digital dengan koleksi buku audio dan e-book yang dapat diakses melalui platform khusus. Mereka juga menyediakan program pelatihan komputer dan teknologi informasi secara daring, layanan konversi buku digital ke format ramah tunanetra, hingga aplikasi mobile untuk pembelajaran braille digital.
Sementara itu, Pusat Pemberdayaan Disabilitas Indonesia (PPDI) juga telah mentransformasikan layanan mereka ke ranah digital. Selain melakukan advokasi kebijakan dan pemberdayaan ekonomi, PPDI mengembangkan platform e-learning untuk pelatihan keterampilan kerja dan sistem informasi digital untuk akses lowongan kerja inklusif. Mereka juga menghadirkan portal online yang komprehensif tentang hak-hak dan kebijakan disabilitas, dilengkapi dengan aplikasi mobile untuk pelaporan kasus diskriminasi dan platform digital untuk konsultasi serta pendampingan hukum secara online. Melalui inovasi digital ini, kedua organisasi tersebut berhasil memperluas jangkauan dan meningkatkan efektivitas program mereka dalam menciptakan perubahan signifikan bagi kehidupan penyandang disabilitas di Indonesia.

Meskipun tantangan masih besar, aksi nyata dari organisasi-organisasi ini telah membawa perubahan positif yang signifikan. Dari kampanye kesadaran publik yang mengubah persepsi masyarakat, hingga program pelatihan kerja yang membuka pintu kesempatan baru. Dari advokasi kebijakan yang mendorong perubahan sistemik, hingga penyediaan alat bantu yang meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Organisasi sosial ini terus berjuang tanpa lelah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih inklusif, di mana setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam masyarakat.
Selain itu, ada gerakan yang semakin kuat untuk melibatkan penyandang disabilitas secara langsung dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program. Filosofi “Nothing About Us Without Us” (Tidak Ada Tentang Kami Tanpa Kami) semakin diadopsi oleh banyak NGO. Ini berarti penyandang disabilitas tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga berperan aktif dalam merancang dan mengevaluasi program-program yang ditujukan untuk mereka.
Ekonomi Digital hingga Teknologi Asistif
Ke depannya, fokus NGO juga akan semakin bergeser ke arah pemberdayaan digital. Dengan semakin banyaknya aspek kehidupan yang beralih ke platform online, yang terpenting adalah memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak tertinggal dalam revolusi digital ini. Pelatihan keterampilan digital, pengembangan teknologi asistif yang terjangkau, serta advokasi untuk aksesibilitas digital akan menjadi prioritas baru bagi banyak organisasi.
Beberapa NGO bahkan sudah mulai bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menciptakan solusi inovatif, seperti aplikasi yang dirancang khusus untuk memudahkan penyandang disabilitas dalam mengakses layanan online dan bekerja secara digital, memastikan bahwa inklusi digital menjadi bagian integral dari transformasi ini. Lantas dalam konteks yang lebih praktik apa yang perlu digagas dalam konteks digitalisasi?
Pertama, pemberdayaan ekonomi digital menjadi solusi kunci dalam mengatasi tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas. Langkah konkret yang dapat diambil adalah mengembangkan platform pelatihan kerja online yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, pembuatan marketplace digital yang memprioritaskan produk UMKM penyandang disabilitas dapat membuka peluang ekonomi baru. Pelatihan keterampilan digital dan remote working juga sangat penting untuk meningkatkan kompetensi mereka di era digital. Tak kalah pentingnya adalah menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja inklusif.
Kedua, program edukasi dan kampanye publik berperan vital dalam mengubah persepsi masyarakat. Melalui kampanye media sosial yang intensif, stigma negatif terhadap penyandang disabilitas dapat dihapuskan secara bertahap. Pembuatan konten edukatif yang menampilkan potensi dan kemampuan mereka juga sangat diperlukan. Penyelenggaraan festival atau pameran karya dapat menjadi wadah apresiasi yang membanggakan. Pelibatan tokoh publik sebagai duta kampanye inklusi akan semakin memperkuat dampak positif program ini.
Ketiga, advokasi kebijakan berbasis data menjadi fondasi penting dalam perjuangan hak-hak penyandang disabilitas. Riset dan pendataan yang komprehensif tentang kondisi mereka dapat menjadi dasar pengajuan usulan kebijakan yang konkret dan tepat sasaran. Pembangunan koalisi dengan berbagai pemangku kepentingan akan memperkuat posisi tawar dalam advokasi. Pengawasan implementasi kebijakan yang sudah ada juga harus dilakukan secara konsisten untuk memastikan efektivitasnya.
Keempat, pengembangan teknologi asistif yang terjangkau merupakan terobosan yang sangat dibutuhkan. Penciptaan alat bantu mobilitas dengan biaya terjangkau akan memudahkan akses penyandang disabilitas dalam beraktivitas. Pengembangan aplikasi pendukung aktivitas sehari-hari dan platform pembelajaran yang aksesibel juga menjadi prioritas. Kolaborasi dengan startup teknologi untuk menciptakan inovasi baru akan semakin mempercepat kemajuan di bidang ini.
Beberapa solusi yang telah dipaparkan di atas memiliki fokus utama pada pemberdayaan, edukasi, advokasi, dan inovasi teknologi. Dengan implementasi yang tepat dan konsisten, solusi-solusi yang telah diajukan diharapkan dapat memberikan dampak nyata dalam meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas di Indonesia, menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, dan memberikan kesempatan yang setara bagi semua. [Penulis: Ebenezer Sondang Simanjuntak / Penyunting: Oka guelbertus]