Satunama.org.- Keberlanjutan program suatu organisasi yang bergerak di bidang pemberdayan masyarakat diharapkan mampu berkontribusi bagi perubahan sosial di tengah masyarakat. Program-program yang diusung sebagai langkah praksis tersebut tentu saja harus didorong dengan sumber pendanaan yang kuat dan secara masif mampu mendorong tercapai program-program yang telah direncanakan.
Konteks itulah yang mendasari pelaksanaan Pelatihan Change the Game Academy – Local Fundraising (LFR) Batch 3 pada Senin-Jumat, 18-22 Maret 2024 di SATUNAMA Training Center, bersama para peserta dari tujuh organisasi yaitu Bina Desa, Antara, Rujak, Kontras, Mitra Wacana, WALHI, Setara, dan ARKOM Indonesia. Mendefinisikan aktivitas utama, menjalin relasi dengan berbagai pihak, dan optimalisasi aktivitas fundraising itu sendiri menjadi menu sentral penguatan kapasitas dalam pelatihan ini.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama lima hari tersebut, para peserta juga diberikan pelatihan dengan memanfaatkan media digital melalui website Change The Game Academy (CTGA) sebagai salah satu sarana dalam fundraising. Pelatihan ini menggunakan modul online CTGA yang memungkinkan para peserta menyusun rencana LFR sesuai dengan kebutuhan masing-masing institusi. Dengan pendampingan LFR berbasis media ini, para peserta semakin dipermudah dalam mengekerangkai dan melakukan strukturisasi dari kegiatan fundraising mereka.
Selama kegiatan berlangsung, salah satu fasilitator yaitu Karel Tuhehay menekankan keberlanjutan dari LFR adalah ketidakbergantungan suatu lembaga pada pendonor besar atau tunggal. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar lembaga tersebut tetap eksis dengan berbagai program yang diusungnya. Suatu lembaga non-profit, harus mampu memikirkan aktivitas penggalangan dana lain baik dalam konteks sumber pendanaan maupun bentuk sumber daya fundraising lain yang sesuai untuk menopang keberlanjutan proyeknya.
“Fundraising tidak sebatas pada uang, tetapi juga berkaitan dengan tenaga sukarela dan barang-barang yang dihibahkan kepada suatu lembaga. Oleh karena itu, dalam penyusunan sebuah proyek, LFR plan juga melihat adanya kemungkinan fundraising dalam bentuk lain, seperti volunteering dan in-kind.” Kata Karel.
Dalam pelatihan ini, peserta diberikan kesempatan untuk membuat sebuah program fundraising secara terstruktur dan sistematis sesuai dengan materi yang diperoleh selama pelatihan LFR. Beberapa kriteria yang berlaku dalam presentasi tersebut; pertama, hasil finansial yang sepadan dengan investasi yang diberikan, seperti saldo bersih dan biaya investasi. Kedua, meyakinkan pemilihan donor potensial dan metode fundraising yang digunakan. Ketiga kualitas LFR, komposisi tim LFR, dan pembagian tugas di dalam tim tersebut.
LFR menjadi program yang menarik dan mampu memberdayakan komunitas-komunitas lokal non-profit yang bergerak untuk aksi-aksi sosial. Banyak hal menarik yang bisa dipelajari dan praksisnya mampu menjaga eksistensi sebuah lembaga.
“Kegiatan LFR menjadi salah satu program yang menarik untuk diikuti. Kami bisa saling bertukar pikiran dan pengalaman masing-masing. Di sini (LFR), kami tidak hanya berdiskusi, tetapi kami juga melakukan praktik dari apa yang kami pelajari. Sangat bagus dan menyenangkan.” Demikian kata Muazim, salah satu peserta Pelatihan LFR III. [Berita: Roby Tampang – Volunteer SATUNAMA/Penyunting: A.K. Perdana/Foto: Okka Gualbertus & Andri Setya]