Satunama.org – Yayasan SATUNAMA Yogyakarta memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat di empat desa di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi sejak tahun 2016. Pengalaman ini berpusat pada usaha-usaha bergerak bersama masyarakat di sana untuk mengelola hutan sebagai sumber daya alam menggunakan kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Hal ini menjadi salah satu cerita menarik yang muncul dalam acara Webinar Peduli “Belajar Kemandirian Sosial dari Masyarakat Adat dan Kepercayaan Lokal” yang diadakan oleh SATUNAMA. Tema kearifan masyarakat adat dan kepercayaan lokal perlu diangkat ke permukaan sebagai bagian dari upaya menginspirasi masyarakat lainnya.
Ide dasarnya adalah menggaungkan semangat kemandirian yang harus terus dilanjutkan. Konsep inilah yang kuat di masyarakat adat. Mekanisme sosial maupun budaya yang dikembangkan untuk situasi saat ini perlu didorong dan digelorakan agar kemandirian sosial dan pangan dapat terjaga.
Webinar ini sendiri diikuti oleh 88 peserta dari berbagai kalangan secara daring pada Kamis, 30 April 2020, pukul 10.00-13.00 WIB. Webinar dipandu oleh moderator milenial Valerianus Jehanu, Staf Unit kebebasan Beragama dan Berkepercayaan yang juga merupakan staf Program Peduli SATUNAMA.
Dalam kesempatan webinar ini, Suharsih, Koordinator Unit Pengelolaan Sumber Daya Alam SATUNAMA memaparkan beberapa praktik yang dilakukan SATUNAMA di Kabupaten Merangin dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan sosial. Arsih yang menjadi salah satu narasumber memulai dengan memberikan gambaran lokasi geografis empat desa yang menjadi mitra SATUNAMA di Merangin.
Pengelolaan Alam Bernuansa Lokal
Kabupaten Merangin dapat ditempuh menggunakan transportasi darat selama sekitar 6 jam dari ibukota provinsi Jambi. “Dari Merangin, jika kita ingin melanjutkan perjalanan ke desa-desa yang menjadi mitra SATUNAMA, dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam untuk mencapai desa-desa tersebut.” Ujar Arsih.
Sementara terkait asal usul dan sejarah masyarakat di sana, Arsih menyebutkan bahwa orang-orang Bathin dan orang- orang Penghulu menjadi leluhur bagi marga-marga yang kini bermukim di sana yaitu Marga Pasanggrahan, Marga Paratin Tuo dan Marga Pangkalan Jambu.
“Orang-orang Bathin ini dulunya hidup berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lainnya. Sementara orang Penghulu merupakan orang – orang Minang yang datang ke wilayah Jambi.” Kata Arsih sembari melanjutkan bahwa desa-desa yang menjadi mitra SATUNAMA memiliki penduduk bermarga turunan dari orang-orang Bathin dan Penghulu.
Desa-desa tersebut berada di sekitar hutan, kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Masyarakat di desa-desa tersebut memiliki potensi komoditas perkebunan seperti karet, kopi, petai, durian, jahe dan kepayang.
“Jumlah penduduk di keempat desa ini sekitar 2.500 jiwa. Yang menjadi catatan menarik adalah bahwa masyarakat di sana masih memegang teguh nilai-nilai adat mereka, termasuk dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.” Kata Arsih, mulai membuka paparannya lebih dalam.
Masyarakat di Desa Tiaro misalnya. Desa ini berada di dekat sungai dan hutan. Sungai dan hutan menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat di Tiaro dan juga masyarakat desa lainnya. Dari sungai dan hutanlah mereka mencukupi kebutuhan mereka.
“Sungainya jernih dan ada banyak ikan di sana. Memancing ikan adalah salah satu hal yang dilakukan masyarakat di sana untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.” Kata Arsih.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, masyarakat di sana memiliki beberapa kaerifan yang masih terus diterapkan. Salah satunya adalah yang disebut dengan Pantang Larang Ninik Mamak. Ini menegaskan beberapa larangan adat yang turun temurun yaitu bahwa durian dilarang dipanjat, sementara kepayang dan petai dilarang ditebang.
Kepayang merupakan pohon endemik di sana yang bisa diolah menjadi minyak goreng. Kepayang mengandung omega 3, omega 6, omega 9, anti oksidan dan bahkan anti mikroba juga. Sementara durian menjadi salah satu buah andalan di desa-desa di sana.
“Turun temurun masyarakat di sana mengolah kepayang baik sebagai obat maupun sebagai minyak goreng. Untuk durian, masyarakat di Tiaro mengolahnya menjadi lempuk. Atau kalau kita kadang mengenalnya dengan sebutan dodol. Ini merupakan indigenous product yang terus kami dorong untuk dilestarikan.” Demikian Arsih menjelaskan.
Sementara di Lubuk Larangan, sebuah kawasan di Sungai Batang Merangin terletak di Desa Birun, Di sungai ini terdapat ikan endemik yang bernama ikan semah yang dibudidayakan di sana. Arsih menjelaskan bahwa kawasan budidaya ini sepanjang 1 kilometer dan siapapun dilarang mengambil ikan dalam jangka waktu tertentu dan ini juga kemudian diatur dalam Peraturan Desa.
“Ikan hanya boleh diambil saat kawasan ini dibuka dan ikan pun hanya boleh diambil dengan cara dipancing. Tidak diizinkan menggunakan cara lain.” Katanya.
Beberapa aturan dan praktik pengelolaan hutan dan sungai memang telah lama diterapkan oleh masyarakat di sana. Praktik-praktik ini berakar dari nilai-nilai pelestarian alam sehingga sanksi atau hukum pun juga diterapkan dalam menjaga kelestarian alam di sekitar mereka.
Beberapa aturan tersebut misalnya kalau menebang satu pohon, wajib mananam lima pohon. Tidak boleh mengambil ikan dengan menggunakan racun. Ternak harus dijaga agar tidak merusak lahan. Mereka menyebutnya dengan istilah Nengok Kandang. Ada aturan adat Manduk dan Doa Padang dalam membuka lahan yaitu berdoa, tata cara, gotong royong dalam prosesnya.
“Untuk sanksi, biasanya berupa denda yang dibebankan kepada pelanggarnya. Denda bisa berupa uang, beras, hewan beserta kelengkapannya atau sebutannya Selemak Semanisnya.” Jelas Arsih.
Untuk memastikan bahwa hutan-hutan di keempat desa dikelola oleh masyarakat, mereka mengajukan Hak Kelola Hutan dengan skema Perhutanan Sosial. Salah satunya adalah hutan di kawasan Lubuk Larangan di mana terdapat sebuah hutan desa seluas sekitar 2.600 hektar yang pada 2017 lalu mendapatkan SK Hak Pengelolaannya.
Praktik Isolasi Saat Wabah
Dalam konteks perlindungan sosial, masyarakat di keempat desa berpegang pada prinsip kerjasama menyatukan sumber daya dan pengetahuan. Istilah mereka, Baumo samo dapek padi, batambang samo dapat emas. Mereka saling berbagai hasil kebun agar dapat saling mencukupi kebutuhan seluruh warga desa.
Ada praktik menarik yang juga sudah dilakukan sejak lama dalam konteks menghadapi wabah penyakit. Jika mengalami sakit, masyarakat di sana terbiasa pergi ke orang yang sudah dikenal ahli dalam meracik obat menggunakan tumbuhan di sekitar mereka. “Kalau sakit gigi misalnya, ada obat tradisionalnya .” Ujar Arsih.
Sementara terkait wabah penyakit, praktik isolasi ternyata juga sudah dilakukan oleh masyarakat, khususnya jika berkaitan dengan wabah penyakit menular. Jika ada yang sakit, akan dibangunkan pondok di hutan dan orang yang sakit akan tinggal di sana. Sementara kebutuhan pokoknya wajib dipenuhi oleh masyarakat.
“Mereka juga punya istilah bagi orang yang sakit dengan sebutan Keno Isi Tanah. Ini menunjukkan bahwa orang sakit juga diyakini sangat terkait dengan dinamika alam.” Ujar Arsih.
Praktik pengelolaan dan perlindungan hutan-sungai serta praktik perlindungan sosial menjadi dua komponen penting bagi kehidupan masyarakat di empat desa mitra SATUNAMA di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi untuk tidak hanya bisa terus bertahan hidup, namun juga sekaligus melestarikan alam dan aset pengetahuan leluhur mereka yang hingga hari ini terbukti masih sangat aplikatif dan berdampak dalam membantu mereka menjalani hidup.
Pada kesempatan Webinar ini, Musri Nauli sebagai penanggap menambahkan terkait pengetahuan empirik masyarakat tentang pengobatan (etno farmasi) perlu lebih ditonjolkan agar lebih kuat secara narasinya.
Misal terkait Daun Sungka, salah satu obat demam untuk direbus dan airnya diminum. Kemudian ada Akar Lalam, sebagai obat sakit perut/pencernaan. Di Suku Talang Mamak ada sekitar 110 pengobatan. Musri melanjutkan, pengobatan-pengobatan lokal di masyarakat adat tersebut dapat menjadi salah satu laboratorium empirik terkait etno farmasi tersebut. [Ariwan Perdana/SATUNAMA, Editor: Bima Sakti]