Politik Keadaban : Agenda dan Strategi Politisi Muda

Satunama.org – Premis dasar yang digunakan oleh Satunama melalui Sekolah Politisi Muda adalah: Politisi dan Partai Politik tidak boleh terus diumpat. Perlu ada intervensi untuk memastikan aktor politik dan partai politik terlibat dalam upaya transformasi bangsa. Perjalanan Sekolah Politisi Muda selama hampir lima tahun menunjukkan bahwa ada banyak tantangan sekaligus peluang yang berhimpitan.

Bermandi Potensi, Berbanjir Tantangan

Djayadi Hanan, peneliti LSI sekaligus salah satu pengajar di Sekolah Politisi Muda mengatakan bahwa terlepas dari ukuran usia yang digunakan untuk menyebut apa itu muda, yang jauh lebih penting adalah merumuskan karakter muda itu sendiri. Karakter muda yang pertama adalah kebaruan atau newness dari yang ada saat ini. Politisi muda harus bisa memberikan sesuatu dari hal yang biasa terjadi. Karakter kedua adalah yang terkait dengan disruption yakni ketika sesuatu yang baru tadi digunakan untuk memperbaiki sistem, proses dan peristiwa. Jadi, yang dimaksud dengan muda adalah pertautan antara usia dan karakter. Ini menjadi potensi pertama untuk mendiskusikan peluang politisi muda dalam belantika politik Indonesia.

Peluang yang kedua adalah pengalaman elektoral menunjukkan bahwa dalam periode ini ada peningkatan 1.3% dibanding periode sebelumnya untuk jumlah politisi muda yang masuk ke Senayan. Angka ini memang tidak terlalu banyak, dan tidak banyak juga yang berusia muda menjadi anggota DPR. Data LSI, anggota DPR periode 2019 yang berusia 21-40 Tahun hanya 95 orang atau 16.2% saja. Menurut Djayadi hal ini mengindikasikan bahwa anak muda sudah mulai mewarnai politik. Pengalaman elektoral di Pilkada juga dapat dilihat bagaimana kepala daerah milenial mulai bertumbuhan. Data lain juga menunjukkan, Partai Politik yang memperoleh stagnansi suara dibanding periode 2014 adalah partai dengan pemilih muda yang jumlahnya menurun. Artinya, partai politik juga harus melakukan penyesuaian dengan memperhatikan pemilih muda, termasuk merespons dukungan 50,1% masyarakat Indonesia agar mulai ada pemimpin muda di Partai Politik.

Potensi yang ketiga adalah bonus demografi. Premis dasar untuk faktor demografi ini adalah besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia, yang tentunya memiliki kiblat aspirasi berbeda dengan generasi lebih tua dan sudah tidak bekerja. Dalam hal ini politisi muda harus bisa menyelami hal itu. Namun demikian, bonus demografi juga pisau bermata dua, dengan kata lain juga bisa menjadi tantangan mengingat 65% orang Indonesia berpendidikan SMP ke bawah. Pada titik ini, politisi muda harus bisa menyelami persoalan dengan menggunakan pendekatan baru untuk menangani persoalan demografi.

Potensi yang keempat adalah berkembangnya Internet of Things. Teknologi biasanya lebih akrab di genggaman orang muda, dan hal ini menjadi peluang bagi Politisi Muda untuk memanfaatkannya. Prof. Hamdi Muluk mengatakan bahwa penggunaa Internet of Things ke depan juga bisa memangkas fungs konstituensi yang panjang di rantai kepengurusan Partai Politik. “Makin lama saya lihat dengan teknologi, yang namanya konstituen bisa meraih ke pusat atau calon langung, dengan begitu hilangkan saja keharusan costly yang sudah ada, misalnya Partai harus punya kantor cabang atau sampai ke tingkat ranting. Ini semua bisa dipangkas atau bahkan hilang seperti juga cerita disrupsi di dalam Pasar”.

Keempat potensi Politisi Muda itu juga tidak sepi tantangan, justru berbanjir tantangan. Hal pertama yang menjadi tantangan adalah orang Indonesia masih tidak tertarik dengan politik, dan orang muda yang tertarik politik juga cenderung stagnan. Tantangan yang kedua adalah kepercayaan terhadap partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang selalu berada di bawah dibandingkan lembaga-lembaga lain. Survey LSI menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap DPR bahkan mengalami kemerosotan sepanjang sejarah pada Oktober 2019 kala publik dihiasi dengan perdebatan revisi Undang-Undang KPK. Tantangan yang ketiga adalah persepsi negatif terhadap Partai Politik. Masyarakat masih menganggap bahwa partai memperjuangkan kepentingannya sendiri. Hal ini menjelaskan alasan mengapa masih marak pragmatism warga dalam dimensi elektoral. Jawabannya sama seperti pernah ditulis dalam buku berjudul “Democracy in Translation” yaitu demokrasi diterjemahkan sebagai bagi-bagi rejeki. Politik uang menjadi marak karena persepsi warga terhadap partai politik dan politisi adalah sekumpulan orang yang ingin mencari dan mempertahankan pekerjaannya, maka konsekuensinya, warga pun mempertanyakan “saya dapat apa?”. Dengan kata lain, untuk mempertahankan pekerjaan maka politisi harus memberi jatah pada warga. Tantangan yang keempat adalah Oligarki Partai, di tengah desentralisasi masif yang didorong di Indonesia, justru di Partai Politik terjadi sentralisasi masif.

Blok Politik Politisi Muda: Sebuah Agenda Strategi

Untuk mengurai sekian tantangan dan optimalisasi sekian peluang maka hal mendasar yang harus dilakukan adalah berpijak pada politics of ideas. Gagasan menjadi kunci yang membedakan agenda politisi muda dengan yang lainnya. Menurut Djayadi Hanan peluang untuk mendorong gagasan ini ada karena 35% pemilih di Pemilu 2019 mengaku preferensi memilihnya ditentukan oleh kesesuaian gagasan dengan calon yang dipilih. Ada dua jalan yang bisa dilakukan sebagai opsi lain yang patut diupayakan untuk poros Politik Berkeadaban.

Hal pertama adalah melakukan pendidikan politik bagi Politisi muda seperti yang coba dikerjakan Satunama. Hamdi Muluk mengatakan optimis dengan pilihan ini karena kecenderungan manusia untuk menggunakan memori, sehingga pendekatan kognitif itu akan ada jejaknya. Ada tiga teori yang dapat dijadikan pijakan agar optimis bahwa pendidikan politik bisa berhasil sekalipun butuh waktu cukup lama. Teori pertama adalah teori homophili yang mengatakan “orang dengan nilai-nilai yang sama akan mengelompok menjadi satu, akan cenderung terhubung juga”. Teori kedua adalah kebaikan bisa ditukarkan. Teori ketiga adalah Quantum yang dikenal dalam Fisika. Jika semua teori ini bekerja maka kumpulan alumni politisi muda yang tidak banyak jumlahnya ini akan berjejaring dan menularkan nilai-nilai keadaban politik, lalu bertemu dengan banyak pihak lain yang satu visi, hingga kemudian meledak menjadi satu kekuatan besar seperti didalilkan teori Quantum.

Jalan yang kedua adalah membentuk Kaukus. Dalam membentuk Kaukus maka harus dibagi dalam tiga strategi. Pertama, pembentukan kaukus di internal partai (intra-party political caucus). Politisi muda harus mulai menginisiasi pembentukan kaukus di partainya masing-masing. Siasat yang harus dilakukan adalah kaukus internal berusaha untuk mendeliver isu yang strategis di luar soal eksistensi, kontroversi dan perhatian publik yang ketiganya biasanya dikungkung oleh Partai Politik. Dalam hal ini, politisi muda harus siap untuk bekerja pada isu-isu yang tidak popular, namun penting diperjuangkan.

Strategi yang kedua adalah membentuk Kaukus antar partai (inter-party political caucus). Upaya ini patut dicoba mengingat tidak ada batasan ideologis yang cukup kentara di antara partai politik di Indonesia. Strategi yang ketiga adalah Kaukus yang beyond Partai (beyond party caucus/ coalition). Strategi ini menghendaki adanya koalisi diagonal lintas partai dan regional, serta keterlibatan unsur non-partai seperti aktivis gerakan dan lain sebagainya. Untuk mampu mengerjakan koalisi yang demikian maka basis utamanya adalah ide dan gagasan. Tidak ada artinya jika tanpa gagasan.

Intervensi Perubahan Sosial

Pada akhirnya serangkaian strategi ini harus dirumuskan dalam sebuah skema perencanaan yang berbasis hasil. Untuk kepentingan itulah Satunama terlibat. Direktur Satunama, William Aipipidely mengatakan bahwa modifikasi kurikulum akan terus dilakukan, multi pendekatan yang mengawinkan pendekatan aktor dengan sistem juga akan terus dirumuskan agar kerja-kerja ini berarti bagi usaha untuk menembus democracy meaningfull. William mengajak agar partai politik juga terlibat dalam langkah-langkah kecil untuk memastikan kehadirannya bermakna bagi perubahan sosial. Politisi muda juga harus berpikir dan berorientasi pada perubahan sosial, sampai di level memastikan keresahannya ada pada mereka yang terpinggirkan, memastikan bahwa pikirannya diartikulasikan bagi kebijakan yang mendorong anak-anak bersekolan dan mendorong kelompok marjinal memperoleh kehidupan yang lebih baik di Indonesia. [Penulis: Valerianus B.J.]

Tinggalkan komentar