Semiloka Hasil Riset Inklusif Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016

Satunama.org – Tahun 2017 lalu ada sebuah peristiwa besar dan momen bersejarah bagi seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia. Pada tanggal 7 Nopember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permintaan pemohon, Nggay Mehang Tana (Marapu), Pagar Demanra Sirait (Parmalim), Arnol Purba (Ugamo Bangsa Batak) dan Carlim (Sapto Darma) dalam Uji Materi UU Adminduk no 24 tahun 2013 tentang pengosongan kolom agama di KK dan KTP.

Putusan MK no. 97/2016 ini menjadi pintu masuk bagi pemulihan hak, harkat dan martabat penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur.  Karena selama ini para penganut agama leluhur mengalami diskirminasi maupun stigmatisasi. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami pengalamanpengalaman buruk yang berdampak terhadap akses layanan. Tidak mendapatkan layanan identitas, seperti KK/KTP, akses penidikan atau akses bantuan ekonomi.

Lalu, apakah dengan putusan MK tadi, penghayat kepercayaan secara otomatis mendapatkan hak-haknya yang setara dengan warga lainnya?

Dalam sidang putusan yang dibacakan pada Selasa, 7 November 2017, MK menyatakan bahwa administrasi kependudukan merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak yang melekat bagi setiap warga negara tanpa terkecuali dan wajib untuk dilayani secara sama sebagaimana telah diatur melalui UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Nantinya kolom agama bagi penghayat kepercayaan akan diisi dengan penghayat kepercayaan tanpa perlu merinci kepercayaan yang dianut. Hal ini bertujuan untuk tertib administrasi mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.

Proses implementasi putusan MK ini terbilang lama, mengingat adanya sejumlah pro dan kontra di kalangan masyarakat dan juga bahkan pemerintah serta legislatif. Melihat pentingnya tindak lanjut oleh pemerintah terkait putusan MK agar bisa diterapkan hingga di tingkat daerah dalam mewujudkan pelayanan publik terhadap kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia, serta perwujudan masyarakat yang inklusif, maka Yayasan SATUNAMA melalui Unit Riset & Pengembangan Sektor Pengetahuan & Media (KSDM) menggelar Riset Aksi Inklusif tentang Dampak Tertundanya Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 Terhadap Pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat Kepercayaan di Indonesia.

Riset ini telah dilakukan selama kurun waktu dua bulan untuk melihat secara lebih akurat dampak utama yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program ketika tidak/belum ada praktik-praktik dan respon-respon inklusi sosial dalam aspek kebijakan publik, pelayanan publik dan penerimaan sosial setelah munculnya Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016.

Penerapan riset kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk mendapatkan basis pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodis sekaligus hasil akhir, sehingga dapat digunakan sebagai dukungan pengetahuan dan data untuk kebutuhan advokasi guna mendukung terwujudnya kebijakan inklusi yang substansial dan teknis di indonesia.

Riset tersebut meneliti 3 hal utama, yaitu: (1) Kebijakan Publik, (2) Pelayanan Publik dan (3) Penerimaan Sosial. Ketiga hal tersebut untuk melihat sejauh mana tingkat inklusifitas sebuah wilayah.

Samsul Maarif, Akademisi dan Peneliti CRCS-UGM, selaku Peneliti Ahli dalam Riset ini, memaparkan berbagai temuan dari hasil analisis penelitian yang dilakukan pada Bulan Maret 2018 lalu ini. Dalam pelaksanaanya riset ini juga menggandeng Ryan Sugiarto, Akademisi dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, sebagai Peneliti.

Dalam paparan laporan akhir riset, pada 23 Juli 2018 di balai Latihan Yayasan SATUNAMA, penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: (1) Tindak lanjut putusan MK, pencatatan kepercayaan di KTP-el perlus segera dilakukan. (2) Pemberdayaan kelompok Penghayat, mulai dari pendataan, pengorganisasian dan pendaftaran. Juga terkait pendidikan kewarganegaraan, maupun juga dengan mengadakan dialog bertema pengkayat kepercayaan dan dialog dengan komponen masyarakat. (3) Kerjasama lintas sektor, MLKI, CSO, Akademisi (Kampus), Pemda dalam kaitannya dengan penguatan dan pemberdayaan kelompok penghayat kepercayaan.

Tinggalkan komentar