Demokrasi Minus Keterusterangan

Yayasan SATUNAMA Yogyakarta, Selasa (3/5) menggelar sarasehan dengan tema Demokrasi Kini dan Nanti: Refleksi atas Perjalanan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Sarasehan menghadirkan beberapa narasumber, salah satunya adalah Prof Purwo Santoso, Guru besar Fisipol UGM.

Dalam paparannya, Prof Purwo menyebutkan tentang kerumitan yang ada atas nama demokrasi saat ini. “Kita terjebak dalam situasi paradogsal. Kita harus punya ruang manuver dan jalan-jalan baru agar bisa meniti perubahan dan demokratisasi bisa dilakukan,” katanya.

Lebih lanjut, dia berharap ada penataan secara epistemologis tentang bagaimana demokrasi berjalan. Menurut Prof. Purwo, demokratisasi selalu dilandasskan pada teori-teori yang mainstream dan menghindari teori yang ditabukan. “Kita ini hanya mengamati yang menjadi berita, mengamati orang-orangnya, dan tidak mudah menangkap arus di bawah kesadaran yang itu adalah nalar kita tentang berbangsa,” lanjutnya.

Demokrasi sebagai hajat bersama mendapatkan cara pandang yang berbeda, individualitstik, dan kolektivis. Indonesia di tahun 200an menekankan pada aspek individual, seperti hak pilih. Tokoh yang ingin menang memobilisasi individualitas menjadi kolektivitas.

“Indonesia sebagai kolektivitas ini tidak terbentuk. Akibatnya kita sibuk dalam berbagai kontestasi. Karena tidak sanggup merajut kolektivitas secara keseluruhan, sehingga kita malah membakar api kecil tentang keindonesiaan. Demokratitasi adalah proses menyelesaikan keindonesiaan itu,” jelasnya.

Kecenderungannya sekarang akar demokrasi harus diperkuat. SATUNAMA sudah melakukan dengan sekolah kepartaian. Pada teori budaya, demokrasi adalah membicarakan yang kasat mata, tetapi soal ideologi dan nasionalisme menjadi hilang.

“Masyarakat yang sadar hak justru menggunakan haknya untuk transaksi. Demokrasi belum menjadi hegemoni yang dinikmati bersama jika tidak punya diskursif desain yang mampu membicarakan dari yang abstrak hingga yang konkrit. Proses diskursif inilah yang harus dilakukan,” tambahnya.

Acuan proses demokratisasi yang memandu perjalanan SATUNAMA selama 17 tahun adalah transisi politik demokatisasi.”Hari ini kita berada dalam alam demokrasi liberalisasi jilid dua minus keterusterangan. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak hadir dalam gerakan politik. Apakah partai adalah eksponen demokrasi? Ini yang masih harus dijawab,” tandasnya.

Cara membuat demokrasi berjalan adalah bahwa struktur harus diambil oleh warga negara, bukan pada orang yang membuat keputusan atas nama warga negara. Kewarganegaraan menjadi elemen penting. “Kita perlu merumuskan instrumen untuk mengukur demokrasi yang lebih sensitif. Maka diperlukan reformulasi dan mengukur capaian demokrasi dari waktu kewaktu. Selama ini kita hanya sibuk menuntut, tapi kita jauh sekali dari selesai.” Tutupnya.

Sarasehan ini dilakukan sebagai bagian persiapan Yayasan SATUNAMA untuk menyusun perencanaan strategis 2037. Selain Prof. Purwo Santoso, pembicara lainnya adalah Dr. Chusnul Mariah, dan Benny Susetyo, Pr. []

Penulis : Ryan Sugiarto
Penyunting : Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar