Satunama.org – Bagi masyarakat adat di Ketemenggungan Tae dan Ketemenggungan Sisang, Kabupaten Sanggau, hutan bukan sekadar bentang alam yang ditumbuhi pepohonan. Hutan adalah ruang hidup yang memberi pangan, obat-obatan, dan sumber identitas yang diwariskan oleh leluhur. Di dalamnya tertanam nilai spiritual, sosial, dan kultural yang menopang keberlanjutan komunitas. Namun, ruang gerak masyarakat adat dalam mengelola hutan semakin hari kian menyempit. Bukan karena hilangnya pengetahuan dan tradisi lokal, melainkan karena peraturan formal yang lahir dari negara sering kali menyingkirkan otoritas adat yang telah ada jauh sebelumnya.
Tumpang tindih peraturan turut memperparah keadaan. Pengelolaan hutan berbasis hukum adat yang telah dipraktikkan secara turun temurun kerap dinilai tidak sah hanya karena tidak terdokumentasikan dalam sistem hukum negara. Sebaliknya, peraturan desa dipandang lebih kuat karena berbasis kerangka legal formal. Situasi ini menempatkan masyarakat adat dalam posisi dilematis. Tradisi tetap mereka jalankan, namun kuasa formal untuk mengatur arah pengelolaan hutan semakin hilang dari tangan mereka.
“Hutan ini bukan hanya tempat kami mencari makan. Di sinilah leluhur kami berdiam, dan di sinilah kami mendidik anak-anak kami tentang adat. Kalau hutan ini hilang, maka hilang pula hidup kami,” ujar Marselus Yopos, Temenggung Dayak Tae, Kabupaten Sanggau.

Secara formal, sebenarnya negara sudah memberikan ruang bagi pengakuan hutan adat. Di Kabupaten Sanggau, misalnya, telah terbit Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Aturan ini kemudian ditindaklanjuti di tingkat kabupaten melalui SK Bupati Nomor 326 Tahun 2018 yang menetapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Tae di Desa Tae, Kecamatan Balai. Pengakuan tersebut semakin kuat dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5770/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL.1/9/2018 yang menetapkan Hutan Adat Tae.
Hal serupa juga berlaku bagi Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang di Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam. Mereka telah memperoleh pengakuan melalui SK Bupati Nomor 405 Tahun 2019, yang kembali diperkuat oleh SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5771/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL.1/9/2018 tentang penetapan Hutan Adat Sisang.
Meski pijakan hukum sudah jelas, otoritas dalam mengelola hutan adat tetap diperebutkan. DPRD Kabupaten Sanggau memegang peran strategis karena lembaga inilah yang melahirkan regulasi formal terkait pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Namun, posisi DPRD tidak sederhana. Mereka sering terjebak pada kepentingan politik lokal, antara menjaga legitimasi adat, menyesuaikan kepentingan eksekutif daerah, hingga mengikuti arah regulasi nasional. Sementara itu, masyarakat adat terus meneguhkan klaim atas hutan melalui praktik sehari-hari yang mengakar, misalnya ritual adat, penetapan wilayah larangan, hingga pengelolaan pemanfaatan hutan berdasarkan warisan leluhur. Di sinilah letak ketegangan, “otoritas adat” yang hidup dalam keseharian sering kali tidak terdefinisikan dalam kerangka hukum negara.

Di tengah tarik-menarik kepentingan tersebut, SATUNAMA hadir sebagai kekuatan penopang masyarakat adat. Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendampingi kelompok minoritas, SATUNAMA bekerja tidak hanya di tingkat komunitas, tetapi juga dalam arena kebijakan. Melalui Proyek “Penguatan Kapasitas Kelompok Rentan” yang didukung oleh BfDW, SATUNAMA mendorong lahirnya aturan tertulis yang memiliki kedudukan setara dengan peraturan desa untuk menegaskan hak pengelolaan hutan adat. Di saat bersamaan, upaya advokasi kepada DPRD dan pemerintah daerah terus dilakukan agar peraturan daerah dan Surat Keputusan (SK) yang sudah ada, benar-benar berpihak pada masyarakat adat dan dapat diimplementasikan, bukan sekadar menjadi dokumen administrasi semata.
Dengan kata lain, hutan adat hari ini menjadi arena kontestasi berbagai aktor. DPRD mengklaim perannya melalui kewenangan membuat regulasi, masyarakat hukum adat menegaskan kedudukan mereka melalui praktik dan legitimasi budaya, sementara SATUNAMA mengintervensi melalui kerja advokasi dan jejaring kebijakan untuk memperkuat posisi adat di ranah formal. Dinamika ini memperlihatkan bahwa proses pengakuan hutan adat bukan sesuatu yang netral, ia selalu dipengaruhi oleh tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, sekaligus identitas komunal.
“Kami ingin generasi muda tetap bisa mengelola hutan dengan cara leluhur, tapi juga punya perlindungan hukum. Dengan begitu, kami tidak hanya bertahan, tetapi juga berdaulat,” ungkap Temengok (Ketua Adat) Dayak Sisang, Ageus Laemudin.
Pada titik ini, hutan adat bukan hanya wilayah fisik, namun ruang hidup yang diperebutkan maknanya. Negara, SATUNAMA, dan masyarakat adat masing-masing memiliki justifikasi atas otoritasnya. Ini menunjukkan bahwa wacana tentang siapa yang berhak mengatur hutan adat selalu bersifat essentially contested, tidak pernah selesai diperdebatkan. Namun, melalui pendampingan yang konsisten, SATUNAMA berupaya memastikan bahwa suara masyarakat adat tidak tenggelam. Sebab, tanpa masyarakat adat, hutan hanyalah ruang kosong tanpa makna kehidupan.
Referensi:
Gallie, W. (1956). Essentially Contested Concepts. Proceedings of the Aristotelian Society, 56, 167-198. https://doi.org/10.1093/aristotelian/56.1.167
(Penulis: Dwi Anggita / Editor: Agustine Dwi / Foto: Dwi Anggita)