Pemuda Tiaro Melawan Krisis Iklim

Satunama.org – Sabtu pagi itu, udara di Desa Tiaro, Kecamatan Muara Siau, Kabupaten Merangin, begitu panas. Matahari terasa lebih dekat dari biasanya, menyengat hingga ke ubun-ubun. Padahal, sehari sebelumnya, hujan lebat mengguyur desa tanpa henti. Tanah becek masih menempel di sepatu para peserta ketika mereka mulai berdatangan ke salah satu rumah warga tempat pertemuan. Rumah panggung kayu berukuran 10 x 10 meter menjadi saksi, lima puluh anak muda berkumpul dengan satu tujuan: memahami dan melawan krisis iklim yang kini semakin nyata di kampung mereka.

Bagi masyarakat Desa Tiaro, perubahan iklim bukan sekadar isu global yang dibicarakan di forum-forum besar. Ia hadir di depan mata, dalam bentuk tanah longsor yang makin sering, cuaca yang sulit diprediksi, serta panas terik yang membakar kebun karet mereka.

“Sekarang ini, hujan bisa turun di bulan yang seharusnya kemarau. Kadang sebaliknya, kemarau bisa berlangsung berbulan-bulan,” ujar Muzakir, perwakilan pemuda Tiaro, ketika ditemui di sela kegiatan Pendidikan Ekologi Generasi Muda tentang Perubahan Iklim dan Perlindungan Hutan (4/10/2025).

Menurutnya, perubahan pola cuaca telah memicu berbagai masalah baru di desa. Banjir sempat merendam kebun-kebun masyarakat di beberapa titik, sementara kebakaran lahan makin sering terjadi akibat musim kering yang berkepanjangan. “Tanah cepat kering, rumput jadi bahan bakar api,” tambahnya.

Kegiatan pemaparan materi pelatihan (Foto: Dyah Ayu)

Karet, komoditas utama warga Tiaro, juga terkena imbasnya. Cuaca lembab dan tak menentu membuat getah sulit disadap, sementara harga jualnya menurun drastis.

Titik, salah satu peserta pelatihan, melihat langsung dampak sosial dari perubahan iklim di desanya. “Karena hasil karet menurun, ekonomi jadi sulit. Banyak yang kehilangan semangat bekerja di kebun. Sekarang sering terjadi pencurian hasil kebun lain, seperti kopi dan buah sawit,” ujarnya.

Ia menilai, perubahan gaya hidup di kalangan anak muda juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang makin terjepit. “Gaya hidup sudah berubah, tetapi ekonomi yang semakin sulit akibat cuaca membuat maraknya pencurian hasil kebun sekarang,” katanya lirih.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa krisis iklim tak hanya berdampak pada alam, tetapi juga mengguncang struktur sosial di tingkat paling dasar, yaitu desa.

Belajar dari Alam, Bergerak untuk Solusi

Kegiatan yang digagas oleh SATUNAMA bekerja sama dengan TEBTEBBA melalui program Indigenous People’s Assistance Program (IPAF) ini dirancang untuk memperkuat kapasitas generasi muda di wilayah adat dalam menghadapi perubahan iklim.

Di bawah bimbingan fasilitator yang berprofesi sebagai jurnalis media independen Mongabay, para peserta belajar mengenali sebab dan akibat perubahan iklim, upaya aksi mitigasi dan adaptasi, hingga pencegahan kebakaran hutan.

Mereka kemudian diminta memetakan sendiri masalah lingkungan yang mereka alami di sekitar desa. Kertas plano berukuran besar terbentang di lantai. Satu per satu peserta menulis kata kunci dengan spidol. Banjir, longsor, panas ekstrem, kebakaran, kehilangan sumber air, adalah beberapa kata yang menjadi ekspresi mereka. 

Foto: Peserta pelatihan memetakan permasalahan lingkungan di sekitar desa (Foto: Dyah Ayu)

Diskusi berlangsung hangat di tengah teriknya siang. Dari hasil pemetaan itu, para pemuda kemudian mencari solusi. Ada yang mengusulkan membuat kelompok pemantau hutan muda, sebagian lain ingin memulai kembali tradisi menanam pohon di sekitar sumber air.

“Kalau bukan kami yang jaga, siapa lagi?” ucap salah seorang peserta dengan nada tegas. Kalimat itu menggema di ruangan dan menjadi penanda bahwa kesadaran mulai tumbuh dari dalam diri generasi muda desa ini.

Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan

Desa Tiaro adalah salah satu wilayah adat di Merangin yang masih memiliki hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi. Namun, tekanan ekonomi dan perubahan iklim telah menggeser pola hidup masyarakat. Sebagian warga mulai beralih ke tambang emas tanpa izin dan menanam sawit di lahan-lahan miring.

“Kalau dibiarkan, bukan hanya hutan yang hilang, tapi juga pengetahuan lokal dan budaya adat yang selama ini menjaga keseimbangan alam,” ujar Elviza, fasilitator kegiatan.

Karena itu, pendidikan ekologi bagi generasi muda menjadi penting. Mereka diajak memahami bahwa hutan bukan sekadar bentang hijau, melainkan sumber kehidupan, air, pangan, dan identitas budaya.

Foto: Deklarasi kesepakatan peserta pelatihan, selaku anak-anak muda Tiaro, untuk menjaga dan meilindungi hutan (Foto: Dyah Ayu).

Menjelang sore, setelah sesi diskusi dan refleksi selesai, para peserta berdiri setengah melingkar di halaman rumah. Angin hangat berhembus lembut, menggantikan terik siang yang mulai mereda. Anak-anak muda Desa Tiaro bersepakat dalam satu deklarasi untuk menjaga dan melindungi hutan sebagai sumber kehidupan, melestarikan pangan lokal sebagai kedaulatan dalam menghadapi krisis iklim dan merawat  budaya sebagai identitasnya. 

Deklarasi itu ditandatangani bersama, “Ini bukan akhir, tapi awal dari langkah kami,” kata Muzakir dengan tersenyum.

Apa yang dilakukan anak-anak muda Tiaro mungkin terlihat kecil. Namun, di tengah krisis iklim global yang kian nyata, gerakan kecil di desa justru menjadi pondasi besar untuk perubahan.

Desa Tiaro kini tak lagi sekadar penonton dari perubahan cuaca yang makin ekstrem. Mereka sedang menulis bab baru tentang harapan, dengan pena yang dibuat dari kesadaran, kerja sama, dan cinta pada alam.

Ketika hujan dan panas datang silih berganti tanpa bisa diprediksi, anak-anak muda Tiaro memilih untuk tidak menyerah. Mereka memilih untuk belajar, beraksi, dan berkomitmen. Karena bagi mereka, melawan krisis iklim bukan sekadar bertahan, tapi memastikan masa depan desa mereka tetap hijau, subur, dan hidup.

(Penulis: Dyah Ayu Puspitaningtyas / Editor: Agustine Dwi / Foto: Dyah Ayu Puspaningtyas)

Tinggalkan komentar