Setiap tahap kehidupan memiliki dinamika emosional tersendiri. Masa dewasa awal, misalnya, kerap kali menjadi masa yang penuh gejolak. Individu mulai menghadapi tekanan tanggung jawab baru, kekhawatiran terhadap masa depan, perasaan tidak cukup sukses dibandingkan rekan kerja, hingga penyesalan karena tujuan hidup belum tercapai. Masa ini juga sering diwarnai dengan kebutuhan untuk menyendiri atau mencari kenyamanan emosional di lingkaran sosial tertentu. Semua ini menunjukkan betapa pentingnya kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi atau yang disebut dengan regulasi perasaan.
Penelitian menunjukkan bahwa regulasi emosi memiliki peran penting dalam kesehatan mental, terutama dalam konteks depresi, yang saat ini menjadi salah satu penyakit dengan kasus tertinggi kedua di Indonesia setelah penyakit jantung. Ketidakmampuan meregulasi emosi bukan hanya dialami oleh mereka yang hidup dengan depresi, tetapi juga oleh banyak orang yang berada dalam tekanan kerja, beban sosial, ataupun kondisi psikososial tertentu. Tak terkecuali adalah mereka yang hidup sebagai Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP).
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta, melalui Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa (RPKJ), menghadirkan pendekatan pemulihan berbasis institusi yang ramah dan manusiawi. RPKJ berperan sebagai rumah antara (halfway house) bagi ODDP yang tengah menjalani proses pemulihan sebelum kembali hidup secara mandiri di tengah keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Di tempat ini, para Warga Dampingan (WD) tidak hanya mendapatkan pengasuhan sehari-hari dari para caregiver—pendamping non-medis yang fokus pada dukungan aktivitas harian dan emosional—tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan pembelajaran untuk menguatkan kemandirian dan kesehatan mental mereka.

Salah satu kegiatan bermakna yang dilaksanakan di RPKJ adalah kegiatan refleksi perasaan, yang pada Senin, 2 Juni 2025, diikuti oleh lima warga dampingan yang tinggal di sana. Mengusung tema “Perasaan di Dalam Diriku”, kegiatan ini menjadi ruang aman bagi para WD untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan melalui pendekatan kreatif dan personal. Kegiatan diawali dengan mengajak WD berbicara mengenai emosi yang sedang mereka alami, baik emosi positif seperti bahagia dan tenang, maupun emosi negatif seperti marah, sedih, atau cemas. Mereka diajak menyadari dari mana perasaan tersebut muncul dan apa yang menjadi penyebabnya.
Setelah itu, para WD diberi kesempatan untuk mengekspresikan perasaan mereka melalui media gambar. Menggunakan crayon dan lembar kertas kosong, mereka menggambarkan suasana hati dan kondisi batin yang mereka rasakan saat itu. Gambar-gambar tersebut kemudian menjadi pintu masuk bagi mereka untuk menyusun narasi pribadi melalui lembar refleksi yang telah disiapkan caregiver. Dalam suasana yang penuh kehangatan dan penerimaan, satu per satu dari mereka kemudian diminta menceritakan makna di balik gambar yang telah mereka buat.
Hasil dari kegiatan ini sangat beragam. Ada yang menggambarkan suasana hati yang lebih sehat dan penuh semangat, ada pula yang mengungkapkan perasaan sedih dan kesepian. Namun yang paling penting, setiap WD merasa aman dan didengarkan. Mereka dapat mengungkapkan diri tanpa tekanan atau penilaian. Bagi para caregiver, kegiatan ini menjadi sarana untuk memahami kondisi emosional masing-masing warga dengan lebih dalam dan personal, sehingga pendekatan pendampingan pun bisa disesuaikan secara lebih tepat.
Caregiver berharap kegiatan refleksi seperti ini bisa menjadi rutinitas yang memberikan ruang ekspresi bagi para WD, terutama mereka yang merasa sulit mengungkapkan emosi secara verbal. Goresan warna dalam gambar diharapkan menjadi jembatan untuk mengenali, memahami, dan menerima perasaan diri. Lebih dari itu, kegiatan ini juga mendorong terbentuknya rasa kebersamaan, saling mendengarkan, dan empati antar sesama warga.
Kegiatan refleksi ini menjadi langkah kecil namun bermakna dalam proses pemulihan. Ia memperkuat kepercayaan diri warga dampingan, membantu mereka membangun kembali hubungan yang sehat dengan diri sendiri, dan membuka jalan menuju semangat hidup yang baru. Karena setiap perasaan itu penting. Dan setiap orang, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas psikososial, berhak untuk didengar—dalam bentuk apapun, termasuk melalui gambar.
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta meyakini bahwa pemulihan tidak hanya soal intervensi medis, tetapi juga menyangkut ruang yang aman, relasi yang suportif, dan keberanian untuk menyelami diri. Kegiatan seperti refleksi perasaan menjadi bagian penting dalam mewujudkan pendekatan pemulihan yang holistik, inklusif, dan berkeadilan.
[Penulis: Kaysa Qathrunnada| Editor: Agustine Dwi | Foto: Kaysa Qathrunnada]