Pada bulan Juni-Juli 2025, Tim Program Departemen Politik, Demokrasi, Pemerintahan, dan Inklusi Sosial (DPPIS) Yayasan SATUNAMA Yogyakarta melakukan kunjungan kick-off program di Kota Makassar dan Bandar Lampung. Tim program yang terdiri dari Himawan Pambudi, Dwi Anggita Cahyaningtyas, dan Fransiska Ratri ini hadir dalam rangka mempersiapkan implementasi program dua tahunan untuk memperkuat kapasitas advokasi kelompok rentan.
Kota Makassar

Dalam kunjungan yang dilakukan pada 10-15 Juni 2025 ini, tim terlibat langsung dalam diskusi dan observasi bersama komunitas perempuan pesisir, organisasi perempuan disabilitas, serta perwakilan legislatif Kota Makassar. Kegiatan kick-off program difokuskan pada dua wilayah utama, yaitu Kelurahan Cambayya dan Tallo. Kedua wilayah ini terdampak langsung oleh proyek strategis nasional berupa reklamasi Makassar New Port yang dilakukan oleh PT Pelindo. Reklamasi ini telah menyebabkan nelayan kehilangan akses terhadap ruang tangkap tradisional. Akibatnya, sebagian besar nelayan laki-laki memilih merantau, meninggalkan istri dan anak di kampung. Situasi ini tidak hanya meningkatkan beban kerja perempuan secara signifikan, tetapi juga mendorong munculnya persoalan sosial baru, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan struktural. Di tengah tekanan ini, kelompok perempuan tetap berjuang menjaga keberlangsungan hidup keluarga mereka, meski dengan akses terbatas terhadap air bersih, sanitasi layak, dan hunian yang memadai.
Dalam diskusi terpisah, tim bertemu dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), yang merupakan bagian dari organisasi disabilitas nasional. HWDI memiliki agenda penting untuk mendorong perubahan Peraturan Daerah (Perda) agar sesuai dengan Undang-Undang Disabilitas terbaru. Selain itu, mereka juga merancang program pelatihan keterampilan seperti menjahit untuk memperkuat kemandirian ekonomi anggota. Namun, keterbatasan fasilitas seperti gedung sekretariat dan dukungan logistik seperti juru bahasa isyarat (JBI) menjadi hambatan utama. Bahkan dalam evaluasi harian, ditemukan kasus anggota HWDI yang mengalami penurunan penglihatan hingga buta total akibat minimnya layanan kesehatan mata dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Kick-off program juga mencakup pertemuan penting dengan DPRD Kota Makassar. Ibu Umiyati dari Komisi B menyatakan dukungannya terhadap isu perempuan dan kelompok rentan, meskipun beliau menyarankan agar strategi advokasi diarahkan ke Komisi D yang lebih relevan secara substansi. Beliau juga menekankan pentingnya jalur formal dalam membangun komunikasi kelembagaan dan menyarankan agar penguatan kapasitas politisi perempuan dimulai dari pengenalan dasar tentang fungsi legislatif. Dukungan serupa disampaikan oleh Ari Ashari Ilham dari Komisi D, yang juga merupakan alumni Sekolah Politisi Muda (SPM). Selain menyatakan kesiapan untuk terlibat dalam penguatan advokasi kelompok rentan, Ketua Komisi D, Ari Ashari Ilham, juga menyampaikan dukungan penuh terhadap arah program yang dijalankan oleh Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Ari Ashari Ilham merupakan alumni Program Sekolah Politisi Muda yang diselenggarakan oleh Yayasan SATUNAMA Yogyakarta dan melihat program ini sebagai bagian penting dalam menciptakan konektivitas antara politisi muda dan komunitas akar rumput.
Namun, selama pelaksanaan kegiatan, terdapat sejumlah catatan penting dari proses evaluasi harian. Pertemuan dengan DPRD mengalami keterlambatan hingga tiga jam dan berdampak pada agenda komunitas lainnya. Kegiatan juga berlangsung hingga malam hari, tanpa mempertimbangkan kebutuhan peserta perempuan yang membawa anak maupun teman-teman penyandang disabilitas yang mungkin memiliki keterbatasan mobilitas atau kebutuhan pendukung lainnya. Selain itu, belum tersedia dukungan logistik yang memadai bagi kelompok rentan, seperti kebutuhan akan pendamping, akses komunikasi yang inklusif, serta fasilitas lainnya yang memungkinkan partisipasi setara dalam kegiatan program. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kegiatan masih belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan spesifik kelompok rentan secara menyeluruh.
Berdasarkan keseluruhan temuan kick-off program Makassar dan evaluasi harian, Yayasan SATUNAMA Yogyakarta merekomendasikan beberapa strategi perbaikan program ke depan. Pertama, penting untuk menerapkan perencanaan yang inklusif melalui analisis kebutuhan berbasis gender dan disabilitas. Kedua, penyusunan anggaran perlu disertai alokasi untuk berbagai kebutuhan pendukung partisipasi kelompok rentan, seperti aksesibilitas komunikasi, fasilitas pendampingan, serta kebutuhan logistik lain yang relevan dengan konteks kerentanan peserta. Ketiga, kegiatan sebaiknya tidak dijadwalkan pada malam hari dan memberikan opsi kehadiran fleksibel bagi peserta dengan kebutuhan khusus. Keempat, tim pelaksana perlu mendapat pelatihan rutin tentang pengarusutamaan gender dan disabilitas. Kelima, diperlukan penguatan jejaring dengan lembaga legislatif lokal, terutama Komisi D, dalam kerangka advokasi. Terakhir, perlu dilakukan audit inklusi secara berkala agar perencanaan dan pelaksanaan program benar-benar selaras dengan prinsip keadilan sosial.
Kota Bandar Lampung
Selain di Makassar, kegiatan kick-off program juga dilaksanakan di Kota Bandar Lampung melalui audiensi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) pada 8 Juli 2025. Pertemuan ini menjadi pintu masuk awal yang penting dalam membangun sinergi lintas sektor antara SATUNAMA dan pemerintah daerah, khususnya dalam memperkuat perlindungan dan pemberdayaan kelompok rentan seperti perempuan, anak korban kekerasan, dan penyandang disabilitas.
DP3A menyambut baik pelaksanaan program dan berkomitmen untuk membuka ruang kolaborasi, termasuk melalui Forum PUSPA dan jaringan relawan SAPA yang tersebar di 126 kelurahan. Tantangan struktural seperti lemahnya regulasi turunan Perda, minimnya anggaran perlindungan, dan terbatasnya integrasi isu disabilitas dalam program pemerintah menjadi poin kritis dalam diskusi. Audiensi ini juga menghasilkan komitmen strategis untuk penguatan data sharing, integrasi program, serta kolaborasi dalam proses advokasi dan penguatan kapasitas komunitas dampingan.

Puncak rangkaian kegiatan kick-off program di Bandar Lampung ditandai dengan audiensi bersama jajaran DPRD Kota Bandar Lampung pada 8 Juli 2025. Pertemuan ini menghasilkan dukungan legislatif terhadap isu-isu kelompok rentan serta membuka peluang pembentukan Kaukus dan penyusunan dokumen kebijakan bersama. Isu-isu yang disuarakan oleh komunitas meliputi minimnya fasilitas publik ramah disabilitas, rendahnya akses ekonomi, hingga absennya data terpilah yang menjadi dasar penting kebijakan inklusif. Meskipun audiensi tidak dihadiri Ketua DPRD sebagaimana rencana awal, namun dialog tetap berlangsung produktif dan menjadi langkah awal penting dalam memperkuat pengaruh komunitas terhadap kebijakan daerah.
Selain audiensi dengan DP3A dan DPRD Kota Bandar Lampung, kegiatan kick-off program di Bandar Lampung juga mencakup pertemuan dan konsolidasi dengan Komunitas Tuli Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) dan Komunitas Sahabat Disabilitas (SADILA) pada 9 Juli 2025. Pertemuan ini berhasil membangun relasi strategis, memetakan tantangan utama komunitas disabilitas, dan mengidentifikasi potensi penguatan ekonomi komunitas. Temuan utama meliputi keterbatasan juru bahasa isyarat, belum optimalnya implementasi Perda Disabilitas No. 4 Tahun 2024, serta potensi usaha ekonomi seperti batik, kuliner, dan produk lilin aromaterapi yang dijalankan komunitas.
Di hari yang sama, dilakukan pula konsolidasi awal bersama komunitas perempuan pesisir dan komunitas penyandang disabilitas di Kecamatan Panjang. Kegiatan ini mempertemukan dua kelompok rentan dalam forum partisipatif untuk menggali isu-isu prioritas seperti hambatan akses layanan dasar, keterbatasan fasilitas sekretariat, serta kebutuhan terhadap pelatihan ekonomi dan perlindungan hukum. Komunitas menyampaikan aspirasi yang kuat untuk terlibat dalam proses kebijakan publik, dengan munculnya pertanyaan reflektif seperti “kami ini akan dibawa ke mana?” sebagai cerminan keraguan dan harapan terhadap keberlanjutan program.
[Penulis: Dwi Anggita Cahyaningtyas| Editor: Agustine Dwi | Foto: Dwi Anggita Cahyaningtyas]