Memuliakan Pengetahuan Kolektif dalam Pelatihan

Ada begitu banyak lembaga yang bekerja untuk dan bersama masyarakat. Lembaga-lembaga ini memiliki staf yang bertugas pada bagian pemberdayaan masyarakat atau sering disebut Community Development Officer atau Community Organizer.

Mereka sering dijuluki sebagai petugas lapangan, field officer, fasilitator masyarakat, pendamping atau fasilitator lapangan. Intinya mereka bekerja untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan untuk pemberdayaan masyarakat, salah satu di antaranya adalah proses belajar bersama masyarakat.

Petugas lapangan boleh disebut sebagai salah satu subyek kunci dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat. Mereka diharapkan mampu menjadi fasilitator yang andal di lapangan, memfasilitasi masyarakat untuk melakukan analisis masalah mereka, mendorong mereka mempresentasikan situasi yang mereka hadapi, mengerjakan apa yang menjadi rencana bersama dan mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan.

Mereka-pun harus bisa mendorong masyarakat untuk tampil di depan dalam mendorong perubahan struktur sosial di masyarakat. Oleh karenanya, kesempatan untuk mendapatkan pengembangan kapasitas menjadi sesuatu yang tidak terelakkan bagi para aktor garis depan pemberdayaan masyarakat ini.

Yayasan SATUNAMA Yogyakarta menyadari pentingnya penguatan atau peningkatan kapasitas fasilitator lapangan ini. Bersama PLAN International Timor Leste, SATUNAMA pun menggelar Pelatihan Menjadi Fasilitator yang Kreatif dan Menyenangkan.

Pelatihan diadakan pada Selasa-Kamis, 17-19 September 2019 di Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Pelatihan dikelola oleh dua fasilitator milenial dari SATUNAMA yaitu Kristina Viri dan Valerianus B. Jehanu. Sementara peserta pelatihan berasal dari PLAN International Timor Leste, berjumlah 7 orang.

Memfasilitasi Adalah Melayani.

Fasilitator Valerianus B. Jehanu mengelola forum pelatihan dengan prinsip partisipasi dan keriangan dalam Pelatihan Menjadi Fasilitator yang Kreatif dan Menyenangkan di SATUNAMA Training Center, Selasa-Kamis (17-19 September 2019). Seorang fasilitator sebaiknya mampu mengelola perannya sebagai pihak yang menyalakan perspektif menghargai pengetahuan dan ilmu setiap orang melalui cara-cara yang kreatif dan menyenangkan.

Kedua fasilitator menggunakan beberapa prinsip dan metode yang variatif dalam mengelola pelatihan. Prinsip utama yang digunakan adalah pembelajaran ala orang dewasa (andragogy) dengan menggunakan metode Pull Learning yang berbasiskan pada penggalian pengetahuan dan pengalaman, para peserta pelatihan bisa mendapat bahan belajar bersama.

Artinya, fasilitator tidak berposisi sebagai pihak yang maha tahu yang melulu menjejalkan materi kepada peserta, melainkan berposisi sebagai kawan belajar yang setara, membangun pemahaman bersama berdasarkan data dan pengetahuan semua orang. Pull Learning menjadi payung metode utama yang digunakan dalam pelatihan ini.

“Jadi kami sekaligus menerapkan prinsip ini dalam pelatihan ini. Dengan cara begitu, kami harap para peserta akan memiliki pengalaman belajar fasilitasi secara langsung.” Kata Leri, panggilan akrab Valerianus B. Jehanu.

Penerapan metode tersebut bukannya tanpa pertimbangan. Menjadi fasilitator adalah menjadi pihak yang melayani dan melayani artinya memberikan apa yang dibutuhkan oleh pihak lain. Dengan Pull Learning, kebutuhan peserta pelatihan akan bisa diakomodir karena muncul dari pengalaman mereka sendiri.

Terlebih, menjadi fasilitator juga membutuhkan beberapa kondisi yang mendukung. Fasilitator harus kritis terhadap diri sendiri, mampu membangun hubungan dengan seluruh peserta dari berbagai macam latar belakang sipil, politik, sosial, kultural, ekonomi dan juga gender.

Secara personal, fasilitator juga harus bersahabat, diminati, sensitif dengan budaya, rileks dan terbuka. Yang juga tak kalah penting adalah mampu menggunakan metode-metode pembelajaran yang partisipatif dan merangsang masyarakat untuk belajar sendiri.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, tugas fasilitator adalah membantu masyarakat melakukan investigasi, analisis, presentasi dan belajar sendiri tentang segala potensi dan tantangan yang mereka hadapi.

“Sebagai orang luar, fasilitator memulai proses secara partisipatif dan kemudian berdiri di belakang, biarkan masyarakat melaksanakannya. Karena mereka yang paham tentang diri dan kondisi mereka sendiri.” Jelas Leri.

Partisipasi Harus Ada.

Partisipasi dan penghargaan akan kapabilitas peserta dalam pelatihan begitu ditonjolkan oleh kedua fasilitator, Valerianus B. Jehanu dan Kristina Viri (membelakangi kamera). Peserta pelatihan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan gagasan dan pengetahuannya secara terorganisir dan merata.

Prinsip utama yang juga digunakan dalam pelatihan adalah partisipasi. Semua peserta didorong untuk terlibat secara aktif dalam pelatihan. Partisipasi juga menjadi penerjemahan nyata dari perspektif inklusif, agar dalam kerja-kerja di masyarakat, para pendamping masyarakat dapat bekerja secara partisipatif di masyarakat. Tidak menggunakan langkah praktis dan mengingkari prinsip partisipasi.

“Kerja-kerja yang bisa dilakukan masyarakat malah diambil alih karena alasan takut pekerjaannya salah, nanti terlambat atau alasan-alasan lain.” Ujar Leri seraya menambahkan bahwa para peserta juga belajar tentang metode-metode pembelajaran partisipatif.

Jika ditilik dari tujuannya, pelatihan ini memang diadakan untuk meningkatkan kapasitas fasilitator lapangan dalam sisi kreatifitas dan personal untuk mendorong perubahan sosial di masyarakat melalui proses-proses pendampingan masyarakat dan kerja lapangan. Harapannya, tentu agar peserta pelatihan mampu mengembangkan dirinya menjadi semakin baik dalam kapasitas sebagai pendamping masyarakat.

Pelatihan ini dibuat atas inisiatif dan permintaan dari PLAN International yang kemudian bekerjasama dengan SATUNAMA. “Ini merupakan salah satu topik pelatihan yang mereka pilih, selain pelatihan bertemakan difabilitas dan pembangunan.” ungkap Debora Ratri dari SATUNAMA Training Center. [Berita : A.K. Perdana/Foto : Debora Ratri]

Tinggalkan komentar