Anak Berhadapan Dengan Hukum di Media Massa

Beberapa waktu lalu dunia pemberitaan tanah air sempat dihebohkan oleh dua sosok anak dan remaja yaitu Sonya Depari dan Daffa. Keduanya sempat menjadi viral di media sosial atas kasus yang menyangkut diri mereka.

Menanggapi hal ini, talkshow Melek Media Radio SATUNAMA pun mengangkat tema mengenai Anak Berhadapan Dengan Hukum di Media Massa. Dipandu oleh Kuncoro dari Radio SATUNAMA Yogyakarta dan Valentina Wiji dari Departemen Pengelolaan Pengetahuan Jaringan dan Media (PPJM) Yayasan SATUNAMA Yogyakarta sebagai narasumber. Kali ini talkshow disiarkan langsung dari Jogja National Museum pada hari Kamis (21/4) lalu,  bertepatan dengan pembukaan acara Jagongan Media Rakyat (JMR) yang diadakan oleh Combine Resource Institution.

Sonya Depari adalah seorang pelajar yang baru usai melaksanakan Ujian Nasional sama seperti ribuan remaja lainnya. Namun yang membuat Sonya menjadi pemberitaan adalah mengenai apa yang ia lakukan. Remaja ini ditilang polisi saat sedang mengendarai mobil bersama teman-temannya. Dalam kejadian tersebut ia mengancam seorang polwan dengan mengatakan bahwa ia akan melaporkan polwan tersebut kepada seorang jendral polisi yang ia akui sebagai ayahnya. Setelah diusut ternyata jendral tersebut bukan ayahnya melainkan pamannya. Hal tersebut sontak membuat Sonya menjadi bahan bully di media sosial, apalagi video saat kejadian juga diunggah di media sosial.

Hal yang kemudian sangat disayangkan dalam kasus Sonya adalah bahwa ayahnya kemudian meninggal dunia selang beberapa hari setelah kejadian tersebut karena serangan jantung. Hal tersebut diduga karena sang ayah terkejut mengetahui pemberitaan mengenai anaknya serta cacian dan makian orang-orang terhadap Sonya.

Sementara Daffa adalah seorang bocah kelas 4 SD yang memarahi para pengendara motor yang nekat berkendara di atas trotoar. Video Daffa juga sudah beredar luas di media sosial dan menuai banyak komentar. Meskipun agak berbeda dengan Sonya namun keduanya masih dalam usia anak dalam undang-undang dan keduanya sempat menjadi pemberitaan heboh di Indonesia.

Sebagaimana yang kita lihat dalam kasus keduanya, media melakukan pemberitaan mengenai mereka yang notabene masih anak-anak, namun masih belum mengindahkan kaidah perlindungan anak.“Media belum menerapkan perspektif perlindungan anak dalam memberitakan hal-hal terkait dengan anak, di mana mestinya dalam undang-undang ada peraturan yang jelas terkait perlindungan terhadap anak dan itu yang menjadi rujukan.” Respon Wiji.

“Kalau kita merujuk ke peraturan perundangan, bicara tentang pers dan anak ada undang-undang yang khusus mengatur hal itu. Kita punya undang-undang pers, sehingga terkait pers yang memberitakan anak mestinya mengacu pada peraturan yang lebih khusus yaitu undang-undang anak. Sehingga semua berita terkait mereka harus merujuk pada undang-undang anak meskipun kita juga memiliki undang-undang pers.” tambah Wiji.

Wiji juga menyebutkan beberapa pelanggaran pers terhadap kasus yang dialami oleh Sonya. Di antaranya bahwa nama seharusnya disamarkan dan wajah mesti disensor. Ini tidak dilakukan dalam kasus Sonya, sementara video tersebut telah disiarkan berulang-ulang. Sampai tanggal 20 April 2016 sudah ada sekitar 3 juta orang telah melihat video tersebut di media daring. “Apa yg dilakukan oleh kawan-kawan media bukan satu hal yang patut untuk dilakukan.” Kata Wiji.

Meskipun apa yang telah dilakukan oleh Sonya merupakan hal yang tidak patut untuk ditiru, namun apa yang dilakukan media terhadapnya juga merupakan hal yang tidak kalah buruk. Ada hal-hal yang kemudian harus ia tanggung, seperti yang diungkapkan Wiji bahwa pasti ada “biaya” yang ditanggung. Dalam hal pengalaman Sonya di media, perlakuan media yang sedemikian rupa akhirnya menimbulkan tekanan psikologis.

“Sayangnya lagi-lagi etika internet kita masih sangat buruk, orang yang tidak berhubungan langsung dengan yang dikomentari (ikut berkomentar) dengan nyaris tidak punya empati. Dampak selanjutnya, karena tidak semua orang di Indonesia maupun di dunia akrab dengan dunia maya, maka jatuh korban karena ikut tertekan.”

Salah satu kelompok rentan dalam kasus Sonya adalah ayahnya yang dikabarkan meninggal terkena serangan jantung akibat beredarnya pemberitaan tentang Sonya di media. “Kelompok rentan tidak hanya anak-anak tapi juga lansia maupun orang-orang dengan riwayat kesehatan tertentu.” kata Wiji.

Sedangkan dalam kasus Daffa, setelah videonya menyebar di dunia maya ia menjadi bahan pemberitaan para wartawan. Hampir setiap hari ada yang mencarinya untuk melakukan wawancara dengan bocah kelas 4 SD tersebut hingga akhirnya Daffa merasa sangat terganggu. Keluarganya kemudian menulis pengumuman di depan pintu rumah bahwa ia sedang tidak ingin di ganggu. “Ketika berhadapan dengan narasumber bagaimananpun mereka tetap anak-anak.” Ungkap Wiji menanggapi hal ini.

Kalau kita menyimak perlakuan media masa baik cetak, elektronik maupun daring tampaknya perspektif perlindungan anak saat ini masih absen dalam banyak pemberitaan. Kita bisa melihat bahwa fakta media masa mengeksploitasi figur anak. Daffa tidak mau menerima, sementara Sonya menanggung dampak yang sangat fatal.

“Kalau seperti itu, tampaknya baik perusahaan media maupun organisasi jurnalis bahkan juga kaum akademisi perlu mempromosikan perspektif perlindungan anak dalam bermedia. Ketika perspektif perlindungan anak absen maka yang terjadi adalah perlakuan-perlakuan yang menjadikan mereka sebagai korban.” Jelas Wiji.

Bagaimana kemudian media maupun kita semua dapat memastikan bahwa pemberitaan tersebut berasaskan pada perspektif anak? Dalam hal ini Wiji mengungkapkan bahwa Indonesia sudah mengesahkan Konvensi Hak Anak yang menjadi dokumen hukum bangsa-bangsa di dunia. Namun dia juga mengungkapkan kemudian bahwa belum semua WNI tahu dan sadar akan kewajiban semua pihak untuk melindungi anak. “Bahkan bisa jadi orangtua belum semuanya paham akan perlindungan anak.” Katanya.

Perlu adanya semacam kampanye atau sharing akan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh siapa saja. “Kawan-kawan yang punya pengetahuan lebih jangan hanya diam, namun sebaiknya membagikan pengetahuan tersebut. Mari gunakan seluruh kanal informasi yang kita miliki untuk mempromosikan perlindungan anak untuk sama-sama saling mengingatkan.” Tambah Wiji.

Sementara itu, sikap negara selama ini terutama mengenai pemberitaan yang berspektif perlindungan anak juga dirasa tidak responsif. “Dalam dua keriuhan terkait Sonya dan Daffa tampaknya tidak terdengar suara dari otoritas yang punya kewenangan terhadap perlindungan anak. Padahal di beberapa daerah sudah ada kabupaten layak anak. Apakah kemudian kawan-kawan pers sadar bahwa negara punya tugas besar terkait hal ini? Artinya proses belajar kita sebagai bangsa dalam bemedia dalam upaya melindungi anak masih berjalan kurang baik kerena kesalahan masih terus berulang. Perlu diingat bahwa semua yang kita miliki saat ini, itu meminjam milik generasi yang akan datang. Artinya kita punya kewajiban untuk mengembalikan dalam kondisi yang baik yang mampu kita upayakan. Kalau kita bicara tentang informasi, media, pers, mari kita rawat pers kita. Pers yang mempromosikan martabat manusia dengan sepenuh hati. Mari perlakukan anak sebagaimana anak. Bicara tentang media daring, mari gunakan dengan etika.” Ujar Wiji panjang lebar.

Wiji juga menambahkan mengenai kode etik jurnalistik di dunia pers. “Kita punya kode etik jurnalistik. Semoga kode etik tersebut juga dihidupi semua individu terkait mata rantai distribusi berita dan menjunjung martabat manusia atau lebih spesifik lagi menjunjung martabat anak. Jika menyaksikan hal yang tidak benar, tolong jangan berdiam diri. Dengan berdiam diri kita justru sedang berinvestasi yang buruk.“ demikian Wiji. []

Penulis : Bella (Mahasiswa magang dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Penyunting : Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar