Gula Semut untuk Mengangkat Ekonomi Warga Desa

Sudiro, satu dari sedikit warga yang mampu menggerakkan warga desanya untuk tumbuh dan berkembang menuju kesejahteraan bersama. Di Clapar, Sudiro bersama rekan-rekannya mulai membangun sebuah usaha kecil dan mendirikan koperasi petani kelapa. Mengolah gula kelapa menjadi gula semut adalah keahlian yang kini disebarkan ke komunitas-komunitas petani kelapa lainya. Tidak berhenti memproduksi gula bathok, usaha itu dilanjutkan menjadi gula semut yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kini berkat usahanya yang gigih, lulusan SMP ini mampu menggerakkan warga desanya untuk membangun koperasi dan usaha kreatif yang mampu menembus pasa internasional.

Bukan hal yang mudah untuk memulainya. Tapi, dengan membangun kesadaran untuk membawa warga desa menuju arah kesejahteraan bersama, Sudiro dan kawan-kawannya mampu menunjukkan bahwa desa produktif mampu membari ruang usaha bagi warga desa. Ditemui di SATUNAMA, Sudiro menuturkan awal mula usahanya dan bagaimana kini usahanya menjadi maju. Ryan dan Ariwan, pewarta dari satunama.org, menyarikan hasil wawancaranya, untuk Anda semua, para pembaca:

Pak Diro, bisa dijelaskan bagaimana awal mula dan seperti apa sejarah pengorganisasian yang Pak Diro lakukan untuk membangun usaha kreatif di Clapar ini?

Ada sebuah koperasi yang juga dampingan dari SATUNAMA, kami awalnya mempertemukan beberapa kelompok, sharing pendapat, lalu mendapat koperasi untuk bikin gula semut itu, dan ternyata mlaku, maksudnya ada yang mau beli (gula semutnya). Kemudian kita satukan beberapa kelompok itu jadi satu kelompok saja. Kami didampingi SATUNAMA sejak dari 2007 sampai 2010 sampai jadi Jaringan Petani Kulonprogo. Tapi karena petani kita belum banyak yang terjangkau, kita kemudian mmebentuk KUB Manunggal. Dari situ kita mulai proses pembentukan kelompok Tiwi Manunggal. Di situ kita sementara fokus di gula semut. Kita lalu kerjasama dengan KUD hingga akhirnya bisa ekspor ke Amerika, Jepang, Kanada, Australia dan Arab Saudi.

Setelah itu, sekitar 2 tahunan mulai berpikir lagi, bahwa yang namanya bergerak di organisasi itu jangan cuma untuk diri sendiri. Maka kita lalu kerjasama dengan pembeli dengan sertifikat Fair Trade. Kalau ada yang beli, mereka akan menyisihkan keuntungannya sebagian untuk petani. Tahun 2013 kita dapat dana Fair trade dari pembeli Jepang. Mereka menyisishkan 10 persen dari pembelian.Kita lalu membentuk sebuah tim Fair Trade yang bersinggungan langsung dengan petani di lingkungan bawah. Dari sana kita langsung bantu apa yang dibutuhkan kelompok-kelompok itu. Tapi itu cuma untuk (bantuan) fisik. Misalnya untuk PAUD. Seminggu lalu Fair Trade dananya masih ada ekitar 64 juta. Yang sudah terealisasi ada 310 petani. Mereka difasilitasi tempat sampah.

Seperti apa kesulitan awal yang ditemui untuk membangun komunitas warga yang mandiri seperti yang Pak Diro lakukan?

Petani dulu susah dikoordinasikan karena dulu mereka jual gula cetak. Mereka pilih yang lebih cepat yaitu gula batok sementara dari SATUNAMA sudah ada pelatihan-pelatihan gula semut. Baru sekitar 70 persen yang memproduksi gula semut.

Selain tantangan itu, apakah ada masalah dengan pola produksi?

Untuk pola tanam, itu susahnya di generasi penerusnya, penderesnya. Karena yang sekarang tinggal yang tua-tua sementara yang muda-muda sukanya kerja yang enak-enak. Tapi kita akan cari bibit kelapa yang pendek di sekitar Sumatra. Sudah bersertifikat, sudah bisa dikatakan organik. Kalau organik kan sejak menanam semua harus sudah organik.

Awal mula dari jumlah petani yang bisa dihitung jari hingga mencapai  700 petani, bagaimana ceritanya?

Awalnya kita cuma punya sekitar 250 orang. Tapi lalu kita bentuk tim, kita kasih pelatihan, dan ada Fair Trade, ada dana untuk anak SD. Akhirnya banyak yang ikut meski kita juga tidak memaksa. Tapi akhirnya banyak yang merasa bahwa ikut Tiwi Manunggal itu bermanfaat.

Strategi apa yang dikembangkan untuk melakukan itu semua?

Dulu harga gula batok di petani itu Rp. 2.500. Sekarang setelah ada gula semut bisa meningkat jadi Rp. 13.000. Dulu paling mahal cuma sampai 7000an. Sekarang gula semut bisa sampai Rp. 18.000. Petani sudah bisa merasakan hal itu.

Apa strateginya untuk mengajak petani?

Strateginya kita sosialisasikan ke petani tentang produk Tiwi Manunggal, lalu kita juga menjaga kualitas produk, dan karena petani juga merasakan peningkatan ekonomi lewat produksi gula semut ini, maka mereka lebih mudah untuk bergabung sekarang.

“Strateginya kita sosialisasikan ke petani tentang produk Tiwi Manunggal, lalu kita juga menjaga kualitas produk.”

Di Tiga desa ini ada berapa kelompok usaha lain?

Tiwi manunggal punya 10 kelompok, tapi yang lolos IMO Swiss sertifikat organik baru 3 kelompok.

Kalau dalam pandangan Pak Diro sendiri, bagaimana proses pengembangan komunitas yang berpihak kepada masyarakat?

Kita ada dibantu oleh ICS. Mereka tiap hari menengok petani. Pokoknya berkegiatan. Di Tiwi Manunggal juga banyak kegiatan, selalu kita undang dan kita kasih parcel kalau pas lebaran. Kemaren barusan kita ajak seluruh komponen masyarakat kita ajak tur ke Dieng sekitar 1.000 orang.

Bagaimana Fair Trade ini mengembalikan yang 10%

Tim Fair Trade ini memilih satu petani untuk program yang ada di lingkungan tersebut. Tim Fair Trade ini ada di 13 pedukuhan. Mereka selalu diundang jika ada laporan dana yang akan dikeluarkan. Selalu ada rapat koordinasi dari wakil-wakil petani tersebut. Di situ akan dilihat laporan dananya.

Gambaran tentang Fair Trade? Bagaimana kawan-kawan Clapar memandang ini?

Ini pertama kali buat kita. Setidaknya kita jadi terbantu. Tahu-tahu kita dapat laporan dananya sudah ada Rp. 150 juta. Kita juga kemudian langsung berkabar ke petani-petani kelompok, total ada 13 pedukuhan. Tim Fair Trade ini juga tak ada honornya.

Yang sepuluh persen itu dirumuskan dari mana?

Gambaran awalnya kita pengajuan sertifikat Fair Trade. Setelah lolos, kami menawarkan ke pembeli mereka. Jadi mereka akan selalu melebihkan. Misal kita jual Rp. 25.000 mereka akan jual Rp. 26.000 dan yang Rp. 1.000 dikembalikan. Dari situ masyarakat banyak yang jadi tertarik untuk ikut. Tapi karena karena ada beberapa yang sudah tergabung dengan organisasi lain, mereka harus keluar dulu, baru bisa gabung.

Kalau dari perbandingan antara Fair Trade dengan sistem yang biasa?

Setelah ada Fair Trade besar dampaknya di masyarakat. Dari Tiwi Manunggal pernah mengirim tim siluman, seolah mereka bukan siapa-siapa. Untuk mengetahui sukses sistem ini. Dari situ kita tahu bahwa memang ada bedanya.

Tantangannya apa selain yang Pak Diro sebutkan di awal?

Masyarakat itu kalau disuruh kumpul, mereka kan sudah pernah kumpul di dinas-dinas dan mereka biasanya dapat uang saku atau uang makan. Kalau di Tiwi Manunggal tidak begitu. Tapi memang sejak 2010 sudah repot. Karena kalau disuruh kumpul, mereka tahunya dapat duit transport. Padahal dulu kita dari dari SATUNAMA tidak pernah ada (uang) transport. Kita usulkan apa yang bisa kerjakan bersama. Tapi setelah ada dinas masuk malah dikasih duit transport Rp. 50.000 sehari sampai malah ada yang menggantungkan diri dari (pemberian) itu.

Bagaimana respon Pemerintah desa?

Sangat mendukung. Mereka yang mau bergabung dengan kami selalu kami undang. Kemarin kita juga mengajak mereka. Biar bisa mengkondisikan petani.

Bahan-bahan Produksi diambil dari mana?

Ambil dari lokalan petani di 2 desa yang dijual ke Tiwi Manunggal. Lahannya juga sudah ada. Kami sedang memikirkan peremajaan pohon kelapa. Otomatis nanti yang muda-muda bisa ikut ngerjain, tak perlu kerja keluar (negeri). Pokoknya menyediakan lapangan kerja untuk anak muda. Biar tidak ke luar negeri.

Seberapa luas lahanya yang kini diusahakan bersama petani kepala?

Ada 2 desa dengan 13 pedukuhan. Saya kurang paham tepatnya luasnya berapa. Yang tahu persisi luas lahan itu ICS.

Pengurus hari ini berjumlah berapa?

Pengelola inti 4 orang dan 13 orang yang berhubungan langsung dengan petani.

Dari sisi produksi dan pemasaran mungkin lancar. Kendala lainya apa?

Kadang petani itu kerjannya belum terkontrol semua. Kalau soal produksi kita jelas terpengaruh cuaca. Kalau musim hujan kan nira jadi kurang pas. Kurang baik.

Dengan adanya usaha itu apa yang  Pak Diro bayangkan tentang masa depan desa?

Mengangkat ekonomi masyarakat, mengurangi pengangguran, membantu mereka secara ekonomi.

Kalau hari ini, kan usaha yang berawal dari masyarakat petani kelapa. Dalam gambaran Pak Diro apakah mereka sudah dapat penghasilan yang layak?

Dari saya pribadi, dari laporan ICS, peningkatan ekonominya lumayan. Ada yang dulu belum bisa beli motor sekarang sudah punya. Sekarang kehidupannya sudah lebih layak.

Kalau cita-cita Pak Diro sendiri tentang gula semut?

Kita tingkatkan produksi lokal kita, yaitu gula semut. Sementara ini dari petani saja agak sungkan mengkonsumsi gula semut. Mereka masih membeli gula pasir. Yang saya apresiasi bagus itu dari dinas, mereka memfasilitasi semua SKPD se-Kulon Progo untuk mengkonsumsi gula semut. Sudah ada aturannya. Semua SKPD se-Kulon Progo membeli dari situ. Sudah ada aturan dari Bupati. []

Satu pemikiran pada “Gula Semut untuk Mengangkat Ekonomi Warga Desa”

Tinggalkan komentar