Inklusi dan Masa Depan Indonesia

Diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, tujuan “membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Sepenggal kalimat tersebut memberikan kejelasan tujuan dan tugas Pemerintahan bagi Bangsa Indonesia. Tujuan dan tugas itu harus dijalankan sesuai Undang-undang Dasar 1945 dan berdasarkan Pancasila. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Disadari oleh pendiri bangsa ini bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari beragam ras, suku, dan agama, sehingga kemajemukannya tidak dapat dinisbikan dan perlu selalu dijaga.

Kesadaran ini dijabarkan oleh Prof. Mr. Dr. R. Soepomo dalam andilnya di penyusunan Undang-undang Dasar 1945 dalam konteks kemajemukan adat dan asal-usulnya. Pasal 36 A Undang-undang Dasar 1945 menyatakan “Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.”. Maka hal itu akan menjadi penanda dan peneguhan bahwa bangsa Indonesia ini lahir dari dan tersusun dari berbagai serta kemajemukan masyarakat di Nusantara dari segi ras, suku, dan agama. Hal ini diamanatkan dan ditegaskan secara lengkap dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28I ayat (2) dan (3).

Namun penanda dan peneguh tersebut nampaknya masih belum mampu didaratkan secara baik dan benar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktik-praktik bernegara dan pandangan masyarakat yang diskriminatif terhadap ras, suku, agama, dan adat-istiadat asli Bangsa Indonesia masih nampak subur di tanah air ini, seolah menafikan kemajemukan bangsa ini. Pandangan-pandangan dan perilaku diskriminatif juga semakin nampak pada sering munculnya tindakan dan pandangan intoleran terhadap ras, suku, dan agama yang sering dimanifestasikan dalam perilaku yang intoleran yang melahirkan kekerasan. Sementara dalam menghadapi hal-hal tersebut seolah negara hilang pergi entah ke mana. Ketidakhadiran negara memberikan pesan akan adanya dominasi-dominasi pandangan sebagian warga negara terhadap warga negara yang lain. Fakta dipinggirkannya kelompok-kelompok tertentu dalam penyelenggaraan negara selama ini tidak terbantahkan. Proses ini melahirkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia warga negara.

Efek perilaku dan pandangan diskriminatif maupun tindakan intoleran yang masih begitu kuat mengakar. Hal itu terlahir dalam bentuk kebijakan di tingkat pusat maupun daerah serta bentuk-bentuk perilaku diskriminatif yang intoleran. Dalam proses selanjutnya, kebijakan diskriminatif mengakibatkan sebagian warga negara disingkirkan dan dipinggirkan. Deklarasi Hak Atas Pembangunan yang diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 4 Desember 1986 lewat resolusi No. 41/128, dilanjutkan dalam Konvensi Wina tahun 1993 secara eksplisit menyatakan dengan tegas bahwa hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (aninalienable right) dengan dasar bahwa setiap individu dan seluruh umat manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Bahkan Deklarasi Copenhagen tahun 1995 menyatakan bahwa masyarakat harus ditempatkan sebagai pusat perhatian untuk pembangunan yang berkelanjutan, negara pihak berjanji untuk memerangi kemiskinan serta membantu mencapai perkembangan integrasi sosial (sosial inclution) yang stabil, aman dan berkeadilan sosial untuk semua (KOMNAS HAM, 2013).

Di era menjelang Reformasi tahun 1998, Indonesia sesungguhnya memasuki babak baru penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan lahirnya Komnas HAM melalui Keppres No. 50 tahun 1993. Pasca Reformasi, kemajuan ini dilanjutkan dengan diratifikasinya sejumlah besar Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional dan disahkannya Undang-undang Hak Asasi Manusia tahun 1999 oleh pemerintah RI pada waktu itu. Proses tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan sesudahnya dengan melakukan amandemen atas Undang-undang Dasar 1945 yang memasukkan secara tegas penghormatan atas Hak Asasi Manusia. Namun seperti telah diingatkan oleh banyak pakar, saat ini Indonesia masih memasuki memasuki era transisi demokrasi.

Transisi demokrasi Indonesia ditandai dengan praktik-praktik demokrasi yang prosedural yang melahirkan demokrasi semu (pseudo democracy) atau demokrasi seolah olah. Proses demokrasi Indonesia belum sampai pada substansi demokrasi yang mengedepankan penghargaan atas manusia. Hal ini juga ditandai dengan lahirnya banyak peraturan yang cukup maju dalam tatanan penyelenggaraan negara yang akuntabel, transparan, dan partisipatif. Namun praktik penegakan atas peraturan tersebut belum sepenuhnya mampu diinternalisasi atau pun diterapkan sesuai niatan lahirnya peraturan tersebut. Di sisi lain, lahirnya peraturan yang baru dan sangat mendukung penegakan HAM dan pemerintahan yang baik tidak dibarengi dengan penghapusan terhadap produk kebijakan masa lalu yang menimbulkan pertentangan antar undang-undang.

Perlakuan tidak setara

Fakta-fakta menunjukkan adanya perlakuan yang tidak setara terhadap warga negara khususnya para penghayat kepercayaan, agama lokal, maupun agama minoritas. Ada tiga hal yang bisa dipakai sebagai indikator mereka yang tereksklusi. Pertama, rendahnya akses terhadap produk-produk layanan sosial; kedua, rendahnya penerimaan sosial; dan ketiga, maraknya produk kebijakan yang menjadikan mereka tereksklusi. Persoalan umun yang dihadapi adalah pelanggaran hak asasi manusia atas identitas (Kartu Tanda Penduduk/KTP). Sebagian penghayat kepercayaan atau penganut agama lokal belum mendapatkan identitas sesuai dengan kepercayaan dan agamanya. Kepercayaan dan agama mereka belum bisa dicantumkan dalam kartu identitas kependudukan.

Hal ini berimplikasi luas mengingat KTP merupakan dokumen legal yang menjadi rujukan bagi terbitnya dokumen-dokumen identitas lain maupun pencatatan sipil/keperdataan. Tidak bisa dicantumkannya identitas agama yang mereka anut lebih disebabkan adanya kebijakan diskriminatif tentang agama resmi yang diakui oleh negara. Akibatnya, proses dan sistem pencatatan penduduk menjadi tidak valid. Kolom agama dalam KTP dikosongkan atau terpaksa diisi dengan nama salah satu agama yang diakui negara.

Akibat lain dari tidak diakuinya agama lokal yang dianut warga negara adalah dihambatnya penghormatan-perlindungan-pemenuhan hak asasi manusia untuk berkeluarga. Proses pencatatan pernikahan warga yang didiskriminasikan terhambat atau pernikahan tidak bisa dicatatkan ke pencatatan sipil. Hal ini berdampak langsung kepada akses pelayanan perbankan karena kemudian laki-laki penghayat atau penganut agama lokal tidak tercatat sebagai kepala keluarga di dalam kartu keluarga (KK). Sementara itu, KK merupakan salah satu prasyarat untuk mengakses layanan kredit atau jasa perbankan. Akibatnya, keluarga penghayat kepercayaan, agama lokal, maupun agama minoritas tidak mendapatkan akses layanan jasa perbankan.

Dampak lain diskriminasi tersebut adalah dilanggarnya hak anak. Anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak bisa dicatatkan ke catatan sipil akhirnya harus menerima akta lahir sebagai anak dari ibu tanpa bisa mencantumkan identitas pernikahan orang tua. Hal ini membawa dampak psikologis kepada anak bahkan dalam pergaulan sosialnya.

Sebagian kelompok minoritas agama mengalami situasi yang sama. Akses terhadap KTP dipersulit akibat stigma sesat. Mereka harus melalui tahapan tertentu sehingga mereka harus dianggap sesuai dulu dengan ajaran agama yang berlaku. Akibatnya, eksistensi kelompok minoritas yang telah ada dan tumbuh lama di Indonesia ini harus mengalami pengucilan dan dimusuhi.

Sebagian penghayat kepercayaan lokal mengalami hal yang tragis. Mereka tidak bisa mengakses layanan sosial. Mereka tidak bisa mengakses layanan tempat pemakaman umum saat meninggal dunia karena ditolak warga. Tidak jarang, perlakuan ini didukung oleh pemerintah setempat.

Negara belum mengakui

Kebijakan negara yang belum menerima agama lokal atau kepercayaan lokal sebagai identitas kepercayaan juga menyebabkan menu pendidikan agama di sekolah menjadi terbatas. Anak-anak tidak bisa menerima haknya atas pendidikan yang sesuai sebagaimana diamanatkan UU Pendidikan. Di beberapa kasus peserta didik bahkan harus menerima perlakuan untuk mengikuti pendidikan agama tertentu atau menghadapi ancaman ketidakberhasilan pendidikannya/tidak lulus sekolah. Hal ini semakin membuka peluang dilanggarnya hak-hak warga negara dalam pembangunan karena pendidikan yang minim atau ketiadaan legalitas pendidikan formal menggerus atau bahkan menghilangkan akses atas pekerjaan.

Sekelumit cerita tersebut tentu menjadi bukti dan gambaran awal yang menguatkan kesadaran akan adanya sesuatu yang “telah berjalan keliru di negeri ini”. Tumpang tindih peraturan perundang-undangan menjadi nampak. Ketidakselarasan antar peraturan perundang-undangan di tiap tingkat pemerintahan atau dengan peraturan pelaksanaannya menjadi kian jelas.

Persoalan peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa dampak. Dampak paling berat dialami oleh warga negara Indonesia yang memiliki keyakinan dan kepercayaan berbeda dengan kepercayan warga negara pada umumnya. Hak mereka atas pembangunan dilanggar, peluang untuk menikmati pembangunan menjadi semakin kecil atau bahkan hilang sama sekali.

Harapan kita jelas. Kita menanti kemauan politik pemerintah pusat yang dituangkan ke dalam perubahan sejumlah undang-undang yang tidak sejalan atau menghambat pemenuhan hak asasi warga negara baik secara individu mapun sebagai warga negara kolektif sebagai entitas adat budaya tertentu. Alamat perubahan ini mengerucut pada pemerintah ataupun peraturan perundang-undangan di tingkat pusat karena di sanalah letak kebutuhan perubahannya. Di tingkat pusatlah harus mulai dibangun kemauan politik atas penguatan dan penegakan hukum yang bisa memastikan peraturan perundang-undangan berjalan sampai di tingkat daerah.

Perubahan yang akan mengembalikan dan memulihkan harkat dan martabat seluruh anak negeri ini tidak semudah membalik telapak tangan. Ada fakta-fakta atas praktik dominasi tertentu yang cukup kuat mengangkangi kekuasaan pemerintahan yang tidak menghendaki adanya kebhinnekaan di Indonesia. Di sisi lain, hal ini menyebabkan tingkat kepercayaan khalayak terhadap penyelengaraan pemerintahan semakin turun. Lebih jauh lagi, para korban akan bersikap apatis dan kehilangan harapan jika kebijakan diskriminatif terus dibiarkan berkembang.

Situasi keterbukaan merupakan peluang. Keterbukaan bisa menjadi sarana untuk mengembalikan semangat kebhinnekaan dan mengoptimalkan seluruh potensi anak negeri untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ruang-ruang konsolidasi dan kesadaran demokrasi bisa semakin bertumbuh di masyarakat sebagai akibat terbukanya ruang dan mudahnya akses informasi publik. Peluang ini dapat didorong dan menjadi potensi pendorong perubahan jika jalinan komunikasi dan ruang konsolidasi terus diupayakan menjadi gerakan sosial.

Damar_2Damar Dwi Nugroho
Staf Program Inklusi Sosial
Departemen Politik Demokrasi dan Desa
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar