Anak-anak Sebagai Teman, Sahabat dan Saudara

Berawal dari keprihatianan yang timbul karena kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir dan batu ( GOL C ) yang tanpa disertai teknis penambangan yang sesuai SOP dan mekanisme perizinan yang benar di wilayah Keningar saya menulis catatan ini. Kerugian yang dimunculkan dari penambangan pasir ini sangat tidak sepadan dengan income yang dberikan dari hasil kegiatan penambangan mulai dari rusaknya satu-satunya jalur evakuasi ketika terjadi bencana dari Gunung Merapi, debit air berkurang karena mata air banyak yang mati, rusaknya lahan pertanian dan rusaknya bibir sungai yang menjadi tanggul alami dari ancaman lahar Merapi yang dapat mengancam nyawa warga masyarakat Keningar. Tidak hanya itu, pertambangan berdampak pula pada sosial dan budaya.

Penambangan di Keningar mulai muncul tahun 1996. Dan itu langsung merusak jalur evakuasi yang sangat penting bagi masyarakat Keningar ketika terjadi erupsi Merapi karena posisi Keningar yang berada di wilayah paling atas dan berdekatan langsung dengan Gunung Merapi. Terbukti ketika erupsi Merapi tahun 2010, jalan yang rusak parah karena sudah 15 tahun lebih tidak dibangun, menyulitkan warga untuk berlari menyelamatkan diri. Jadi serba salah. Tidak lari cepat takut dengan erupsi Merapi, mau lari cepat pun akhirnya jatuh karena jalan banyak berlubang dan mirip dengan sungai kering.

Beserta kawan-kawan yang peduli, kami bergerak memasang portal untuk menghambat truk-truk yang lalu lalang 24 jam tanpa henti yang dapat merusak jalur evakuasi yang telah diperbaiki paska erupsi oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Portal identik dengan uang tetapi kawan-kawan yang membuat portal ini tidak memikirkan tentang uang sama sekali. Portal ini juga sesuai dengan jam kegiatan yang diatur dalam PERBUP No. 1 th 2011 pasal 6.

Bapak Warto yang tiap hari rutin melaksanakan tugas menjaga portal. Dia akan menutup portal pada jam 18.00 dan membukanya lagi jam 06.00 hari berikutnya. Pak Warto pernah hampir dipukul oleh salah satu preman, ketika ada sebuah truk bermuatan pasir terjebak tidak bisa bergerak karena portal tertutup dan harus menginap 1 malam. Tidak hanya itu hampir tiap hari kawan-kawan juga harus adu mulut dengan para sopir dan para preman. Polisi yang kadang ikut andil memohon untuk membukakan portal juga dihadapi tanpa rasa takut. Kawan-kawan tetap sepakat untuk tidak membukakan portal.

Prosesi pemasangan portal ini dilakukan oleh Desa Keningar dan Desa Sumber yang dirayakan dengan arak-arakan portal diringi Dayak Grasak, teatrikal dari Sanggar Bangun Budoyo, Reog Ponorogo. Warga duduk dipinggir jalan, melakukan doa mujadahan serta kenduri/tumpengan. Tidak hanya portal, kawan-kawan juga melakukan giat tonase terhadap truk-truk pasir dan batu yang bermuatan berlebihan, melakukan audensi , aksi FMPL (Forum Masyarakat Peduli Lingkungan) menghentian paksa pabrik stone crusher (pabrik pemecah batu) karena tidak mengantongi izin serta juga melayangkan pengaduan-pengaduan. Yang paling cepat memberikan respon terhadap pengaduan adalah KOMNAS HAM yang kemudian melakukan investigasi lapangan dan telah memberikan rekomendasi.

Suatu ketika saat saya akan pergi ke Bali, di bandara Adi Sucipto Yogyakarta saya berkenalan dengaan seorang gadis bernama mbak Luthfi. Dalam perbincangan dengannya, saya kemudian menceritakan permasalahan lingkungan di wilayah Keningar. Mbak Luthfi kemudian memperkenalkan saya dengan bapak Bimo Adimoelya melalui nomor ponsel yang diberikan kepada saya. Saat itu juga saya langsung menghubungi Pak Bimo, tetapi saat itu beliau sedang tugas di Papua. Cukup lama menunggu kepulangan bapak Bimo ke Jawa. Saya sampai tidak sabar dan sering menelponnya. Pada salah satu pembicaraan di telepon, pak Bimo berkata akan datang ke rumah saya. Tapi sangat menyedihkan ketika pak Bimo yang ditunggu-tunggu akhirnya datang kerumah, saya justru tidak bisa menemuinya karena pada saat itu saya sedang bekerja.

Selang beberapa hari kemudian, saya dan kawan-kawan berencana menemui WALHI dan LBH Jogja untuk mendiskusikan permasalahan karena sudah masuk kasus pidana. Sebelum ke WALHI dan LBH kami mampir dulu ke SATUNAMA dan di situlah awal mula kami bertatap muka langsung dengan bapak Bimo Adimoelya serta bersama-sama berdiskusi tentang permasalahan di Keningar.

Memanusiakan manusia melalui anak-anak

Ide dari SATUNAMA adalah mengumpulkan anak-anak. Awalnya saya sedikit pesimistis jika dengan mengumpulkan anak-anak dapat menyelesaikan masalah di Keningar. Walau demikian, ide itu tetap diikuti dan dilaksanakan. Ternyata kegiatan mengenal lebih dalam dunia anak-anak memang mengasyikan dan sangat menyenangkan. Inilah yang kami rasakan. Walau sebelumya juga sudah pernah berbaur berinteraksi bersama anak-anak, akan tetapi ketika kita mengenal anak dengan lebih mengutamakan jalinan persaudaraan, segalanya menjadi berbeda. Yang juga tidak kalah asyik dan menyenangkannya adalah karena keseruan-keseruan yang muncul dalam dunia anak-anak. Inilah yang saya rasakan ketika SATUNAMA mengadakan kegiatan pembekalan pendampingan anak-anak.

Kala itu saya mengajak serta dua anak dari Keningar yaitu Entin dan Riska. Setelah itu saya dikenalkan dengan Ruri, anak dari Kadilajo Klaten, anak yang mudah akrab dan sangat pemberani karena begitu berkenalan dengan lugu dan polosnya langsung meminta sebuah buku kepada saya, padahal kami belum pernah ketemu sebelumnya. Dia mengucap dengan Bahasa Jawa khas Klaten “mbok aku tukoke buku mas” (saya dibelikan buku dong, mas) dan membuat hati saya tergugah ingin cepat-cepat membelikan sebuah buku yang terbaik buat dia. Perasaan saya serasa seperti memiliki seorang anak walau belum pernah mempunyai anak, saya pun bergegas pulang dalam perjalanan sambil mencari toko buku yang ada di pinggir jalan. Tapi sesampainya di Muntilan, setelah menemukan toko kecil yang menjual buku-buku, hati dan pikiran saya malah jadi gelisah ketika harus memilih sebuah buku yang baik dan tepat untuk Ruri yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA itu.

Setelah sekitar 25 menit mata memelototi serta tangan memilih-milih buku, akhirnya saya menemukan juga sebuah buku. Buku tersebut berjudul “Tak Cukup Menjadi Manusia”. Sebelum buku tersebut saya berikan terlebih dulu buku tersebut dibungkus mirip sebuah kado dan selang beberapa hari kemudian saya memberikan buku itu kepada Ruri saat kegiatan anjangsana anak-anak di Sanggar Lare Mentes, Klaten. Raut mukanya tampak senang sambil bibir terucap kata “makasih banyak ya mas… kok dibungkus rapi amat”. Ucapannya itu sungguh sangat menggembirakan hati serta membuat trenyuh.

Perkenalan dengan Ruri semakin dalam ketika dia datang ke Keningar ditemani mbak Maria. Betapa sangat mengagumkan ketika datang ke Keningar dengan semangat dan mental yang pemberani tanpa punya rasa minder sedikit pun saat memberikan materi tentang UU Anak di Sanggar Lare Joyo Mukti Merapi, Keningar. Ruri menyampaikan materi sendiri tanpa pendampingan karena saya dan mbak Maria berkunjung ke rumah Bapak Kades Keningar untuk membahas tentang akan diadakanya live in dari mahasiswa University of Melbourne Australia di Keningar

Lebih mengherankan lagi, Ruri sangat kritis. Saya mendapat kritikan yang membangun darinya, misalnya tentang cara kami memberikan makanan kecil pada anak-anak. Ketika ngobrol-ngobrol soal Kades Keningar, Ruri berkomentar “Lurahmu koyo ngono kuwi mas” (Kadesmu seperti itu mas).

Disamping itu dia juga sangat aktif bahkan saya lihat dia yang paling aktif di kampungnya. Terbukti dia tidak pernah absen dalam setiap kegiatan anak-anak yang difasilitasi oleh SATUNAMA. Ketika kesenian Cakar Lele turut serta dalam sebuah festival pun Ruri jauh-jauh dari Klaten datang memberikan semangat kepada anak-anak Keningar padahal saat itu kakinya masih belum benar-benar sembuh, karena beberapa hari sebelumnya mengalami kecelakaan jatuh dari sepeda motor.

Seringnya kegiatan antar komunitas dilakukan menjadikan anak-anak dapat saling tatap muka dan menambah keakraban. Selain Ruri saya juga kenal dengan Laras, Esty, Ipang, mas Kris dari Duwet, serta Bayu dan Ragil dari Sitimulyo. Mereka sangat seru ketika saling bercanda walau karakter mereka berbeda-beda, tapi justru menambah hebohnya suasana.

Esty yang terlihat tomboy, Laras yang halus pendiam namun berubah ramai saat ngobrol. Ipang dan Bayu dengan kelucuannya membuat tambah riuhnya pertemuan. Tidak hanya berteman ketika bertemu dalam kegiatan bersama, pertemanan ini juga berlanjut di jejaring sosial Facebook. Di jagad internet ini kami sangat heboh saat saling berkomentar foto atau status. Anak-anak Keningar juga menjadi lebih dekat dan lebih erat pertemanannya walau terpisah oleh jarak yang saling berjauhan.

Terlalu lama saya meninggalkan kampung Keningar namun kemudian diuntungkan oleh sebuah kegiatan yang mengajak anak untuk keluar dari kampung sehingga menjadikan saya lebih dekat dengan anak-anak Keningar karena selalu siap menjadi sopir mereka saat mengantar dan menjemput di setiap ada kegiatan. Kalau ada masalah pasti anak-anak datang ke rumah untuk menyampaikan dan membicarakan masalah tersebut. Saya menjadikan anak-anak sebagai sahabat, mendengarkan keluh kesah mereka dan menjadikan mereka seperti anak sendiri dengan  memberikan nasehat-nasehat, memberi motivasi agar selalu berpikir positif dan mengajak anak-anak pandai dalam menyikapi masalah yang timbul.

Anak-anak juga kerap memberikan ide-ide cemerlang ketika harus mengisi sebuah kegiatan. Anak-anak yang akan membuat dunia ini lebih menjadi indah dan anak-anak adalah inspirasi yang terbaik. Bersama anak-anak kita menjadi tergugah untuk memanusiakan manusia serta menjadi lebih mencintai lingkungan, karena hanya lingkunganlah yang akan kita wariskan kepada generasi anak-anak yang akan datang. Anak-anak jugalah yang membuat kita lebih dewasa, sehingga memang selayaknya dan sepantasnyalah anak-anak mendapat perlindungan.

Dan tidak menutup kemungkinan bahwa justru dari anak-anak juga nantinya masalah kerusakan lingkungan di desa kami akan menemui jalan penyelesaiannya.

Penulis : Yehezkiel Sugiyono [Warga Desa Keningar, Magelang]
Editor : Bima Sakti

Tinggalkan komentar