Membincang Pemberdayaan dalam CSO Linking and Learning 2025

Satunama.org – Pemberdayaan masyarakat menjadi fokus utama dalam kegiatan CSO Linking and Learning 2025 yang digelar pada 12–13 September 2025 di Kuta, Bali. Kegiatan ini mempertemukan beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO) dari berbagai daerah di Indonesia dalam sebuah forum pembelajaran bersama yang menekankan pentingnya memperkuat ketangguhan komunitas melalui strategi yang partisipatif, inklusif, dan berkelanjutan.

Kegiatan ini diinisiasi oleh SATUNAMA bekerjasama dengan Wilde Ganzen Foundation, yang bermitra dengan organisasi lokal di Indonesia dalam pengembangan kapasitas bersama. Forum ini dihadiri oleh berbagai organisasi seperti Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia, Yayasan Kolewa Harapan Indonesia, Yayasan Stepping Stones Bali, Yayasan Ecoton, YASAP TARUS Kupang, Yayasan Caritas Keuskupan Agung Ende, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Yayasan Anak Pantai Indah, dan Yayasan Maha Bhoga Marga yang bergerak di bidang pendidikan, lingkungan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan isu-isu  sosial lainnya. 

Masing-masing organisasi membawa pengalaman, tantangan, serta strategi yang beragam sesuai dengan konteks lokalnya. Pertemuan ini menjadi ruang bagi mereka untuk saling belajar, mengidentifikasi kesamaan visi, serta merumuskan langkah kolaboratif dalam menghadapi dinamika pembangunan masyarakat di Indonesia.

Unit Dasar Masyarakat

Peserta mempresentasikan hasil kerja kelompok (Foto: Andri Setya)

Tema pemberdayaan menjadi benang merah dalam kegiatan ini. Sebagai sebuah proses panjang yang menuntut keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh proses pembangunan, pemberdayaan dipandang bukan sebagai partisipasi simbolik. Forum belajar ini menekankan bahwa pemberdayaan adalah memastikan bahwa komunitas memiliki kapasitas, kesadaran, dan kemandirian untuk mengelola kehidupan mereka secara mandiri, menumbuhkan kesadaran kritis, rasa kepemilikan, serta kemampuan untuk menemukan solusi berdasarkan potensi dan pengetahuan mereka sendiri. 

Berkaca dari hal tersebut, keluarga dipandang sebagai unit dasar masyarakat yang jika diperkuat, mampu menjadi motor penggerak perubahan di tingkat komunitas. Melalui strategi berbasis keluarga, pemberdayaan dianggap lebih regeneratif, karena hasilnya dapat diwariskan ke generasi berikutnya. “Setelah pola laku di tingkat keluarga terbentuk dengan baik, barulah kita bisa berbicara lebih dalam tentang isu-isu seperti konservasi alam, krisis iklim, atau pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.” Demikian Ayu Komang Sri Mahayuni, pembicara dalam Linking & Learning 2025 menegaskan pentingnya pembangunan manusia di tingkat keluarga.

Pembicara yang akrab disapa Sayu ini juga berbagi tentang konsep permakultur yang dipandang sebagai kerangka kerja yang mendukung proses pemberdayaan dan dipahami sebagai filosofi hidup yang menekankan keterhubungan antara manusia, lingkungan, budaya, dan sistem sosial, dengan mengintegrasikan aspek pangan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, hingga budaya lokal. Konsep ini menjadi landasan untuk membangun ketangguhan masyarakat atau community resilience.

Peserta mengikuti rangkaian pelatihan (Foto: Andri Setya)

Melalui diskusi, para peserta memahami bahwa pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari prinsip kemandirian. Masyarakat perlu diajak untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia, mulai dari keterampilan tradisional, praktik lokal, hingga modal sosial yang telah lama terbangun. Dengan demikian, pembangunan akan dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari dalam komunitas itu sendiri.

Contoh yang disampaikan adalah bagaimana sebuah komunitas di Flores berhasil mengolah lahan berbatu yang sebelumnya dianggap tidak produktif menjadi kebun sayur yang mendukung ketahanan pangan keluarga. Masyarakat setempat membuktikan bahwa mereka bisa mengolah lahan tersebut, dan bahkan menjual sayur hasil kebun mereka sendiri. Kesadaran dan pengetahuan membangun kapasitas dalam mengelola sumber daya sendiri akan memiliki dampak yang lebih baik jika diarahkan pada kesadaran dan kemampuan masyarakat itu sendiri.

“Yang bisa kita lakukan adalah membantu komunitas menemukan potensi yang ada, bukan membawa resep instan dari luar. Proses ini menuntut kita untuk benar-benar meneliti dan mengenali potensi lokal sebelum memberikan saran atau intervensi apa pun,” ujar Sayu terkait pengalamannya di Flores.

Dampak lain terlihat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Masyarakat yang terbiasa mengelola sampah rumah tangga, memanfaatkan air hujan, atau mengembangkan kebun keluarga akan berkontribusi pada perubahan perilaku sehari-hari, yang pada akhirnya akan memperkuat ketangguhan komunitas menghadapi isu besar seperti perubahan iklim dan krisis pangan. 

Solidaritas sosial juga menjadi salah satu aspek yang ikut terbangun. Ketika masyarakat merasa memiliki kerja-kerja mereka, mereka cenderung lebih aktif menjaga keberlanjutan, membangun kerja sama, serta mengembangkan inovasi lokal. Sehingga hal tersebut tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan rasa kebersamaan di dalam komunitas.

Tantangan seperti keterbatasan pendanaan, perbedaan konteks sosial budaya, serta dinamika internal organisasi dan masyarakat diakui masih ada, namun keberadaan jejaring komunitas yang kuat, serta kesadaran dan pengembangan inovasi berbasis lokal diharapkan mampu menjadi dasar bagi kerjasama pembangunan yang lebih berdampak. 

Karenanya, pemberdayaan berbasis kebutuhan otentik memang merupakan proses panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan konsistensi, namun akan menjanjikan hasil yang lebih kuat dan berkelanjutan. Masyarakat diharapkan mampu membangun ketangguhan yang tidak hanya bertahan menghadapi krisis, tetapi juga tumbuh dengan potensi mereka sendiri.

Butuh Konsistensi

Kegiatan diskusi peserta (Foto: Andri Setya)

CSO Linking and Learning 2025 sendiri menjadi momentum untuk mempertegas kembali arti penting pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat sipil di Indonesia. Pertemuan ini tidak hanya mempertemukan berbagai organisasi, tetapi juga menyatukan pandangan bahwa pemberdayaan yang dibangun dengan kesadaran kolektif akan potensi yang dimiliki, adalah pondasi menuju kemandirian, ketangguhan, dan keberlanjutan komunitas.

Dalam konteks kerja jejaring, CSO Linking and Learning akan terus dibangun untuk tidak hanya menjadi sebuah pertemuan, melainkan berlanjut sebagai wadah belajar bersama yang rutin,  terstruktur, dan konsisten. Melalui keberlanjutan forum, organisasi masyarakat sipil di Indonesia dapat terus meningkatkan kapasitas, memperluas jaringan kerja, serta memastikan bahwa program-program yang dijalankan benar-benar berakar pada kebutuhan riil masyarakat.

(Penulis: Galang Rizqi Pratama (Magangers SATUNAMA); Ariwan Perdana / Editor: Agustine Dwi / Foto: Andri Setya)

Tinggalkan komentar