Satunama.org – Hadirnya perpustakaan di tengah masyarakat melambangkan akses pengetahuan yang terbuka luas bagi siapa saja tanpa dibatasi oleh kondisi ekonomi maupun latar belakang sosial. Lantas, apa yang dimaksud dengan perpustakaan itu sendiri?
Menurut IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions), perpustakaan adalah koleksi informasi yang terstruktur dan dapat diakses oleh pengguna untuk keperluan referensi atau peminjaman. Perpustakaan bertanggung jawab untuk memperoleh, menata, merawat, dan memastikan ketersediaan pengetahuan serta berbagai bentuk informasi.
Perpustakaan sejatinya bukanlah semata-mata gudang buku yang fungsi utamanya hanya menghimpun, merawat, dan menyediakan koleksi. Meminjam pemikiran Ridwan et al, 2023, inti dari keberadaan perpustakaan adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi berbagai kalangan, mulai dari guru, pendidik, siswa, pekerja, hingga masyarakat umum. Oleh karena itu, agar operasional perpustakaan tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyimpanan, ia diharapkan dapat membantu penggunanya memperoleh pengetahuan dan informasi secara lebih mudah.
Menyingkap Tantangan
Meskipun diharapkan sebagai lembaga penyedia informasi dan pusat literasi, kini perpustakaan mulai merasakan dampak dari akselerasi transformasi digital yang begitu mendominasi setiap lini kehidupan. Institusi yang sejatinya menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan, sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi.

Model lama perpustakaan dalam hal penyimpanan, pengaturan, dan penyebaran informasi ilmiah terlihat mengalami penurunan urgensi di kalangan masyarakat luas, khususnya generasi muda yang akrab dengan dunia digital. Hal ini ditegaskan oleh fasilitator pelatihan, Francisca Rahayuningsih.
“Kami telah melakukan kunjungan studi ke Surakarta dan Jakarta, dan menemukan bahwa tren yang dihadapi hampir sama, yaitu perkembangan teknologi menyebabkan penurunan drastis dalam kunjungan ke perpustakaan,” ungkap Francisca Rahayuningsih.
Fenomena seperti ini bukan semata-mata dikarenakan kurangnya minat baca, tapi lebih pada pergeseran metode manusia berinteraksi dengan informasi dan pengetahuan. Di tengah arus informasi yang nyaris tak terbatas, perpustakaan secara bertahap kehilangan daya tariknya. Perpustakaan dianggap kurang cepat, terlalu konvensional, dan tidak cukup responsif terhadap dinamika zaman.
Rendahnya literasi di kalangan masyarakat dan meningkatnya penyebaran informasi yang salah atau hoaks membuat perpustakaan menghadapi tantangan yang semakin rumit. Dampaknya, masyarakat yang kemampuannya terbatas dalam memilah informasi, rentan terhadap paparan disinformasi.
“Tantangan yang saat ini kita hadapi adalah perkembangan teknologi yang menurunkan minat baca dan minat kunjung ke perpustakaan, serta munculnya masalah literasi dan informasi palsu atau hoaks. Peluangnya terletak pada perkembangan teknologi itu sendiri, yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi. Pelayanan yang baik juga sangat penting agar pengunjung merasa nyaman,” papar Neo Lopez de Costa, salah satu peserta pelatihan dari Xanana Gusmão Reading Room Timor Leste.
Kondisi ini menuntut adanya tindakan nyata untuk menghidupkan kembali peran perpustakaan agar tetap berfungsi dan relevan di era digital. Proses transformasi tidak hanya cukup dengan digitalisasi koleksi, tetapi juga harus meliputi pembaruan dalam manajemen dan peningkatan keterampilan pustakawan. Selain mengelola koleksi fisik, pustakawan saat ini diharuskan untuk memiliki pengetahuan digital, memahami literasi informasi, dan mampu mendidik pengguna dalam menghadapi arus data yang melimpah serta penyebaran hoaks.

Menanggapi tantangan tersebut, SATUNAMA menyelenggarakan “Pelatihan Manajemen Perpustakaan dan Museum” pada 14-26 Mei 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bekal kepada para pustakawan dengan keterampilan, pengetahuan, dan strategi yang diperlukan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Pelatihan ini tidak hanya membahas aspek teknis dalam pengelolaan koleksi, tetapi juga meningkatkan kapasitas institusi dalam hal pelayanan publik, transformasi digital, serta pengembangan program literasi yang inklusif dan partisipatif.
Peluang Baru Pada Manajemen Perpustakaan
Pelatihan manajemen perpustakaan yang diselenggarakan lima hari, terhitung dari tanggal 14-19 Mei ini di fasilitasi oleh SATUNAMA dan bekerja sama dengan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tim pelatih dari Universitas Sanata Dharma kali ini berjumlah empat orang yakni Francisca Rahayuningsih, MA, Yanuarius Joko Nugroho, S.Si, Agustinus Marsudi, S.Sos, dan Elisabeth Yani, S.Sos. Sementara itu, peserta pelatihan berjumlah tiga orang berasal dari Xanana Gusmão Reading Room Timor Leste dan satu orang dari Perpustakaan SATUNAMA.

Dalam sesi pelatihan, peserta diajak untuk memahami strategi manajemen koleksi secara efisien, termasuk bagaimana memilah, menginventarisasi, dan memanfaatkan teknologi dan AI untuk digitalisasi bahan pustaka. Peserta pelatihan juga diajari pemanfaatan teknologi dalam automasi perpustakaan berbasis web yaitu dengan praktik operasionalisasi SLiMS (Senayan Library Management System).
Pengutamaan teknologi mendorong perpustakaan mengadopsi konsep one stop gadget. Alasannya, konsep ini dapat memfasilitasi akses pengunjung ke berbagai layanan hanya dari satu perangkat.
Dengan adanya situs web perpustakaan yang lebih canggih, anggota kini dapat mengajukan pembelian buku baru serta memperpanjang peminjaman langsung dari perangkat seluler mereka. Lebih lanjut, setiap kunjungan didokumentasikan secara digital guna mengukur seberapa besar perpustakaan telah memenuhi kebutuhan penggunanya. Hal ini pun disampaikan pada proses pelatihan oleh fasilitator, Francisca Rahayuningsih.
Selama pelatihan, fasilitator juga membekali peserta dengan perubahan pendekatan perpustakaan. Langkah ini merupakan bagian dari perubahan paradigma perpustakaan di era digital yang mulanya hanya sekedar lokasi untuk membaca dan menyimpan buku, kini menjadi ruang publik yang lebih inklusif, ramah pengguna, dan mendukung interaksi sosial. Untuk memanfaatkan peluang era digital ini, fasilitator merekomendasikan untuk merombak perpustakaan. Hal ini pun tidak bisa dilepaskan dari pemahaman bahwa informasi dan literasi tidak lagi berdiri dalam ruang sunyi dan formal.
“Di perguruan tinggi, tersedia ruang laktasi, game corner, ruang dolanan anak, ruang membatik, bahkan ruang TikTok. Memang harus mengarah ke sana. Di perpustakaan, juga sudah ada spot foto. Di Sanata Dharma, tidak ada ruang kosong. Setiap sudut dimanfaatkan sebagai sudut baca atau corner, dan ini sangat menarik karena pengunjung menjadi lebih banyak,” ungkap Francisca Rahayuningsih.
Di era digital, kebutuhan pengguna informasi telah berevolusi, mereka tidak hanya mencari referensi dalam bentuk cetak, tetapi juga melakukan aktivitas daring, mempunyai tempat untuk berdiskusi, dan tempat yang nyaman untuk belajar. Oleh karena itu, sejumlah perpustakaan mulai berinovasi dengan menciptakan suasana yang lebih fleksibel, termasuk mengizinkan pengguna untuk mengkonsumsi makanan dan minuman di area perpustakaan. “Lobi Perpustakaan Sanata Dharma akan diubah menjadi public space. Mau pacaran atau makan dan minum di sana boleh, sudah dianggarkan dan disetujui. Memang harus berubah”, sambung Francisca Rahayuningsih.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini perpustakaan menghadapi banyak tantangan di era digital, misalnya dengan berkurangnya jumlah pengunjung dan meningkatnya keterikatan masyarakat pada perangkat digital, namun demikian para pustakawan diharuskan mampu mengidentifikasi, membuat, dan memanfaatkan peluang. Pustakawan kini aktif memanfaatkan teknologi untuk memperbarui operasional layanan, memperluas aksesibilitas informasi, dan mengadaptasi perpustakaan agar lebih menarik serta sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan menghadirkan beragam inovasi seperti digitalisasi koleksi, ruang diskusi interaktif, serta area kreatif, perpustakaan sekarang bertransformasi menjadi ruang publik yang lebih dinamis dan tidak kaku. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perubahan zaman, perpustakaan masih memiliki peran penting dalam mengembangkan budaya literasi dan menciptakan masyarakat yang sadar informasi.
[Penulis: Estri Khoirul Amalia | Editor: Agustine Dwi | Foto: Karenina Aryunda, Aisya Lu’luil Maknun]