Satunama.org – Konflik adalah fenomena sosial yang tak terhindarkan. Ia lahir dari benturan kepentingan, nilai, dan identitas dalam masyarakat. Ia tak hanya menunjukkan perbedaan, tetapi juga menyuarakan ketidaksetaraan yang mengakar. Konflik merupakan manifestasi dari masalah sistemik dalam tatanan sosial yang membutuhkan pemahaman dan pengelolaan yang bijaksana.
Namun, apakah masyarakat cukup memahami akar dari konflik yang terjadi di sekitarnya? Dalam banyak kasus, seringkali konflik dilihat sebagai ancaman bagi stabilitas, padahal ia menyimpan potensi perubahan positif. Jika dikelola dengan baik, konflik justru dapat melahirkan solusi yang lebih adil, memperbaiki ketimpangan, dan mempererat kohesi sosial.
Konflik sebagai fenomena sosial selalu memiliki konteks. Ia dibentuk oleh sejarah panjang interaksi, ketegangan antara yang dominan dan yang didominasi, serta ketiadaan keadilan yang merata. Konflik sendiri bukan semata-mata akibat perbedaan, melainkan karena kurangnya dialog inklusif dan kegagalan institusi dalam menegakkan keadilan. Ketika akses terhadap sumber daya, pengakuan, dan representasi timpang, yang muncul bukanlah harmoni, melainkan keresahan. Dengan demikian, konflik menjadi bahasa sosial yaitu ekspresi atas ketidakadilan yang diabaikan.
Lebih jauh, melihat konflik hanya sebagai penyimpangan adalah keliru dan mengaburkan akar masalah. Konflik justru menunjukkan perlunya pembaharuan tatanan, baik struktural maupun kultural. Dengan pendekatan progresif, konflik bisa menjadi katalis transformasi sosial apabila direspon dengan refleksi, rekonsiliasi, dan restrukturisasi keadilan, bukan dengan represi.
Cermin Ketimpangan
Di Indonesia, konflik masih menjadi tantangan utama pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat lokal maupun nasional. Data dari Fragile States Index (FSI) 2023, menempatkan Indonesia pada peringkat 98 dari 179 negara dengan kategori warning dalam indikator tekanan sosial, ketidaksetaraan, dan kekerasan kelompok sebagai faktor utama. Hal ini menunjukkan bahwa konflik di Indonesia berakar pada struktur sosial yang rapuh dan juga timpang.

Merujuk pada perspektif Karl Marx, konflik tercipta karena adanya pertentangan kelas, yang dipicu oleh ketidakmerataan distribusi kekuasaan. Konsekuensinya, akses kelompok tertentu terhadap sumber daya menjadi dominan dan kelompok lain menjadi marjinal. Dalam kacamata teori konflik, situasi yang timpang di masyarakat mampu memicu konflik dan perubahan sosial. Oleh karena itu, ketimpangan akses terhadap sumber daya, kekuasaan, dan representasi menciptakan jurang pemisah antara kelompok dominan dan terpinggirkan.
Namun demikian, konflik tidak selalu bersifat destruktif. Dengan pendekatan inklusif, konflik justru dapat memicu pembaruan sosial menuju kesetaraan. Oleh karena itu, penting untuk membangun kapasitas masyarakat dalam memahami, menganalisis, dan mengelola konflik secara efektif. Untuk merespon kebutuhan tersebut, maka penting sekali masyarakat mendapatkan sebuah pemahaman dan pengetahuan mengenai resolusi konflik yang baik dan benar.
Meretas Resolusi Konflik
Menanggapi isu tersebut, Yayasan SATUNAMA Yogyakarta sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Yogyakarta hadir melalui pelatihan resolusi konflik sebagai ruang pembelajaran kolektif yang membekali peserta dengan perspektif kritis dan keterampilan praktis dalam menciptakan transformasi sosial berbasis keadilan.
Pelatihan ini mendatangkan pemateri yang juga alumni pekarya SATUNAMA yaitu Hardono Hadi, Ph.D. Sedangkan peserta pelatihan, datang dari perusahaan yang memiliki fokus pada restorasi ekosistem di Riau yaitu Andareas Harianja dan Arianto.
Secara garis besar, pelatihan ini mengajarkan tentang bentuk penangan konflik dan proses transformasi kebutuhan dan syarat-syarat perdamaian. Menurut Hardono, penanganan konflik sifatnya harus win win solution dan tidak hanya berfokus pada proses litigasi (peradilan) saja. Harapannya kedua belah pihak berada pada posisi menang dan diuntungkan sehingga konflik dapat bertransformasi menjadi sesuatu yang positif.

“Penyelesaian konflik harus bersifat win win solution dengan proses di luar litigasi (peradilan). Cara mencapainya adalah dengan proses non litigasi, yaitu melakukan mediasi dan negosiasi. Kedua belah pihak harus merasa menang, merasa diuntungkan. Apalagi konflik itu harus bisa ditransformasi menjadi sesuatu yang positif sehingga yang tadinya berbenturan, justru menjadi teman untuk mencapai sesuatu bersama”, papar Hardono.
Pelatihan berlangsung dalam suasana hangat, dinamis, dan penuh diskusi kritis. Peserta aktif terlibat dalam sesi yang tidak hanya membahas konsep dasar konflik, tetapi juga mengeksplorasi pengalaman nyata dan studi kasus yang relevan. Antusiasme mereka tercermin dalam pertukaran gagasan, refleksi mendalam, dan semangat kolaborasi untuk merumuskan solusi. Melalui pelatihan resolusi konflik ini, peserta mendapatkan sebuah pengalaman dan pengetahuan yang nantinya bisa diterapkan di ruang pekerjaan mereka.
“Pelatihan ini tentu untuk mendapatkan kemampuan, kemudian mendapatkan skill pengetahuan tentang bagaimana cara mengelola konflik menjadi sesuatu yang positif dan menjadi suatu solusi yang menguntungkan para pihak. Tentu ke depannya setelah pelatihan ini kami mempunyai pengalaman itu, punya pengetahuan itu sehingga dapat diterapkan di ruang pekerjaan”, ungkap Andareas.
Jalan Menuju Perubahan
Pelatihan resolusi konflik kali ini bukan hanya sebagai ruang pembelajaran teknis, tetapi proses transformatif yang memberdayakan peserta sebagai agen perubahan sosial. Di tengah kompleksitas dan gesekan kepentingan dalam masyarakat, kemampuan mengelola konflik secara konstruktif menjadi krusial. Pelatihan ini menekankan bahwa konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan cerminan ketimpangan yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.

Selain itu, dengan pendekatan berbasis litigasi dan non litigasi, pelatihan ini membekali peserta dengan keterampilan praktis dan refleksi kritis. Peserta diajak menelisik akar sosiokultural dan struktural konflik. Hal ini dapat membangun kesadaran bahwa solusi yang ideal bukanlah menang-kalah, melainkan solusi yang saling menguntungkan (win-win). Dengan kata lain, situasi ini akan memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan hubungan antar kelompok.
Pada akhirnya, pelatihan resolusi konflik ini diharapkan dapat menjadi katalis perubahan yang mendasar meliputi perubahan pola pikir, pendekatan, dan cara bermasyarakat. Di tengah dunia yang sering terpecah belah, pelatihan ini merupakan wujud nyata komitmen terhadap perdamaian dan keadilan. Dari sinilah lahir harapan bahwa transformasi sosial bukan hanya wacana, tetapi aksi nyata yang dimulai dari keberanian mengelola konflik secara manusiawi.
[Penulis: Estri Khoirul Amalia | Editor: Agustine Dwi | Foto: Karenina Aryunda, Aisya Lu’luil Maknun ]