Monolog Orasi Budaya Susilo

Monolog Orasi Budaya Susilo
Radar Jogja
[ Minggu, 26 April 2009 ]
http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=83991

“Yo lagi iki, tamu kok teko luwih gasik seko sing duwe omah. Lha piye to karepe. Podo arep mertombo to…” tutur Susilo Nugroho alias Den baguse Ngarso yang langsung disambut “geeerrrr” oleh para hadir saat membuka monolog orasi budaya dalam peringatan Hari Bumi (Rabu, 22/4) lalu. Di halaman SATU NAMA, Mlati, Sleman.

YOGI ISTI, Sleman

Berlagak bak seorang paranormal handal, Susilo langsung membaca mantra dihadapan para tamunya, beberapa saat setelah sampai di rumah. Saat itu para tamu telah menunggu cukup lama. Setelah itu Susilo langsung membagi-bagikan bunga yang telah dimantrai kepada beberapa tamu yang hadir.

“Kalian ini datang mau apa sih sebenarnya. Saya nggak punya apa-apa. Saya cuma bisa mendoakan supaya kalian hidup layak,” ujar Susilo selalau menggunakan bahasa Jawa ‘ngoko’. Sesekali Susilo mendekat ke arah penonton sambil berdialog aktif. Berbagai pertanyaan retoris dijawabnya sendiri. Dan tentu saja disambut tawa para penonton yang hadir. Apa yang diutarakan pemeran Den Baguse Ngarso dalam serial Mbangun Deso di stasiun televisi beberapa tahun lalu itu lebih banyak mengarahkan agar petani tidak pantang mengeluh dan bangga dengan profesinya. Tak hanya itu, arahan supaya kembali menggunakan bahan-bahan alam tak luput dalam monolog Susilo. “Jadi petani miskin kan saat ini. Besok kan nggak tahu. Nggak masalah jadi anak petani miskin. Tapi besok anakmu jadi anak orang kaya,” katanya kepada seorang penonton remaja, sambil membagikan bunga mantra. “Kembang itu nanti dicampur ke pupuk kandang atau kompos. Itu lebih murah dan bisa dibuat sendiri. Dan lebih aman akrena alami,” ingatnya.

Soal tata cara bertani, kata Susilo, membutuhkan olah tandur yang benar. Sawah harus diairi secara cukup dan tidak saling berebut aliran air. “Ajari ankmu menjadi petani yang baik. Jangan hanya mengeluh saja kalau selama ini kamu hanya jadi buruh tani,” imbuhnya. Satu hal pelajaran yang patut diingat adalah soal semangat bekerja, khususnya sebagai petani. Saat ini banyak pelajar berprestasi tapi malas bekerja. Dalam arti bekerja di rumah untuk keperluan keluarga atau pribadinya sendiri. “Akeh tunggale nek cah kon sekolah pinter neing angel dikongkon wong tuwo. Makane ajari anakmu supoyo ngerti,” tandasnya. Paling penting adalah usaha yang tiada henti. Lebih baik merasa miskin tapi terus berusaha daripada merasa kaya tapi malas bekerja. Dengan catatan perilaku harus baik dan tidak lupa dengan lingkungan sekitar. “Tetap ingat dengan yang maha kuasa dan jangan rusak bumi ini. Soal air jangan rebutan. Petani harus guyub dan kerja bareng,” ingatnya.

Susilo meneruskan monolognya setelah minum obat di ‘rumahnya’ yang bermotifkan flora dan budaya masa lalu.

Melanjutkan monolog, Susilo mengingatkan orang hidup tidak boleh selalu bergantung dengan orang lain. Melainkan harus mandiri. “Sing tani yo ojo gumantung liyan. Tapi niat anak turune dadi wong tani. Ojo bingung adol sawah nggo nyekolahke anak tapi selanjutnya malah nganggur,” selorohnya yang lagi-lagi disambut ‘geeerrrr’. “Kui podho wae nambah-nambahi jumlah pengangguran to nek ngono,” imbuh Susilo.

Saat ini petani selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin atau kelas bawah. Itu semakin menjadi-jadi akibat bnyak petani yang pesimistis. “Makanya jangan gersulo terus. Hidup harus optimistis,” pinta Susilo.

Susilo sendiri mengaku sebenarnya tidak banyak tahu soal pertanian. Hanya saja sosiologis petani, dia lumayan paham. “Intinya semangat itu yang harus terus ditanamkan pada diri petani,” ujarnya usai monolog. Tak hanya bagi petani, sindiran soal pereilaku dan gaya hidup juga ditujukan bagi masyarakat secara umum.

Inti sari monolognya adalah wejangan agar setiap orang tidak mudah menyerah dengan keadaannya. Banyak sedikit pengeluaran seseorang tergantung manajemen diri orang itu sendiri. “Kalau banyak orang bilang, buat makan saja nggak cukup, itu sih kegedean sendoknya,” canda Susilo. Banyak orang berpenghasilan banyak tapi mengeluh selalu kurang. Tapi banyak juga petani yang makan seadanya tapi hidupnya senang dan merasa kecukupan. Intinya, hidup ini jangan hanya mengejar harta dan tahta semata.

Monolog Orasi Budaya Susilo
Radar Jogja
[ Minggu, 26 April 2009 ]
http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=83991

“Yo lagi iki, tamu kok teko luwih gasik seko sing duwe omah. Lha piye to karepe. Podo arep mertombo to…” tutur Susilo Nugroho alias Den baguse Ngarso yang langsung disambut “geeerrrr” oleh para hadir saat membuka monolog orasi budaya dalam peringatan Hari Bumi (Rabu, 22/4) lalu. Di halaman SATU NAMA, Mlati, Sleman.

YOGI ISTI, Sleman

Berlagak bak seorang paranormal handal, Susilo langsung membaca mantra dihadapan para tamunya, beberapa saat setelah sampai di rumah. Saat itu para tamu telah menunggu cukup lama. Setelah itu Susilo langsung membagi-bagikan bunga yang telah dimantrai kepada beberapa tamu yang hadir.

“Kalian ini datang mau apa sih sebenarnya. Saya nggak punya apa-apa. Saya cuma bisa mendoakan supaya kalian hidup layak,” ujar Susilo selalau menggunakan bahasa Jawa ‘ngoko’. Sesekali Susilo mendekat ke arah penonton sambil berdialog aktif. Berbagai pertanyaan retoris dijawabnya sendiri. Dan tentu saja disambut tawa para penonton yang hadir. Apa yang diutarakan pemeran Den Baguse Ngarso dalam serial Mbangun Deso di stasiun televisi beberapa tahun lalu itu lebih banyak mengarahkan agar petani tidak pantang mengeluh dan bangga dengan profesinya. Tak hanya itu, arahan supaya kembali menggunakan bahan-bahan alam tak luput dalam monolog Susilo. “Jadi petani miskin kan saat ini. Besok kan nggak tahu. Nggak masalah jadi anak petani miskin. Tapi besok anakmu jadi anak orang kaya,” katanya kepada seorang penonton remaja, sambil membagikan bunga mantra. “Kembang itu nanti dicampur ke pupuk kandang atau kompos. Itu lebih murah dan bisa dibuat sendiri. Dan lebih aman akrena alami,” ingatnya.

Soal tata cara bertani, kata Susilo, membutuhkan olah tandur yang benar. Sawah harus diairi secara cukup dan tidak saling berebut aliran air. “Ajari ankmu menjadi petani yang baik. Jangan hanya mengeluh saja kalau selama ini kamu hanya jadi buruh tani,” imbuhnya. Satu hal pelajaran yang patut diingat adalah soal semangat bekerja, khususnya sebagai petani. Saat ini banyak pelajar berprestasi tapi malas bekerja. Dalam arti bekerja di rumah untuk keperluan keluarga atau pribadinya sendiri. “Akeh tunggale nek cah kon sekolah pinter neing angel dikongkon wong tuwo. Makane ajari anakmu supoyo ngerti,” tandasnya. Paling penting adalah usaha yang tiada henti. Lebih baik merasa miskin tapi terus berusaha daripada merasa kaya tapi malas bekerja. Dengan catatan perilaku harus baik dan tidak lupa dengan lingkungan sekitar. “Tetap ingat dengan yang maha kuasa dan jangan rusak bumi ini. Soal air jangan rebutan. Petani harus guyub dan kerja bareng,” ingatnya.

Susilo meneruskan monolognya setelah minum obat di ‘rumahnya’ yang bermotifkan flora dan budaya masa lalu.

Melanjutkan monolog, Susilo mengingatkan orang hidup tidak boleh selalu bergantung dengan orang lain. Melainkan harus mandiri. “Sing tani yo ojo gumantung liyan. Tapi niat anak turune dadi wong tani. Ojo bingung adol sawah nggo nyekolahke anak tapi selanjutnya malah nganggur,” selorohnya yang lagi-lagi disambut ‘geeerrrr’. “Kui podho wae nambah-nambahi jumlah pengangguran to nek ngono,” imbuh Susilo.

Saat ini petani selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin atau kelas bawah. Itu semakin menjadi-jadi akibat bnyak petani yang pesimistis. “Makanya jangan gersulo terus. Hidup harus optimistis,” pinta Susilo.

Susilo sendiri mengaku sebenarnya tidak banyak tahu soal pertanian. Hanya saja sosiologis petani, dia lumayan paham. “Intinya semangat itu yang harus terus ditanamkan pada diri petani,” ujarnya usai monolog. Tak hanya bagi petani, sindiran soal pereilaku dan gaya hidup juga ditujukan bagi masyarakat secara umum.

Inti sari monolognya adalah wejangan agar setiap orang tidak mudah menyerah dengan keadaannya. Banyak sedikit pengeluaran seseorang tergantung manajemen diri orang itu sendiri. “Kalau banyak orang bilang, buat makan saja nggak cukup, itu sih kegedean sendoknya,” canda Susilo. Banyak orang berpenghasilan banyak tapi mengeluh selalu kurang. Tapi banyak juga petani yang makan seadanya tapi hidupnya senang dan merasa kecukupan. Intinya, hidup ini jangan hanya mengejar harta dan tahta semata.

Tinggalkan komentar